I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Belajar
merupakan proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, keterampilan
dan sikap.
Proses belajar dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang
hayatnya. Kapasitas manusia untuk belajar merupakan karakteristik penting yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kajian tentang kapasitas manusia
untuk belajar, terutama tentang bagaimana proses belajar terjadi pada manusia
mempunyai sejarah panjang dan telah menghasilkan beragam teori. Salah satu
teori belajar yang terkenal adalah teori belajar behavioristik (sering
diterjemahkan secara bebas sebagai teori perilaku atau teori tingkah laku).
Dalam
makalah ini, akan dikaji teori belajar behavioristik berdasar prinsip-prinsip
yang terkandung dalam teori belajar behavioristik. Diharapkan, makalah ini
dapat dijadikan panduan dalam penerapan prinsip-prinsip teori belajar
behavioristik dalam pembelajaran. Secara khusus, makalah ini memberikan contoh
pandangan teori belajar behavioristik terhadap unsur-unsur proses belajar, dan
merancang proses pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar behavioristik.
Teori
belajar behavioristik merupakan teori belajar yang paling awal dikenal dan
masih terus berkembang sampai sekarang. Pemahaman yang baik tentang teori
belajar behavioristik akan dapat membantu anda untuk merancang dan melaksanakan
pembelajaran secara lebih sistematis dan ilmiah berlandaskan kaidah ilmu, yaitu
teori belajar behavioristik.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apakah
yang dimaksud dengan teori belajar behavioristik?
b. Apa
sajakah prinsip-prinsip teori belajar behavioristik?
c. Bagaimanakah
penerapan teori belajar behavioristik dalam kegiatan instruksional?
d. Apakah
tujuan pembelajaran Behavioristik?
II.
PEMBAHASAN
Teori belajar behavioristik lahir
sebagai upaya untuk menyempurnakan dua perspektif yang telah berlaku di awal
abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologi fungsionalis
dari Dewey.
Perspektif strukturalis percaya akan
perlunya penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia, dengan
menggunakan alat “instropeksi” – laporan diri tentang proses berpikir sebagai
cara untuk mempelajari otak. Namun alat tersebut menuai banyak kritik dari
banyak pihak karena menghasilkan data dan informasi yang sama sekali tidak konsisten
sehingga tidak dapat dipercaya.
Sedangkan psikologi fungsionalis
menyatakan perlu adanya kajian tentang perilaku, selain kajian tentang fungsi
proses mental. Namun demikian justru dengan keluasannya ini,, psikologi
fungsionalis dirasakan menjadi kurang fokus dan tidak terorganisasi dengan
baik.
Berangkat dari keterbatasan perspektif
strukturalis dan psikologi fungsionalis, John B. Watson memulai upayanya untuk
mengkaji perilaku, terlepas dari proses mental dan lain-lain. Watson percaya
bahwa, semua makhluk hidup menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui
respon. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar dari teori behaviorisme
dengan baik.
2.1
Pengertian
Teori Belajar Behavioristik
Ada
beberapa pengertian teori belajar yang
diungkapkan oleh tokoh aliran teori belajar behavioristik.
a. Teori
Belajar Menurut Thorndike
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme.
Thorndike
mengemukakan 3 hukum tentang belajar, yaitu (1) hukum efek; (2) hukum latihan
dan (3) hukum kesiapan.
b. Teori
Belajar Menurut Watson
Watson
mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon,
namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan
dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun
dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan
karena tidak dapat diamati
c. Teori
Belajar Menurut Pavlov
Belajar
menurut Pavlov adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya
syarat-syarat yang menimbulkan reaksi. Yang terpenting dalam belajar menurut
Pavlov adalah adanya latihan dan pengulangan.
Setiap teori belajar behavioristik
mempunyai kekhususan masing-masing, yang sesungguhnya saling melengkapi satu
sama lain. Namun demikian, secara umum semua teori-teori tersebut mempunyai
premis dasar yang sama. Teori belajar
behavioristik mendefinisikan bahwa belajar merupakan perunahan perilaku,
khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sesuai hasil
belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (atau pendewasaan) semata.
Menurut teori belajar behavioristik, perubahan perilaku manusia sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan beragam pengalaman kepada
seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi dan atau
mengubah kapasitas untuk merespon.
Menurut teori belajar
behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi antara
stimulus dan respon yaitu proses manusia untuk memberikan respon tertentu
berdasarkan stimulus yang datang dari luar.
Teori belajar behavioristik sangat
menekankan pada hasil belajar yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat,
dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di dalam otak manusia karena
hal tersebut tidak dapat dilihat. Seseorang dianggap sudah belajar sesuatu
apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Misalnya seorang siswa
belum bisa membaca. Maka, betapapun ia keras belajar atau bahkan ia sudah hafal
huruf dari A sampai Z di luar kepala, namun bila siswa itu gagal mendemonstrasikan
kemampuannya dalam membaca, maka siswa itu belum bisa dianggap telah belajar.
Ia dianggap telah belajar bila ia telah menunjukkan suatu perubahan dalam
tingkah laku (dari tidak dapat membaca menjadi dapat membaca).
Menurut teori ini yang terpenting
adalah masukan/input yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk
memperoleh hasil belajar yang diinginkan. Stimulus meliputi segala sesuatu yang
dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba oleh seseorang. Sedangkan
apa yang terjadi diantara stimulus dan respons dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak bisa diamati. Yang bisa diamati hanyalah stimulus dan
respons. Stimulus adalah apa saja yang diberiakn guru kepada siswa tersebut
dalam rangka membantu siswa itu untuk belajar. Misalnya dalam kegiatan belajar
membaca, stimulus mungkin berupa rangkaian alfabet, beberapa kalimat atau
sebuah bacaan. Sedangkan respon adalah reaksi siswa terhadap stimulus yang
diberikan gurunya. Menurut teori behaviorisme, apa yang diberikan guru
(stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat
diamati, diukur, dan tidak boleh hanya implisit (tersirat).
Selain manipulasi stimulus, ada
faktor penting lain yang sangat berpengaruh, yaitu faktor penguatan. Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Penguatan dapat
ditambah (positive reinforcement) dan dikurangi (negative reinforcement) untuk
memperoleh respon yang semakin kuat ataupun semakin lemah. Misalnya, bila
seorang anak bertambah giat belajar bila uang sakunya ditambah, maka penambahan
uang saku ini disebut sebagai positive reinforcement. Sebaliknya, bila uang
saku anak itu dikurangi, dan pengurangan ini malah membuat anak semakin giat
belajar, maka pengurangan uang saku disebut negative reinforcement.
Proses
Belajar Mengajar atau hubungan stimulus dan respons, yaitu:
Prinsip-prinsip
teori behaviorisme :
a.
Obyek psikologi adalah
tingkah laku
b.
Semua bentuk tingkah
laku di kembalikan pada reflek
c.
Mementingkan
pembentukan kebiasaan.
Untuk
mempermudah mengenal teori belajar behavioristik dapat dipergunakan
ciri-cirinya yakni:
a.
Mementingkan pengaruh lingkungan
(environmentalistis).
b.
Mementingkan bagian-bagian
(elentaristis).
c.
Mementingkan peranan reaksi
(respon).
d.
Mementingkan mekanisme terbentuknya
hasil belajar.
e.
Mementingkan hubungan sebab akibat
pada waktu yang lalu.
f.
Mementingkan pembentukan kebiasaan.
g.
Ciri khusus dalam pemecahan masalah
dengan “mencoba dan gagal” atau trial and eror.
2.2
Aplikasi
Dalam Kegiatan Instruksional
Aplikasi
teori belajar behavioristik dalam kegiatan
instruksional atau pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan
pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik Pembelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak
pada teori behavioristik memandang
bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pembelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Metode
behaviorisme ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih
anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi
dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
Secara
umum, aplikasi teori behavioristik biasanya meliputi beberapa langkah berikut
ini:
a. Menentukan
tujuan-tujuan instruksional.
b. Menganalisis
lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal
mahasiswa.
c. Menentukan
materi pelajaran ( pokok bahasan, topik dan sebagainya).
d. Memecah
materi pelajaran menjadi bagian kecil-kecil (sub pokok bahasan, sub topik, dan
sebagainya).
e. Menyajikan
materi pelajaran.
f. Memberikan
stimulus yang mungkin berupa:
§ Pertanyaan
(lisan dan tulisan),
§ Tes,
§ Latihan,
§ Tugas-tugas.
g. Mengamati
dan mengkaji respon yang diberikan.
h. Memberikan
penguatan.
i.
Memberikan stimulus
baru.
j.
Mengamati dan mengkaji
respon yang diberikan (mengevaluasi hasil belajar).
k. Memberikan
penguatan.
l.
Dst.
2.3
Implikasi
Teori Belajar Behavioristik
Implikasi dari
teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang
gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pembelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pembelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan
yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pembelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pembelajar.
2.4
Tujuan
Pembelajaran Behavioristik
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik
ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas
“mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau
materi pelajaran menekankan pada keterampilan yang terisolasi atau akumulasi
fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti
urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak
didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan
mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan
evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan
secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil
belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pembelajar menjawab secara
“benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pembelajar
telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian
yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah
selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pembelajar
secara individual.
2.5
Kritik
Terhadap Teori Belajar Behavioristik
Teori ini sering dikritik karena
tidak mampu menjelaskan proses belajar yang kompleks. Misalnya, banyak kasus
belajar terjadi, dimana sebuah (atau beberapa) stimulus yang diterima oleh
mahasiswa ternyata mampu mendorong mahasiswa menghasilkan beberapa respons
sekaligus, yang kadangkala beberapa respon diantaranya tidak berhubungan
langsung dengan stimulus tadi. Teori behavioristik tidak menjelaskan bagaimana
“multi stimulus” dan ”multi respons” ini dapat terjadi.
Asumsi pokok teori
behavioristik yaitu, bahwasanya semua hasil belajar yang berupa perubahan
tingkah laku yang dapat diamati, juga dianggap terlalu menyederhanakan masalah
belajar yang sesungguhnya. Tidak semua hasil belajar dapat diamati dan diukur,
paling tidak dalam tempo yang seketika. Misalnya seorang mahasiswa yang
memahami betapa pentingnya arti “bela negara”, setelah ia mengikuti kuliah
kewiraan. Pertanyaannya, apakah kita patut menyimpulkan bahwa mahasiswa
tersebut tidak belajar apa-apa karena ia tidak dapat menunjukkan bukti-bukti
(respons) konkrit dari arti “bela negara” itu dalam bentuk perbuatan nyata yang
dapat diamati dan diukur? Sebaliknya, apakah kita dapat menyimpulkan bahwa
mahasiswa telah belajar dengan baik hanya karena ia mendapat