MATERI ISBD
BAB VIII
Manusia dan lingkungan
1.
Hakekat Lingkungan Sosial Dan Alam Bagi Manusia
Manusia hidup di bumi tidak sendirian,
melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk
hidup yang lain bukan sekedar kawan
hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan
hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidak dapat
hidup. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan jika di
bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen
dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan, hewan, dan
jasad renik akan tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari
sejarah bumi sebelum ada manusia.
Einsteins konon pernah mengartikan
lingkungan sebagai ‘segala sesuatu kecuali saya’. Aforisme ini menyiratkan salah satu dilemma dalam
konsepsai lingkungan. Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia dapat
melihat dunia sekelilingnya sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya. Toynbee[1]
mengaitkannya dengan daya pikir rasional dan kekuatan emosi manusia. Manusia
adalah penakluk alam, sekaligus pihak yang paling merasa terancam olehnya.
Manusia bersama tumbuhan, hewan dan
jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang
itu terdapat juga benda tak hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam
gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati
suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya
diseebut lingkungan hidup makhluk tersebut.
Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh
bermacam-macam factor. Pertama, oleh
jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Dengan
mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor
anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit batu
akan berbeda sifatnya dari lingkungan yang sama besarnya tetapi hanya ada
seorang mnausia, 10 ekor anjing, tertutup rimbun oleh pohon bamboo dan tidak
berbukit batu. Dalam golongan jenis unsure lingkungan hidup termasuk pula zat
kimia.
Kedua, hubungan atau
interaksi antara unsure dalam lingkungan hidup itu. Misalnya dalam ruangan
terdapat delapan kursi, empat meja, dan empat pot tanaman bunga. Dalam ruangan
itu delapan kursi diletakkan sepanjang satu dinding dengan sebuah meja didepan setiap
dua kursi dan sebuah pot bunga diatas masing-masing meja. Sifat ruangan berbeda
jika dua kursi dengan sebuah meja diletakkan ditengah masing-masing dinding dan
sebuah pot di masing-masing sudut.
Ketiga, kelakuan atau kondisi
unsure lingkungan hidup, misalnya suatu kota yang penduduknya ktif dan bekerja
keras merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari kota yang serupa tetapi
penduduknya santai dan malas.
Keempat, factor non materiil
suhu, cahaya, dan kebisingan. Kita dapat dengan mudah merasakan ini. Lingkungan
yang panas, silau dan bisingsangatlah berbeda dengan lingkungan yang sejuk,
cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan tenang.
Manusia dan alam semesta adalah
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan
manusia telah mampu mengungkap sebagian kecil rahasia alam semesta ini.
Lingkungan alam adalah
kondisi alamiah baik biotik ( tumbuhan, hewan ), maupun lingkungan abiotik
(tanah, air, mineral, udara) yang belum banyak dipengaruhi oleh tangan manusia,
yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Lingkungan sosial yaitu suatu
keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan interaksi individu dengan
individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.
Lingkungan budaya adalah
segala kondisi, baik yang berupa materi maupun non materi, yang dihasilkan oleh
manusia melalui aktivitas, kreatifitas, dan penciptaan yang berpengaruh
terhadap lingkungan alam. Lingkungan budaya yang berupa materi meliputi bangunan,
peralatan, senjata, pakaian, dll. Sedangkan yang non materi berupa tata nilai,
norma, pranata, peraturan, hokum, system politik, system ekonomi, system
pemerintahan, dll.
Lingkungan alam dan lingkungan sosial
saling berpengaruh dan berinteraksi secara aktif. Lingkungan alam dapat
mempengaruhi lingkungan sosial dan sebaliknya. Manusia yang tingkat budaya dan
peradabannya sudah maju, mampu mempertahankan lingkungan alamnya, dan
sebaliknya. Oleh karena itu kita semua wajib memiliki wawasan yang luas tentang
lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk melihat dan menganalisis perspektif
ruang muka bumi yang meliputi perubahan serta perkembangan hari ini untuk
menatap amsa depan. Sebagai akibat tuntutan kebutuhan manusia yang multi aspek,
perubahan ruang dan tata ruang sudah menjadi tuntutan alamiah. Namun yang perlu
diperhatikan disini adalah agar masalah dengan lingkungan tadi tidak
menimbulkan ketimpangan ruang, ketimpangan lingkungan, atau ketimpangan
ekologi.
Manusia sebagai makhluk dinamis,
dinamika kehidupannya dipengaruhi factor dominant yang berupa lingkungan
sosial-budaya dan lingkungan alamnya.
Ekologi
dan manusia
Kata
‘eko’ dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah
tempat tinggal : tempat tinggal semua manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah,
udara, dan matahari.[2] Ekologi mempelajari
hubungan antara manusia dan lingkungan hidup; mengkaitkan ilmu kemanusiaan dan
ilmu alam-bersifat interdisipliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan
dunia ini secara integral holistic, bahwa dunia yang satu itu ternyata
mengandung banyak keanekaragaman.[3] Ia
sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan terhadap dunia yang dualistis,
dikotomis. Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia
mengakui keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja
dunia dan semua unsurnya. Maka ia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk
mengarahkan hidup ini secara bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota
komunitas dunia ini.itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap
makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang kongret
integral.[4]
Alam merupakan guru terbaik, ia
menstimulasi kapasitas untuk menangani lingkungan tak terduga dan kejadian yang
tidak diperkirakan dengan maksud dan kemurahan hati dari roh, memercikkan momen
transenden dan menginspirasikan tindakan
yang kreatif. Hukum alam membangkitkan pola hidup yang kaya dengan
kesederhanaan dan kerendahan hati, kemurnian, kebenaran, kemurahan hati, dan
cinta kasih.[5]
Menurut Hanne Strong, kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada
penghormatan pada hukum alam yang dipahami masyarakat asli dan tradisional.
Masyarakat ini berbicaraberbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang
diberikan kepada mereka oleh sang pencipta. Mereka mengetahui dan menghidupi
hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan 4 elemen pemberi kehidupan yaitu
tanah, air, udara, dan api (energi), serta mengajarkan penghormatan pada
kesatuan dan kesalingketergantungan dari seluruh kehidupan. Hanya jika kita
memahami Hukum Kesalingtergantungan, kita dapat memperbaiki kerusakan keempat
elemen pemberi kehidupan kita. dan hanya jika kita mengalami kesalingterkaitan
satu sama lain, kita dapat memulai mengubah sumbernya : hati dan pikiran
manusia.
Ini disepakati Fukuoka, yang
mengatakan : “tidak ada jalan lainuntuk perdamaian kecuali semua orang harus
meninggalkan gerbang istana persepsi yang relative, turun ke padang rumput, dan
kembali ke jantung alam yang non aktif. Marilah kita katakana bahwa kunci perdamaian
terletak dekat di bumi.”[6]
2.
Pandangan manusia terhadap lingkungan
Faham dan pandangan manusia terhadap
lingkungan alam sangat tergantung dari penguasaan manusia terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi. Setidaknya ada 3 aliran tentang faham hubungan manusia dengan
lingkungannya, yaitu :
Faham determinisme, memandang
bahwa manusia sangat tergantung pada alam, artinya kapasitas manusia dan
aktifitasnya sangat ditentukan oleh alam dimana dia berada, sedangkan upaya
manusia untuk mengkreasi lingkungan sangat terbatas kemampuannya. Tokoh faham
ini diantaranya : Charles Darwin
(1809-1882) yang terkenal dengan teori evolusinya, Frederich Ratzel (1844-1904) dengan teori Antrhropography yang
menyatakan bahwa bahwa manusia berkembang dan hidup sangat ditentukan oleh
lingkungan geografis dimana ia tinggal. Tokoh lainnya Elsworth Huntington yang menekankan pada kekuatan pengaruh iklim
pada perkembangan dan kehidupan manusia.
Faham Posibilisme atau Probabilisme, memandang lingkungan alam berpengaruh terhadap manusia tetapi tidak
menentukan melainkan hanya memberi peluang dan kemungkinan pada manusia untuk
berkembang. Tokohnya : EC Semple dan
Paul Vidal de la Blace yang
menyatakan bahwa perkembangan hidup dan
kebudayaan manusia bukan dipengaruhi langsung oleh alam, tetapi oleh proses
produksi yang dipilih seseorang yang berasal dari kemungkinan yang disediakan
oleh tanah, iklim, dan ruang yang ada disekitarnya.
Faham Optimisme teknologi,
memandang bahwa manusia dengan kemempuan IPTEK yang dimilikinya dapat menciptakan kebudayaan dan mengkreasi
lingkungan alam sesuai yang diinginkannya.
Lingkungan adalah metafora yang
melanggengkan kontradiksi kondisi dasar manusia. Ia memiliki kekuatan untuk
menaklukkan, namun ia juga diliputi berbagai kelemahan yang membuatnya terancam.
Disatu sisi manusia membuat berbagai perbaikan, disisi lain ia membuat
kerusakan. Konflik antara individualisme konsumerisme dan solidaritas tidak
pernah lepas dari masyarakat manusia. Hal ini sangat ditekankan oleh Atkinson
(1991), Dickens (1992), Dobson (1990), Eckersley (1992), dan Sachs (1993). Dari
waktu kewaktu manusia memandang alam dengan nafsu penaklukan sekaligus rasa
bersalah. Hal ini diuraikan secara cemerlang oleh Glacken (1967).
Manusia sejak lama menyadari betapa
uniknya kehidupan di bumi. Kosmos dimana kita hyidup merupakan anugerah tak
terperi, dan juga tak tergantikan, yang terbentuk dari jutaan proses kimiawi,
biologis, dan fisik secara terus menerus. Pengagungan alam ini diantaranya diungkapkan Lovelock[7].
Dikatakannya bahwa biosfer yang menyangga kehidupan manusia dilukiskan sebagai
suatu zona yang disebut Gaia, yang mempunyai mekanisme pengaturan sendiri, yang
justru sering terusik oleh perilaku manusia. Gaia tidak punya sosok tertentu,
tidak dibebani moralitas, namun memberi batasan-batasan yang tak terlampaui
bagi kehidupan manusia. Jika manusia tak mau menyesuaikan diri, maka alam akan
memaksanya.
Inti pandangan environmentalisme yang
kini terus diminati ada tiga, yakni pandangan teknosentrik, ekosentrik, dan deep
green. Mode teknosentrik yang
diungkapkan O’Riordan[8]
menggambarkan hakekat manusia sebagai manipulator alam, yang harus membatasi
perilakunya agar ia dapat terus memanipulasinya itu. Pandangan konservasionis
ini berkembang luas di AS (Hays 1959),
cenderung optimistic dan bersifat maskulin. eksploitasi dan teknologi dipandang
positif, sejauh itu tidak merusak alam fisik dan sosial secara berlebihan.
Pandangan ekosentrik (Dobson 1990,
O’Riordan 1981, Pepper 1986) juga optimis, namun ia lebih jauh lagi dalam
menganjurkan pelestarian lingkungan. Kalau dalam pandangan terdahulu alam
dijadikan sebagai factor pengimbang sekunder, maka dalam pandangan ini
kelestarian harus selalu dinomorsatukan. Semua tindakan manusia
sedapat-dapatnya harus didasarkan pada usaha pelestarian alam. Contoh konsepsi
pelaksanaannya ada lima :
-
Konsep
pembangunan berkesinambungan (sustainable development), yang tertuang dalam
laporan Komisi Bruntland (1987) dan Konferensi Lingkungan dan Pembangunan PBB
(UNCED) di Rio Janeiro di tahun 1992 yang menghasilkan agenda 21, suatu program
integrasi pembangunan dan lingkungan
-
Prinsip
kehati-hatian (precautionary principle) yang ungkapkan O’Riordan dan Cameron[9]
menyatakan hanya menerima segala iptek selama itu tidak merusak lingkungan.
Prinsip itu kemudian mengembangkan civic science (integrasi semua ilmu
konvensional dengan dan proses demokrasi alamiah) serta ecological space yang
dibarengi dengan prinsip altering the burden of proof. Ini adalah argument
ilmiah yang mendesak negara maju memberi kelonggaran dan bantuan kepada negara
berkembang agar dalam pembangunannya
tidak mengorbankan kelestarian lingkungan
-
Ilmu ekonomi
ekologis (ecological economics) yang menggali berbagai keuntungan bagi manusia
jika alam dibiarkan apa adanya (critical natural capital), atau jika kegiatan
pembangunan dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu lingkungan
(natural resource account) ; istilah lainnya ‘kesejahteraan lingkungan’
(environmental welfare). Hal ini diungkapkan oleh Pearce[10]
-
Penilaian
dampak lingkungan (environtmental impact assessment), atau anjuran bagi
dilakukannya analisis menyeluruh tentang dampak lingkungan dari setiap proyek
atau kebijakan, yang diungkapkan O’Riordan dan Sewell[11].
Ini khususnya ditujukan bagi perusahaan-perusahaan, sehingga memunculkan bidang
bisnis jasa baru, yakni biro-biro konsultan lingkungan yang di negara-negara
maju sangat berperan bagi turunnya izin
resmi, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap peka terhadap lingkungan.
-
Ecoauditing,
yakni pemeriksaan atas semua usaha, kegiatan atau kebijakan yang ada, demi
memastikan bahwa semua itu tidak merusak lingkungan. Tekniknya sendiri
berfariasi, misalnya life cicle analisys dan environmental burden analysys.
Semuanya merupakan bagian dari sistem manajemen lingkungan terpadu, yang standar-standarnya
dibakukan secara internasional. Konsepsi ini dikampanyekan kepada pemerintah di
setiap negara yang standar lingkungannyya diniolai memprihatinkan.
Semuanya pada hakekatnya merupakan
kompromi antara hasrat membanguna secara ekonomis, dengan keinginan untuk
memelihara alam sejauh mungkin. Para penganjurnya yakin bahwa pelaksanaan
langkah-langkah diatas tidak bisa ditunda-tunda lagi, dan harus segera
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan ini tidak lepas dari
kritik, Sachs[12] misalnya, meragukan bahwa
pengutamaan lingkungan akan menciptakan aneka kendala ekonomis yang pada
akhirnya bisa berakibat pada perusakan lingkungan alam itu sendiri.
Terakhir, pandangan deep green bertumpu pada struktur etika
dan sosial yang radikal (isrilah lainnya deep ecology atau steady-state
economics). Pandangan ini menganjurkan ditinggalkannya pola hidup masal yang
dianggap tidak bisa tidak merusak lingkungan, dan menghimbau masyarakat untuk
hidup dalam pola komunal yang dekat dengan alam. Teknologi yang harus dipilih
adalah yang paling canggih, tetapi yang tidak perlu aneka perangkat penduduk
berskala besar. Pandangan ini menentang globalisme ekonomi dan ketergantungan
politik. Dalam waktu bersamaan ia mempromosikan pasifisme (hidup serba damai
dan bersahaja), ecifeminisme, penegakan hak-hak konsumen demi mengontrol
produsen, serta pengakuan atas hak hidup makhlik lain diluar manusia. Pandangan
ini berakar pada tradisi anarkhisme dan pemberdayaan komunitas. Meskipun
demikian, pandangan ini juga mengakui bahwa semua usulnya tak mungkin
diterapkan seketika. Karena itu ia menyambut baik konsepsi pembangunan
berkesinambungan, yang dianggap sebagai batu loncatan menuju kondisi serba
lebih baik, jauh dari hingar bingar politik atau militer yang pada akhirnya akan
menghancurkan lingkungan.[13]
Ekonomi
Lingkungan
Ekonomi lingkungan bermula dari
tulisan Gray (awal 1900-an), Pigou
(1920-an) dan Hotelling (1930-an), namun baru muncul sebagai studi koheren
pada tahun 1970-an. Ada tiga unsur pokok dalam ekonomi lingkungan ini yaitu :
Pertama, adanya pandangan
bahwa kesejahteraan manusia sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan
penyusutan sumber daya alam. Tidaklah sulit untuk menemukan bukti-buktinya,
mulai dari banjir akibat penggundulan hutan, aneka macam penyakit mematikan
akibat pencemaran air dan udara. Studi ini tidak mempersoalkan terganggunya
kesehatan, tetapi menekankan kerugiannya secara ekonomis.
Kedua, kerusakan lingkungan
secara umum diyakini sebagai akibat dari penyimpangan atau kegagalan tertentu
dalam sistem ekonomi, yang kebanyakan bersumber dari pasar. Contohnya, motif
keuntungan terkadang mendorong perusahaan tidak mengindahkan kelestarian
lingkungan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak lain.ini bukan hanya
terjadi dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Misalnya relokasi
industri menempatkan pebrik-pebrik dati negara maju ke hutan-hutan perawan di
engara berkembang. Kebijakan tertentu seperti Common Agriculture Policy di
eropa, yang memberi subsidi harga produk pertanian, mendiring petani memakai
aneka pipik dan obat tanaman secara berlebihan, serta menggali saluran
irigasi lebih banyak dari seharusnya,
untuk memaksakan hasil panen semaksimal mungkin.
Ketiga, solusi atas berbagai
masalah lingkungan harus dilakukan dengan mengireksi unsur-unsur ekonomi yang
menjadi penyebabnya. Kebijakan subsidi, relokasi industri, dan sebagainya, yang
telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan harus segera diakhiri. Jika
suatu kegiatan sulit dihentikan begitu saja secara hukum, maka ekonomi lingkungan
menyerankan penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus demi meredam
kegiatan tersebut. Secara umum, penggunaan instrument ekonomi guna mengatasi
masalah lingkungan yang bersumber dari kegiatan ekonomi, sangat menarik dan
memiliki logika yang kuat.
Dalam
ekonomi sumberdaya alam, batas-batas pencemaran dan kerusakan alam, serta
standar kelestarian lingkungan juga dihitung berdasarkan variable-variabel
ekonomi. Bahkan berbagai masalah global seperti penipisan lapisan ozone juga
hendak diatasi melalui langkah-langkah ekonomis.[14]
3.
Perkembangan Demografi dan Kesejahteraan Hidup
Sebagian besar
penduduk Indonesia masih berpendapatan rendah karena produktifitas kerjanya
rendah. Hal ini disebabkan rendahnya alat-alat produksi yang dimilikinya, seperti
sempitnya bidang tanah yang diusahakan, peralatan kerjanya yang terbatas pula.
Juga karena tingkat pendidikan dan ketrampilan yang masih rendah, sehingga
tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang lebih produktif. Juga
tenaga energi yang mampu dikeluarkan rendah karena kadar gizi makanan dan
menderita kekurangan kalori sehingga rawan penyakit. Dalam keadaan serba
kekurangan, banyak penduduk Indonesia bersifat mobil, bergerak dari pedesaan ke
perkotaan, dan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kesempatan kerja.
Sementara
itu jumlah penduduk Indonesia kian bertambah dengan rata-rata 2,5-3 juta pertahun, sehingga jumlah penduduk
Indonesia naik dari 207 juta (2000) menjadi 222 juta (2005), 235 juta (2010)
dan 257 juta pada tahun 2020 nanti. Mereka bisa dilihat sebagai peluang pasar
yang sangat besar untuk produksi jasa dan manufaktur. Katakanlah penduduk usia
0-14 tahun pada tahun 2015 mencapai 63,6 juta. Inilah potret ‘ABG’ masa depan
yang memerlukan begitu banyak pakaian yang otomatis akan menghidupkan
mesin-mesin industri tekstil, produk tekstil, garmen, sepatu, tas, dan
sebagainya.
Dapat
pula disebut sebagai modal (human capital), akan tetapi juga bisa sekaligus
sebagai ancaman. Misalnya akan terjadi ledakan pengangguran kalau penciptaan
lapangan kerja tidak tertangan secara serius dari sekarang. Dengan 170,8 juta
angkatan kerja tahun itu, jika lapangan kerja produktif tersedia mamadai,
mereka akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang dahsyat, baik dari sisi
investasi maupun konsumsi.
Tak
kalah besar tantangannya 24,3 juta penduduk usia lanjut (60 th keatas) yang
memerlukan aneka macam obat dan makanan suplemen. Tentu kebutuhan mereka
menciptakan permintaan barang dan jasa yang pasti mendorong industri farmasi
Dari
jumlah penduduk, dengan skenario pesimistis, betapa hidup mungkin tidak akan
nyaman lagi. Dijalan, dipemukiman, di kantor, manusia Indonesia akan
berdesakan. Lahan untuk pemukiman kian susah dan mahal. Lahan untuk pertanian
semakin sempit, menyusut, dan kian kerontang karena terkonversi untuk kebutuhan
non pertanian. Banjir dan tanah longsor datang meneror setiap saat dimana-mana
karena pohon-pohon raksasa penahan banjir sudah kian menipis jumlahnya dan
kurus-kurus pula. Ketersediaan pangan, kelestarian alam menjadi tantangan dan
potensi bisnis yang luar biasa.
Masalah sosial
a. Kwalitatif
[ kebutuhan pangan
[ tingkat pendidikan
[ pelayanan
kesehatan, nutrisi
[ perumahan
[ pendapatan
perkapita
[ kelestarian
lingkungan dan sumberdaya alam
[ tenaga kerja
(lapangan kerja dan pengangguran.
b.Kwantitatif
[ pertumbuhan
penduduk yang tinggi yang dipengaruhi natalitas, mortalitas dan migrasi
[ penyebaran penduduk
yang tidak merata dan mobilitas penduduk
[ komposisi
penduduk dengan angka ketergantungan
tinggi
c. Lain-lain
[ pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah selama ini berorientasi pada penduduk. Penduduk
berjumlah besar di pulau jawa, maka tidak saja tenaga buruh yang banyak
tersedia, tetapi pasar untuk barang industri pun lebih besar di pulau jawa
ketimbang di pulau lain.
[ Pembangunan sumber
alam mineral, minyak dan gas yang banyak terdapat diluar pulau jawa dilakukan
dengan modal besar dan teknologi canggih, sehingga melibatkan masyarakat
setempat. Maka muncullah ‘pulau-pulau modern’ ditengah-tengah ‘lautan’ penduduk
tradisional.
[ Konflik yang
bermunculan dengan berbagai penyebab diantaranya ketimpangan ekonomi, yang
dipicu dengan perbedaan suku, ras maupun agama.
Perspektif masa depan
Bagaimana
perspektif perkembangan penduduk masa depan dan apa pengaruhnya terhadap
pembangunan bangsa kita?
a. faktor pertama yang
tidak ada di masa lalu adalah desentralisasi, yang berakibat
lebih banyak dana keuangan mengalir ke daerah, juga pelimpahan wewenang
otoritas pembangunan lebih banyak dari pusat ke daerah. Dengan demikian
mobilitas horisontal antar daerah makin meningkat. Migrasi penduduk lebih
terpusat ke kota-kota di daerah ketimbang ke pedesaan. Sehingga muncul ‘mikro
politan’ di aerah-daerah. Hal ini berakibat sifat patembayan lebih menonjol
daripada paguyuban. Demikian pula semangat yang mengutamakan ‘putra daerah’
baik dalam pemerintahan maupun bisnis semakin meningkat. Bahkan persaingan
antar suku-suku di daerah memperoleh peluang untuk tumbuh kembali.
-
Solusinya perlu penguatan simbol persatuan bangsa melalui
pendidikan dan pembudayaan bangsa.
b. faktor kedua adalah
tantangan munculnya kawasan perdagangan bebas ASEAN (FTA). Hal
ini mendorong dibukanya jalur perdagangan antara daerah-daerah yang berbatasan
dengan Malysia, Brunei Darussalam, Philipina dan Singapura. Akhirnya kota-kota
sepanjang selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa dan Laut perbatasan
Philipina Selatan akan tumbuh lebih pesat. Persaingan kian meningkat dan
dimenangkan oleh mereka yang memiliki kemampuan produktifitas yang tinggi dan
sumber daya alam dengan daya komparatif yang lebih unggul.
Solusinya
; kemampuan produktifitas dapat ditingkatkan apabila pemerintah memangkas habis
belukar birokrasi administrasi yang menghambat kebebasan berusaha dan
mengutamakan investasi pada infrastruktur keras (jalan, pelabuhan, listrik,
telekomunikasi) dan infrastruktur lunak ( pendidikan, latihan ketrampilan,
fasilitas perdagangan)
c. faktor ketiga, dampak pertumbuhan,
mobilitas dan kepadatan penduduk pada lingkungan yang cenderung menderita
tekanan sehingga rusak dan tercemar. Tekanan pembangunan pada sumber
alam hutan sangat terasa saat ini. Jumlah permintaan akan papan kayu melebihi
kemampuan hutan menghasilkannya secara lestrai. Luas area tanah yang ditimpa
erosi sudah tidak terkendali, sehingga banjir dan tanah longsor terjadi
dimana-mana. Jumlah volume air tanah yang disedot sudah melewati ambang batas.
Solusinya ; untuk mengatasi hal ini
pembangunan perlu mengendalikan:
1. Besar penduduk per
luas areal
2. suasana aktifitas
penduduk menghasilkan barang dan jasa
3. degradasi sumber
daya alam dan pencemaran lingkungan per satuan produksi barang dan jasa.
4.
Hubungan Kualitas Lingkungan Dengan Kehidupan Manusia
Secara garis besar, kualitas hubungan
manusia dengan alam lingkungannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan
yaitu :
J Kelompok yang hidupnya sangat tergantung pada
lingkungan
J Kelompok yang mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya
J Kelompok yang mampu mempengaruhi dan memanfaatkan
lingkungannya bagi kesejahteraan hidupnya.
Dalam konsep ekologi, terdapat dua
komponen utama, yaitu makhluk hidup dan ekologi lingkungan. Mengingat
pentingnya kedudukan lingkungan pada konsep ekologi, kadang-kadang bila orang
berbicara tentang ekologi sering diidentikkan dengan pengertian lingkungan.
Pendekatan
ekologi
Pendekatan ekologi yang menelaah
hubungan antar makhluk hidup yang satu dengan lainnya pada suatu ekosistem,
dapat diadaptasikan dalam menelaah kehidupan manusia. James A Quinn menyatakan bahwa ekologi manusia pada bidang
ilmu-ilmu sosial, meliputi geografi manusia yang menelaah hubungan antara
kelompok manusia dengan lingkungan alamnya. Sedangkan Barrows menjelaskan bahwa geografi adalah ekologi manusia yang
memberikan penjelasan tentang hubungan keberadaan lingkungan alam dengan
persebaran dan aktifitas manusia.
Pada konsep ekologi secara umum,
lingkungan dibedakan atas lingkungan biotic dan abiotik, sedangkan pada konsep
ekologi manusia lingkungan dibedakan atas lingkungan alam, lingkungan sosial,
dan lingkungan budaya.
Krisis ekologis, sosial, dan politik
dewasa ini disebebkan tidak adanya keadilan, perdamaian, dan khususnya
penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan.
5.
Problematika Pembangunan Lingkungan Sosial Budaya Dan
Lingkungan Alam Pada Masyarakat Beradab.
Keterbatasan
daya dukung alam
Daya dukung lingkungan bersifat
relatif dan memiliki keterbatasan. Bila pemanfaatan dan populasi yang dapat
didukung oleh lingkungan tersebut telah melewati batas kemampuan, akan terjadi
berbagai bentuk ketimpangan yang kemudian menjadi masalah bahkan bencana yang
menimpa kehidupan makhluk dimuka bumi terutama manusia.
Keseimbangan
pemanfaatan dengan pemeliharaan
Penerapan teknologi bagi peningkatan
kesejahteraan umat manusia selain secara jelas berdampak positif juga membawa
dampak negative. Penerapannya merupakan tekanan terhadap lingkungan.
Eksploitasi hutan, sungai, laut, dan lainnya yang diluar daya kemampuan
lingkungan yang bersangkutan, merupakan tekanan yang megubah keseimbangan
sehingga menimbulkan masalah lingkungan.
Demikian juga lingkungan sosial
budaya, prestasi yang gemilang manusia dalam IPTEK telah merubah pola piker,
pola hidup dan perilaku yang berbudaya menuju budaya baru yang didasari oleh
hawa nafsunya sehingga terjadi pergeseran nilai ditengah masyarakat.
Peranan
manusia secara ekologis dalam lingkungan :
N Manusia sebagai mahkluk yang dominant secara
ekologi
N Manusia sebagai maklhuk pembuat alat
N Manusia sebagai makhluk preampok
N Manusia sebagai makhluk penyebab evolusi
N Manusia sebagai makhluk pengotor
Lingkungan
yang ideal bagi manusia.
Setiap makhluk hidup ingin agar tempat
hidupnya memberikan rasa nyaman, aman dan menyenangkan untuk kelangsungan hidup
individu dan makhluk sejenisnya. Suatu ekosistem mempunyai stabilitas
lingkungan tertentu. Semakin besar keanekaragaman ekosistem, makin besar pula
stabilitasnya.
Hutan hujan tropis yang terdiri dari
banyak tumbuhan dan binatang walaupun tanpa perawatan tetap akan dapat
melangsungkan hidupnya. Sebaliknya lading atau sawah yang hanya terdiri dari
satu jenis tumbuhan saja akan memiliki stabilitas yang kecil.
Pembangunan
dan lingkungan
Sebagian belahan bumi yang sangat luas
telah berubah menjadi medan peperangan dahsyat. Jutaan spesies sedang
dimusnahkan di planet kecil ini. Sementara orang-orang miskin dicerabut dari
tempat asalnya dan dipindahkan secara paksa. Lebih dari itu, lebih dari satu
setengah juta orang disisihkan demi kelancaran proyek-proyek pembangunan yang
didanai oleh Bank Dunia. Bahkan, di atas kertas telah ada beberapa rencana
proyek semacam itu yang mungkin akan menggusur orang-orang miskin,
setidak-tidaknya satu setengah juta manusia lagi (gambaran yang mengerikan itu
didapat dari catatan kemiskinan Bank Dunia dalam kaitannya dengan masalah
pemukiman kembali orang-orang yang terkena proyek pembangunan). Di India,
pembangunan yang disponsori Bank Dunia telah menggusur lebih dari 20 juta orang
dari tanah dan tempat tinggal mereka. Penggusuran itu sering tanpa disertai
kompensasi. Dan jika dirunut sejak masa kemerdekaan pada tahun 1947,
orang-orang yang tergusur telah mencapai 2,5 persen dari jumlah penduduk India
saat ini (1993). Demikianlah, kaum tergusur yang memainkan tokoh
"penentang" semakin banyak bermunculan dalam drama yang
berpanggungkan bumi, sementara Bank Dunia tetap menjadi aktor utama yang
memainkan tokoh "protagonis" tentunya.
Pada awal tahun 1990-an, perusakan
hutan telah menjadikan hutan-hutan itu tinggal separonya saja bila dibandingkan
dengan kondisi hutan pada tahun 1980-an (antara tahun 1978 dan 1988 telah
terjadi penggundulan. Setiap tahun, lahan hutan seluas 22.000 meter persegi
digunduli. Luas itu sama dengan luas wilayah Massachusetts). Meski demikian,
perusakan hutan itu belum merupakan tragedi sosial dan lingkungan dalam dimensi
global.[15]
(Penggundulan itu masih sangat mungkin terjadi lagi. Seorang ilmuwan pemerintah
Brasil Philip M. Fearnside mengatakan, "Penggundulan itu untuk membayar
krisis ekonomi Brasil.")[16]
Sepanjang tahun 1980-an dan awal tahun
1990-an penggundulan terjadi sangat intens di dua wilayah hutan utama, yaitu di
sebelah barat laut Brasil (Rondonia di utara Mato Grosso) dan wilayah hutan di
sebelah tenggara hutan Amazon, yaitu di negara bagian Para. Namun, bukan
kebetulan bahwa hampir semua aktivitas perusakan hutan di wilayah-wilayah
tersebut berkaitan erat dengan dana proyek raksasa yang didanai Bank Dunia,
yaitu proyek pembangunan infrastruktur Polonoroeste dan Carajas. Proyek
Polonoroeste berupa pembangunan jalan dan pengembangan permukiman untuk pekerja
perkebunan, sedangkan proyek Carajas adalah pembangunan jaringan transportasi
kereta api dan pembangunan daerah pertambangan. Kedua proyek itu benar-benar
telah menjadi pemicu malapetaka kemanusiaan dan ekologis yang masih saja
berlanjut, bahkan setelah pinjaman bertahap Bank Dunia selesai diberikan.[17]
Proyek Polonoroeste telah mengubah
Rondonia -- wilayah yang luasnya kira-kira sama dengan luas Oregon atau Inggris
-- menjadi wilayah dengan kerusakan hutan terluas di Amazon. Sejak
beroperasinya Proyek Polonoroeste, kerusakan hutan terus meningkat, yaitu dari
1,7 persen pada tahun 1978 menjadi 16,1 persen pada tahun 1991.6 Pada
pertengahan tahun 1980-an, kebakaran hutan Rondonia menjadi fokus utama riset
NASA. Sedemikian luas kebakaran hutan itu, yang disebabkan ulah manusia,
sehingga areal yang rusak dapat dilihat dari angkasa luar.
Penyakit mulai mengancam nyawa
orang-orang yang tergusur dan penduduk asli. Hampir seratus persen penduduk di
beberapa tempat terjangkit malaria, dan lebih dari 250.000 orang telah
tertular. Beberapa suku Indian terancam pelbagai penyakit, mulai dari wabah
campak sampai influensa. Selain itu, angka kematian bayi mencapai 50 dan 25
persen di dua suku yang sempat dihubungi.[18]
Pada tahun 1987 Bank Dunia melaporkan (fakta yang sempat dibocorkan pers
Brasil), di Rondonia telah terjadi penjarahan tanah Indian secara sistematis,
korupsi besar-besaran, penggelapan uang di badan pemerintah yang memberi
perlindungan terhadap suku Indian (yaitu FUNAI), wabah TBC, campak, dan malaria
yang semakin merajalela di permukiman penduduk asli.[19]
Sampai tahun 1993, banyak permukiman suku Indian yang termasuk dalam wilayah
kerja Proyek Polonoroeste tidak menerima perlindungan penuh seperti yang
dijanjikan.
Sementara itu, di ujung lain lembah
Amazon, tepatnya di sebelah tenggara negara bagian Para, selama tahun 1980-an
terjadi perusakan hutan yang lebih luas dibandingkan dengan perusakan hutan di
Rondonia. Sampai akhir tahun 1990, hutan seluas sekitar 150.000 kilometer
persegi telah dirusak demi kelancaran sebuah proyek raksasa: Greater Carajas
Program. Dan lebih dari tiga perempat perusakan hutan itu terjadi di salah
satu sisi rel kereta api sepanjang 780 kilometer, yang pembuatannya didanai
Bank Dunia pada tahun 1982. Kisah tragis perusakan hutan itu dimulai saat 304
juta dolar AS pinjaman Bank Dunia diberikan kepada Companhia Vale do Rio
Doce (CVRD), sebuah perusahaan pertambangan milik pemerintah Brasil.
Kemudian jaringan transportasi kereta api pun dibangun dengan memakai dana
pinjaman itu, yang membentang dari pusat cadangan bijih besi sampai pelabuhan
laut di negara bagian Sao Luis. Selain pembangunan jaringan transportasi kereta
api, proyek Bank Dunia juga mendukung pembangunan penambangan bijih besi
Carajas di salah satu ujungnya, dan konstruksi pangkalan bawah air Sao Luis
sebagai ujung lain jaringan transportasi kereta api itu.
Ketika proyek peleburan berlangsung,
tanah-tanah hutan orang Indian dan cagar alam yang ada pun terancam, karena
proyek tersebut telah menarik perhatian para pengejar laba di bidang arang
kayu. Sampai dengan tahun 1987, enam proyek industri telah didirikan, empat di
antaranya adalah proyek peleburan pig iron. Jika semua proyek itu
berlangsung, maka akan terjadi perusakan hutan seluas 1.500 kilometer persegi
per tahun. Dengan demikian, bisa dipastikan dalam waktu 10 tahun areal hutan
yang luasnya melebihi luas wilayah Wisconsin akan gundul. Proyek-proyek
tersebut merupakan contoh proyek ceroboh dan berpandangan sempit, karena hanya
mengandalkan subsidi pajak besar-besaran dan eksploitasi hutan tropis untuk
dijadikan bahan arang kayu. Dan, tentu saja, dengan proyek semacam itu sumber
arang kayu akan habis dalam kurun waktu belasan tahun.[20]
Transmigrasi
Proyek pemindahan penduduk sebagai
bagian dari proyek pertanian yang dibiayai Bank Dunia tidak hanya terjadi di
Brasil. Antara tahun 1976 dan 1986, Bank Dunia mengucurkan pinjaman 630 juta
dolar AS) untuk menopang proyek pemindahan penduduk yang paling ambisius di
dunia: transmigrasi di Indonesia.[21]
Tujuannya sederhana, yaitu memindahkan jutaan orang miskin dari daerah
berpenduduk padat -- Jawa, Lombok, Bali, dan Madura (yang selanjutnya disebut
"daerah asal") ke pulau-pulau seperti Kalimantan, Irian Jaya, dan
Sumatra (selanjutnya dipakai istilah "daerah tujuan"). Di daerah
tujuan terdapat 10 persen hutan hujan dunia. Selain itu, di daerah-daerah
tersebut juga berdiam berbagai suku asli non-Jawa.
Program transmigrasi di Indonesia mempunyai
banyak kesamaan dengan proyek Polonoroeste. Pada mulanya, proyek pemindahan
penduduk itu (diharapkan) dilakukan secara sukarela. Mereka yang bersedia
pindah -- paling tidak dalam proyek berikutnya -- menerima bantuan fasilitas
pertanian dan pelayanan-pelayanan lain, terutama untuk menanam tanaman
perkebunan seperti cokelat, kopi, dan minyak kelapa sawit untuk diekspor.
Pinjaman Bank Dunia sebesar 630 juta dolar AS itu ternyata merupakan
"pancingan" bagi donor lainnya, baik dari pemerintah negara lain
maupun lembaga keuangan internasional. Pemerintah Jerman, Belanda, Amerika
Serikat, Asian Development Bank (ADB), UNDP, dan Food and Agriculture
Organization (FAO) pun turut memberikan bantuan. Sepanjang tahun 1983,
tambahan bantuan dana itu mencapai 743 juta dolar AS. Dana itu digunakan untuk
pengembangan proyek perkebunan inti rakyat (nucleus astate project),c)
yang merupakan bagian dari program pemindahan penduduk ke hutan tropis di
Indonesia.[22]
Menurut Bank Dunia, transmigrasi di
Indonesia bertujuan untuk mengatasi ledakan penduduk dan pengangguran di Jawa
dan pulau-pulau padat lainnya. Transmigrasi juga menjadi alasan untuk memacu
pembangunan ekonomi di daerah tujuan. Dan memang, Pulau Jawa yang luasnya sama
dengan luas wilayah negara bagian New York telah menjadi salah satu tempat
terpadat di bumi karena dihuni sekitar 105 juta jiwa (1993).
Namun, para aktivis dan kritisi hak
asasi manusia dan lingkungan memandang proyek transmigrasi itu sebagai bentuk
siasat politik yang disamarkan dalam wujud pembangunan. Menurut mereka, tujuan
utama transmigrasi lebih bersifat geopolitis. Di Indonesia, 90 persen tanahnya
telah dihuni oleh penduduk non-Jawa. Kondisi populasi yang demikian, bagi
pemerintahan Soeharto dianggap tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu dibuatlah
program transmigrasi. Namun program itu mendapat reaksi keras di daerah-daerah
tujuan. Di Irian Jaya, banyak suku asli telah bergerilya selama lebih dari 20
tahun, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan aneksasi Indonesia
sejak tahun 1969 di wilayah mereka. Sebagai bentuk penolakan lainnnya,
suku-suku asli tetap menyebut wilayahnya dengan nama Papua Barat, sementara
pemerintah Indonesia menggunakan nama Irian Jaya. Transmigrasi di Indonesia,
salah satu sistem "pengamanan" negara yang dilakukan pemerintah
Indonesia,[23] telah menjadi proyek
perang bintang Jenderal Soeharto.d)
Program transmigrasi di Indonesia
telah mewariskan kerusakan lingkungan. Bahkan, dokumen Bank Dunia pun
menyatakan, sejak awal keterlibatan mereka pada akhir tahun 1970-an, program
tersebut telah mengorbankan 15.000 sampai 20.000 kilometer persegi hutan
tropis. Pada kenyataannya, paling tidak 40.000 sampai 50.000 kilometer persegi
hutan tropis yang menjadi korban (4 persen dari hutan di Indonesia dan 3 persen
dari hutan tropis yang tersisa di dunia).[24]
Riset pemerintah Indonesia pada tahun
1989 menyebutkan, perpindahan penduduk -- baik yang didanai maupun tidak – ke
daerah hutan bakau dan rawa-rawa di Indonesia (dikenal paling luas di dunia )
telah mengubah 35.000 kilometer persegi tanah basah. Riset Bank Dunia pada
akhir 1980-an menyatakan, setiap tahun sekitar 10.000 kilometer persegi hutan
di Indonesia telah mengalami perusakan, dan seperempatnya disebabkan oleh
proyek pembangunan baik yang dilaksanakan oleh negara maupun swasta. Dan,
separo dari hutan-hutan itu telah diubah menjadi tanah pertanian demi kelancaran
program transmigrasi.[25]
Perusakan lainnya disebabkan oleh berbagai proyek penebangan kayu dan kebakaran
hutan.
Jika dilihat baik dari segi sosial
maupun dari segi keberhasilan pembangunannya, program transmigrasi di Indonesia
ternyata sama-sama menunjukkan bayangan yang suram. Pada akhir 1980-an, program
transmigrasi itu justru lebih memiskinkan jutaan orang miskin. Tempat-tempat
pemukiman transmigran, yang berasal dari hutan bakau dan tanah basah, selalu
dibayang-bayangi berbagai bencana lingkungan: tanah yang kandungan asamnya
tinggi, bahaya banjir, ladang pertanian yang tidak berguna, wabah serangga,
tikus, dan babi liar. Kondisi buruk itu masih ditambah beberapa persoalan yang
muncul akibat kelemahan perencanaan proyek seperti jeleknya jalan menuju pasar
terdekat. Situasi yang mirip dengan Polonoroeste, Brasil, juga terjadi dalam
program transmigrasi di Indonesia: bantuan pertanian tidak kunjung datang. Akan
tetapi, karena sudah telanjur, banyak transmigran akhirnya mencoba tetap
bertani di tanah-tanah yang tidak subur sekadar untuk bertahan hidup. Ada pula
yang memilih pindah ke kota-kota kumuh di sekitar daerah tujuan. Sekitar 40-50
persen transmigran yang mendapat permukiman di daerah bekas tanah basah dan
rawa-rawa memilih pindah dari lokasi permukiman ke kota.[26]
Menurut laporan Bank Dunia, tahun
1986, 50 persen keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan.
Diperkirakan, pada tahun itu pendapatan mereka 540 dolar AS per tahun,
sementara 20 persen transmigran lainnya berada di bawah garis subsisten (sangat
miskin).[27]
Fakta itu jelas mengherankan, karena sebenarnya biaya rata-rata untuk
merelokasi sebuah keluarga transmigran dapat menjamin kehidupan keluarga tersebut
di atas garis kemiskinan selama paling tidak 13 tahun. Pada akhir tahun
1980-an, survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan bahwa 80
persen dari daerah transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar
kehidupan transmigran.[28]
Kondisi paling buruk terjadi di Irian
Jaya. Bantuan yang kelima dari Bank Dunia telah dimanfaatkan untuk memindahkan
sekitar 15.000 keluarga atau lebih dari 75.000 orang ke Pulau Cendrawasih.
Dalam program transmigrasi itu, pemerintah Indonesia berharap dapat merekrut
"transmigran yang mendapat sponsor" yang sama jumlahnya dengan
"transmigran swakarsa". Dan sampai tahun 1990, lebih dari 300.000
orang Jawa telah pindah ke Irian Jaya.[29]
Irian Jaya sebenarnya merupakan cagar alam terluas di dunia, tempat keanekaragaman
hayati berkembang biak dengan bebas. Seluas 417.000 kilometer persegi
wilayahnya merupakan tanah basah dan hutan hujan. Irian Jaya berpendukuk 1,2
juta jiwa yang menggunakan 224 bahasa, dan 800.000 penduduknya merupakan suku
Melanisia. Banyak kritikus menyatakan, transmigrasi di Irian Jaya tak lebih
dari program "jawanisasi" ke daerah-daerah basis para gerilyawan yang
menentang pemerintah Indonesia sejak tahun 1969. Banyak permukiman transmigran
dibangun di dekat perbatasan Papua Nugini. Pemilihan tempat pemukiman yang
demikian agak mencurigakan karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) memusatkan
aktivitasnya di daerah-daerah terpencil Papua Nugini sebagai tempat pengungsian
yang aman dari kejaran pasukan Indonesia.[30]
Kota-kota di Irian Jaya -- Merauke dan
Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah transmigran
yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk di Merauke pun
berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari total jumlah
penduduk kota tersebut. Sementara itu, kaum pengungsi atau bekas transmigran di
Merauke akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa: menjadi pekerja
seksual dan pelinting rokok. Jadi, transmigrasi di Indonesia telah mengusir
penduduk asli Irian dari tanah mereka dan menimbulkan konflik yang disertai
kekerasan. Sebagai contoh, pada tahun 1988 di sebelah utara Arso IV, sebuah
permukiman transmigran, terjadi kerusuhan. Pada insiden tersebut penduduk asli
Irian membantai 13 transmigran dan melukai banyak orang lainnya. Pada tahun
1989 juga terjadi pembunuhan di dua permukiman transmigran, yaitu Arso I dan
Arso II.[31]
Revolusi
Hijau
Dampak revolusi hijau menurut Vandana
shiva “ revolusi hijau telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman genetika,
meningkatnya kerawanan terhadap hama, terjadinya erosi tanah, kekurangan sumber
air, menurunnya kesuburan tanah, terkontaminasinya lapisan tanah, kurangnya
makanan bergizi bagi penduduk setempat, penggusuran secara besar-besaran petani
gurem dari lahan pertanian, terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan,
meningkatkan kecemburuan sosial dan konflik. Yang mendapatkan keuntungan dari
revolusi hijau ini adalah industri agrokimia, perusahaan-perusahaan petrokimia,
pembuat mesin-mesin pertanian, pembuat bendungan dan para tuan tanah” (Ecology
for beginners, Croall and Williams)
Khususnya di Indonesia kebijakan
pangan pada fase produksi meminta perluasan lahan pertanian. Korban pertama
adalah hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, bahkan rawa-rawa.
Akibatnya jelas kerusakan ekosistem disertai punahnya ribuan spesies endemic di
wilayah tersebut.
Selain itu fakta menunjukkan FAO
melarang penggunaan 57 jenis pestisida karena membahayakan kesehatan. Namun
ternyata sebagian besar pestisida tersebut beredar di Indonesia dan digunakan
oleh petani. Beberapa pestisida berbasis klorin atau organoklorin seperti DDT,
dioxin, aldrin, dieldrin, endrin, chlordane, heptachlor, mirex,
hexachlorobenzen, toxaphene, furans adalah pestisida atau polutan yang dapat
menyebabkan penyakit kanker. Zat-zat kimia tersebut juga mempengaruhi sistem
metabolisme, kekebalan tubuh, dan mempengaruhi fungsi otak manusia.[32]
Menurut laporan UNDP tahun 1998,
sebanyak 2,7 juta orang setiap tahun meninggal akibat pencemaran lingkungan
lewat polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor
dan bahan bakar fosil yang dibakar di rumah-rumah. Karenanya, manusia menderita
kerusakan pernafasan, penyakit jantung dan paru-paru serta kanker. Sebanyak 2,2
juta manusia yang meninggal berada di pedesaan terkena polusi udara di ruangan
karena pembakaran bahan baker tradisional. Laporan UNDP ini semakin mengerikan
lagi manakala ditemukan sebanyak 2 juta anak pertahunmeninggal akibat air
kotor.
Aliran-aliran beracun seperti dioksin,
pestisida, organoklorin, minyak, asam, alkali, dan logam-logam berat seperti
cadmium dan timbale dari pabrik, pertambangan dan pabrik kimia telah
mengkontaminasi saluran air utama di seluruh bagian dunia. Di Indonesia sendiri
eksploitasi alam dan degradasi sumber daya alam sangat memprihatinkan. Sebagai
contoh, kebakaran dan penebangan hutan besar-besaran di Indonesia di
tahun-tahun silam telah mengakibatkan degradasi tanah, sehingga menempatkan
berjuta-juta rakyat miskin dalam resiko kelaparan.
Beberapa puluh tahun silam, masyarakat
agraris di tepi Bengawan Solo mulai Jawa Tengah hingga Jawa Timur mengenal
musim Pladu (ikan mabuk akrena air keruh akibat hujan) sebagai andalan menutupi
kebutuhan gizi keluarga sekaligus rezeki. Panen alami ikan ramai-ramai itu
merupakan kearifan tradisional yang kini tidak dikenal lagi. Berkah pladu tidak
lagi mereka nikmati karena sungi berubah fungsi menjadi saluran limbah ribuan
industri. Ladang tepi bengawan yang mengharap kesuburan Lumpur kiriman tidak
lagi produktif dan ikut menghitam mengeluatkan bau limbah.
Situasi di luar Jawa juga tidak jauh
berbeda. Sungi tidak lagi menghasilkan ikan, hutan tidak lagi menjadi penopang
hidup karenatelah menjadi padang ilalang. Pohon terus ditebang, baik secara
legal maupun illegal.sebagian tanah dikeruk secara sewenang-wenang untuk
diambil hasil tambangnya, dan tidak direklamasi, karena itu bencana terjadi
dimana-mana.
Data Forest Watch Indonesia (2001)[33]
menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan
seluas 60 juta hektar. Pada tahun 1985-1997, laju deforestasi di Indonesia
mencapai 1,4 juta hektar pertahun. Muhtadi (2003)[34]
menyatakan bahwa di Jawa, tingkat kerusakan kawasan hutan yang dikelola oleh PT
Perhutani, sampai tahun 2001 sudah mencapai 350.000 hektar. Diperkirakan
tingkat kerusakan hutan di Jawa akan meningkat hingga 500.000 hektar pada tahun
2002. Kerusakan ini tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi, tetapi
juga hutan lindung dan hutan alam. Sabarnudin (2001)[35]
menyatakan pula bahwa eksploitasi berlebih (over
exploitation), pembalakan tak leggal
(illegal logging) dan merebaknya
perambahan kawasan melengkapi proses destrukturisasi hutan di Indonesia.
Keadaan ini makin diperparah pula oleh adanya tabrakan kebijakan-kebijakan
perekonomian, sosial dan politik menyangkut sumberdaya hutan hasil rumusan
berbagai pihak berdasarkan kebutuhan masing-masing, yang pada akhirnya memicu
adanya persoalan kemiskinan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat
desa hutan.
Forest Watch Indonesia juga
memprediksikan hutan hujan dataran rendah Kalimantan akan hilang tahun 2010.
hutan-hutan lain di Sulawesi dan Sumatera diyakini akan lebih dulu hilang.
Sisa-sisa hutan pegunungan dan hutan rawa-rawa di pulau-pulau akan lenyap tidak
terlalu lama. Hanya Irian Jaya diperkirakan masih memiliki hutan tersisa.
Setelah sungai menjadi saluran limbah,
dan hutan hanya tinggal nama, baru disadari terjadi kesenjangan dan
ketidakadilan. Picu konflik horisontal pun tersulut diam-diam di hampir seluruh
wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam.
[1] Toinbee, A., Mankind and Mother Earth, Oxford, 1976
[2] Yoshiko Isshiki,
“Eco-Feminism in the 21 st Century”, dalam In God,s Image Vol.19 No.3
September 2000, hal 27
[3] Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, (Yogyakarta,
Kanisius) 1996
[4] Ibid,.
[5] Hanne Strong, “Ecological and Spiritual Revolusion”, dalam Our
Planet Vol.7 No.3.1995, hal 25
[6] Lihat tulisan Fukuoka,
tanpa judul (tanpa penerbit,1991) hal 153
[7] Lovelock, J. , Gaia : The Practical science of Planetary Medicine,
Stroud (1992)
[8] O’Riordan, T., Environmentalism, Londod (1981)
[9] O’Riordan, T. dan Cameron , J, Intepreting The Precautionary
Principle, London,
1994.
[10] Pearce, D.W., Turner, R.K., dan Bateman, I. En Introduction to
environtmental Aconomics, London,
1993.
[11] O’Riordan, T. dan Sewell, W.R.D, From Project Appraisal to Policy
Review, Chichester, 1981
[12] Sachs, W. The Politics of Global Ecology, London, 1993.
[13] O’Riordan, T, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
2000
[14] Pearce, D.W, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta,
2000
[15] Philip M. Fearnside, "Deforestation
in Contemporary Brazilian Amazonia: The Effect of Population and Land
Tenure", naskah untuk dipublikasikan dalam Ambio, vol. 22,
akhir 1993, hal. 7.
[16] Philip M. Fearnside dan Judy M. Rankin, "Jari and
Carajas: The Uncertain Future of Large Silvicultural Plantations in the
Amazon", Interciencia, vol. 7, no. 6 (November-Desember 1982), 326.
[17] Jean Paul Malingreau dan
Compton J. Tucker, "Large Scale Deforestation in Southwestern Amazon
Basin of Brazil", Ambio, vol. 17, no. 1, hal. 49-55;
[18] Linda Greenbaum, "The Failure to Protect Tribal
Peoples: The Polonoroeste Case in Brazil", Cultural Survival Quarterly,
vol. 8 (Desember 1984), 76-77.
[19] Kido Guerra dan Cleber Praxedes, "Bird Relata
Incompetencia da Funai no Polonoroeste", Journal do Brasil (Rio de
Janeiro), 23 Juli 1987, caderno 1,5.
[20] Bruce Rich, Menggadaikan Bumi: Bank Dunia, Penghancuran
Lingkungan, dan Krisis Pembangunan (Mortgaging the Earth: The World Bank,
Environmental Impoverishment and the Crisis of Development), Beacon Press,
Boston, Massachusetts, USA, 1994, Edisi Indonesia diterbitkan oleh INFID
[21] Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review
(Washington D.C.: Bank Dunia, 24 Oktober 1986), 157.
[23] "Indonesia's
Transmigration Programme: A Special Report in Collaboration with Survival
International and Tapol", Ecologist, vol. 16, no. 2/3 (1986). Dalam.......................
[24] Lihat Bank Dunia, Indonesia
Transmigration Sector Review, 94-97, 102. Selama periode 1980-1985
(termasuk Pelita III) Bank Dunia memperkirakan sekitar 10.000 kilometer persegi
hutan telah dirusak (op. cit., 96). Dokumen Bank Dunia untuk Indonesia Januari
1990 yang dikutip di atas memperkirakan bahwa lahan yang sudah dibuka pada
dekade 1980-an sudah mencapai 20.000 kilometer persegi, lahan itu dulunya tidak
sepenuhnya hutan. Angka yang dikedepankan Bank Dunia itu sangat rendah karena
rata-rata tiap keluarga mendapat tiga perempat hektare lahan yang sebelumnya
berupa hutan. Sebuah studi yang dilakukan oleh tiga kementerian Indonesia yang
bekerja sama dengan London-based Intenational Institute for Environment and
Development (IIED) mencatat, "jumlah areal hutan yang diubah menjadi
lahan pertanian adalah sangat kecil. Kegagalan program transmigrasi dalam
mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan mengakibatkan banyak keluarga
meninggalkan tempat transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang
berpindah atau penebang liar.
[25] Bank Dunia, Indonesia: Sustainable Development of
Forests, Land, and Water (Washington D. C.: Bank Dunia, 1990), xx-xxi.
[28] Carolyn Marr, "Uprooting People, Destroying
Cultures, Indonesia'sosial Transmigration Program" Multinational Monitor,
Oktober 1990, 12-15.
[29] Jumlah transmigran di Irian Jaya berasal dari tulisan
George Monbiot, "The Transmigration Fiasco", Geographical
Magazine, Mei 1989, 30 (artikel ini memberikan gambaran ringkas tentang
problem pokok pada program transmigrasi di Irian Jaya); dan Bank Dunia untuk
Indonesia, "Transmigration in Indonesia".
[30] Lihat Marcus Colchester, "The Struggle for Land:
Tribal Peoples in the Face of the Transmigration Program," Ecologist,
vol. 16, no. 2 dan 3 (1986), 11-116. Mengenai laporan kritis tentang
transmigrasi di Irian Jaya, lihat George Monbiot, Poisoned Arrows (London:
Michael Joseph, 1989).
[31] Amnesti Internasional, "Indonesia: Continuing
Human Rights Violations in Irian Jaya" (April 1991), Amesti
Internasional, sekretariat London.
[32] Pesticide Monitor, Vol 6 no 3, Oct 1998
PSR’s Environment & Health Program : Pesticides and Kids : A Primer for
Primary Care Physicians
[33] Forest
Watch Indonesia,
2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia.
Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch, Bogor.
[34] Muhtadi, D., 2003. Derita Sepanjang Masa
Rakyat Jawa. Harian KOMPAS, 9 Pebruari. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
[35] Sabarnudin, S., 2001. Rekonsiliasi
Nasional untuk Menyelamatkan Hutan. Makalah Presentasi Kelompok pada Konggres
Kehutanan Indonesia III, Jakarta:
1-11.