Blogger Widgets MANUSIA DAN LINGKUNGAN | RINI .alert { background: #DDE4FF; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

My Facebook

Facebook
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 05 Maret 2014

MANUSIA DAN LINGKUNGAN



MATERI ISBD

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZO_s_PWP6h-BNpv_oOOTAZp6oS1WTVd91UnQ1wpPcib-5vuET6U53yhWYvEUn1nhOuQsuGk1rgzTWvbhI24y6l8qJvmNNPFh1D5ptYtT-6nDLsqy1FPtxjS5g_7iuD2R39lX3jewIfms/s1600/Untitled.png
BAB VIII
Manusia dan lingkungan

1.      Hakekat Lingkungan Sosial Dan Alam Bagi Manusia
Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain bukan sekedar  kawan hidup yang hidup bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka. Tanpa mereka manusia tidak dapat hidup. Kenyataan ini dapat dengan mudah kita lihat dengan mengandaikan jika di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, tumbuhan, hewan, dan jasad renik akan tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia.

Einsteins konon pernah mengartikan lingkungan sebagai ‘segala sesuatu kecuali saya’. Aforisme ini  menyiratkan salah satu dilemma dalam konsepsai lingkungan. Tidak seperti makhluk hidup lainnya, manusia dapat melihat dunia sekelilingnya sebagai sesuatu yang terpisah dari dirinya. Toynbee[1] mengaitkannya dengan daya pikir rasional dan kekuatan emosi manusia. Manusia adalah penakluk alam, sekaligus pihak yang paling merasa terancam olehnya.
Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya diseebut lingkungan hidup makhluk tersebut.
Sifat lingkungan hidup ditentukan oleh bermacam-macam factor. Pertama, oleh jenis dan jumlah masing-masing jenis unsur lingkungan hidup tersebut. Dengan mudah dapat kita lihat, suatu lingkungan hidup dengan 10 orang manusia, seekor anjing, tiga ekor burung perkutut, sebatang pohon kelapa dan sebuah bukit batu akan berbeda sifatnya dari lingkungan yang sama besarnya tetapi hanya ada seorang mnausia, 10 ekor anjing, tertutup rimbun oleh pohon bamboo dan tidak berbukit batu. Dalam golongan jenis unsure lingkungan hidup termasuk pula zat kimia.
Kedua, hubungan atau interaksi antara unsure dalam lingkungan hidup itu. Misalnya dalam ruangan terdapat delapan kursi, empat meja, dan empat pot tanaman bunga. Dalam ruangan itu delapan kursi diletakkan sepanjang satu dinding dengan sebuah meja didepan setiap dua kursi dan sebuah pot bunga diatas masing-masing meja. Sifat ruangan berbeda jika dua kursi dengan sebuah meja diletakkan ditengah masing-masing dinding dan sebuah pot di masing-masing sudut.
Ketiga, kelakuan atau kondisi unsure lingkungan hidup, misalnya suatu kota yang penduduknya ktif dan bekerja keras merupakan lingkungan hidup yang berbeda dari kota yang serupa tetapi penduduknya santai dan malas.
Keempat, factor non materiil suhu, cahaya, dan kebisingan. Kita dapat dengan mudah merasakan ini. Lingkungan yang panas, silau dan bisingsangatlah berbeda dengan lingkungan yang sejuk, cahaya yang cukup, tapi tidak silau dan tenang.
Manusia dan alam semesta adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan manusia telah mampu mengungkap sebagian kecil rahasia alam semesta ini.
Lingkungan alam adalah kondisi alamiah baik biotik ( tumbuhan, hewan ), maupun lingkungan abiotik (tanah, air, mineral, udara) yang belum banyak dipengaruhi oleh tangan manusia, yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
Lingkungan sosial yaitu suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya hubungan interaksi individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok.
Lingkungan budaya adalah segala kondisi, baik yang berupa materi maupun non materi, yang dihasilkan oleh manusia melalui aktivitas, kreatifitas, dan penciptaan yang berpengaruh terhadap lingkungan alam. Lingkungan budaya yang berupa materi meliputi bangunan, peralatan, senjata, pakaian, dll. Sedangkan yang non materi berupa tata nilai, norma, pranata, peraturan, hokum, system politik, system ekonomi, system pemerintahan, dll.
Lingkungan alam dan lingkungan sosial saling berpengaruh dan berinteraksi secara aktif. Lingkungan alam dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan sebaliknya. Manusia yang tingkat budaya dan peradabannya sudah maju, mampu mempertahankan lingkungan alamnya, dan sebaliknya. Oleh karena itu kita semua wajib memiliki wawasan yang luas tentang lingkungan, serta memiliki kemampuan untuk melihat dan menganalisis perspektif ruang muka bumi yang meliputi perubahan serta perkembangan hari ini untuk menatap amsa depan. Sebagai akibat tuntutan kebutuhan manusia yang multi aspek, perubahan ruang dan tata ruang sudah menjadi tuntutan alamiah. Namun yang perlu diperhatikan disini adalah agar masalah dengan lingkungan tadi tidak menimbulkan ketimpangan ruang, ketimpangan lingkungan, atau ketimpangan ekologi.
Manusia sebagai makhluk dinamis, dinamika kehidupannya dipengaruhi factor dominant yang berupa lingkungan sosial-budaya dan lingkungan alamnya.
Ekologi dan manusia
Kata  ‘eko’ dalam ekologi berasal dari bahasa Yunani Oikos, yang berarti rumah tempat tinggal : tempat tinggal semua manusia, hewan, tumbuhan, air, tanah, udara, dan matahari.[2] Ekologi mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungan hidup; mengkaitkan ilmu kemanusiaan dan ilmu alam-bersifat interdisipliner. Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistic, bahwa dunia yang satu itu ternyata mengandung banyak keanekaragaman.[3] Ia sekaligus merupakan reaksi kritis atas pandangan terhadap dunia yang dualistis, dikotomis. Usaha pelestarian lingkungan dimengerti sebagai kesediaan manusia mengakui keterbatasannya, bahwa ia tidak pernah dapat memahami sepenuhnya kerja dunia dan semua unsurnya. Maka ia mau bekerjasama dengan alam lingkungan untuk mengarahkan hidup ini secara bersama-sama kepada kesejahteraan seluruh anggota komunitas dunia ini.itu berarti mengakui dan menghargai hak hidup setiap makhluk sebagai subyek yang mandiri dan bermartabat dalam dunia yang kongret integral.[4]
Alam merupakan guru terbaik, ia menstimulasi kapasitas untuk menangani lingkungan tak terduga dan kejadian yang tidak diperkirakan dengan maksud dan kemurahan hati dari roh, memercikkan momen transenden dan menginspirasikan  tindakan yang kreatif. Hukum alam membangkitkan pola hidup yang kaya dengan kesederhanaan dan kerendahan hati, kemurnian, kebenaran, kemurahan hati, dan cinta kasih.[5] 
Menurut Hanne Strong, kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan pada hukum alam yang dipahami masyarakat asli dan tradisional. Masyarakat ini berbicaraberbicara dengan kumpulan instruksi yang asli yang diberikan kepada mereka oleh sang pencipta. Mereka mengetahui dan menghidupi hukum ini, yang menuntun relasi manusia dengan 4 elemen pemberi kehidupan yaitu tanah, air, udara, dan api (energi), serta mengajarkan penghormatan pada kesatuan dan kesalingketergantungan dari seluruh kehidupan. Hanya jika kita memahami Hukum Kesalingtergantungan, kita dapat memperbaiki kerusakan keempat elemen pemberi kehidupan kita. dan hanya jika kita mengalami kesalingterkaitan satu sama lain, kita dapat memulai mengubah sumbernya : hati dan pikiran manusia.
Ini disepakati Fukuoka, yang mengatakan : “tidak ada jalan lainuntuk perdamaian kecuali semua orang harus meninggalkan gerbang istana persepsi yang relative, turun ke padang rumput, dan kembali ke jantung alam yang non aktif. Marilah kita katakana bahwa kunci perdamaian terletak dekat di bumi.”[6]

2.       Pandangan manusia terhadap lingkungan
Faham dan pandangan manusia terhadap lingkungan alam sangat tergantung dari penguasaan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Setidaknya ada 3 aliran  tentang faham hubungan manusia dengan lingkungannya, yaitu :
Faham determinisme, memandang bahwa manusia sangat tergantung pada alam, artinya kapasitas manusia dan aktifitasnya sangat ditentukan oleh alam dimana dia berada, sedangkan upaya manusia untuk mengkreasi lingkungan sangat terbatas kemampuannya. Tokoh faham ini diantaranya : Charles Darwin (1809-1882) yang terkenal dengan teori evolusinya, Frederich Ratzel (1844-1904) dengan teori Antrhropography yang menyatakan bahwa bahwa manusia berkembang dan hidup sangat ditentukan oleh lingkungan geografis dimana ia tinggal. Tokoh lainnya Elsworth Huntington yang menekankan pada kekuatan pengaruh iklim pada perkembangan dan kehidupan manusia.
Faham Posibilisme atau Probabilisme, memandang lingkungan alam berpengaruh terhadap manusia tetapi tidak menentukan melainkan hanya memberi peluang dan kemungkinan pada manusia untuk berkembang. Tokohnya : EC Semple dan Paul Vidal de la Blace yang menyatakan bahwa perkembangan hidup  dan kebudayaan manusia bukan dipengaruhi langsung oleh alam, tetapi oleh proses produksi yang dipilih seseorang yang berasal dari kemungkinan yang disediakan oleh tanah, iklim, dan ruang yang ada disekitarnya.
Faham Optimisme teknologi, memandang bahwa manusia dengan kemempuan IPTEK yang dimilikinya  dapat menciptakan kebudayaan dan mengkreasi lingkungan alam sesuai yang diinginkannya.
Lingkungan adalah metafora yang melanggengkan kontradiksi kondisi dasar manusia. Ia memiliki kekuatan untuk menaklukkan, namun ia juga diliputi berbagai kelemahan yang membuatnya terancam. Disatu sisi manusia membuat berbagai perbaikan, disisi lain ia membuat kerusakan. Konflik antara individualisme konsumerisme dan solidaritas tidak pernah lepas dari masyarakat manusia. Hal ini sangat ditekankan oleh Atkinson (1991), Dickens (1992), Dobson (1990), Eckersley (1992), dan Sachs (1993). Dari waktu kewaktu manusia memandang alam dengan nafsu penaklukan sekaligus rasa bersalah. Hal ini diuraikan secara cemerlang oleh Glacken (1967).
Manusia sejak lama menyadari betapa uniknya kehidupan di bumi. Kosmos dimana kita hyidup merupakan anugerah tak terperi, dan juga tak tergantikan, yang terbentuk dari jutaan proses kimiawi, biologis, dan fisik secara terus menerus. Pengagungan alam ini  diantaranya diungkapkan Lovelock[7]. Dikatakannya bahwa biosfer yang menyangga kehidupan manusia dilukiskan sebagai suatu zona yang disebut Gaia, yang mempunyai mekanisme pengaturan sendiri, yang justru sering terusik oleh perilaku manusia. Gaia tidak punya sosok tertentu, tidak dibebani moralitas, namun memberi batasan-batasan yang tak terlampaui bagi kehidupan manusia. Jika manusia tak mau menyesuaikan diri, maka alam akan memaksanya.
Inti pandangan environmentalisme yang kini terus diminati ada tiga, yakni pandangan teknosentrik, ekosentrik, dan deep green. Mode teknosentrik yang diungkapkan O’Riordan[8] menggambarkan hakekat manusia sebagai manipulator alam, yang harus membatasi perilakunya agar ia dapat terus memanipulasinya itu. Pandangan konservasionis ini berkembang luas di AS (Hays 1959), cenderung optimistic dan bersifat maskulin. eksploitasi dan teknologi dipandang positif, sejauh itu tidak merusak alam fisik dan sosial secara berlebihan.
Pandangan ekosentrik (Dobson 1990, O’Riordan 1981, Pepper 1986) juga optimis, namun ia lebih jauh lagi dalam menganjurkan pelestarian lingkungan. Kalau dalam pandangan terdahulu alam dijadikan sebagai factor pengimbang sekunder, maka dalam pandangan ini kelestarian harus selalu dinomorsatukan. Semua tindakan manusia sedapat-dapatnya harus didasarkan pada usaha pelestarian alam. Contoh konsepsi pelaksanaannya ada lima :
-                    Konsep pembangunan berkesinambungan (sustainable development), yang tertuang dalam laporan Komisi Bruntland (1987) dan Konferensi Lingkungan dan Pembangunan PBB (UNCED) di Rio Janeiro di tahun 1992 yang menghasilkan agenda 21, suatu program integrasi pembangunan dan lingkungan
-          Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang ungkapkan O’Riordan dan Cameron[9] menyatakan hanya menerima segala iptek selama itu tidak merusak lingkungan. Prinsip itu kemudian mengembangkan civic science (integrasi semua ilmu konvensional dengan dan proses demokrasi alamiah) serta ecological space yang dibarengi dengan prinsip altering the burden of proof. Ini adalah argument ilmiah yang mendesak negara maju memberi kelonggaran dan bantuan kepada negara berkembang  agar dalam pembangunannya tidak mengorbankan kelestarian lingkungan
-          Ilmu ekonomi ekologis (ecological economics) yang menggali berbagai keuntungan bagi manusia jika alam dibiarkan apa adanya (critical natural capital), atau jika kegiatan pembangunan dilakukan secara hati-hati sehingga tidak mengganggu lingkungan (natural resource account) ; istilah lainnya ‘kesejahteraan lingkungan’ (environmental welfare). Hal ini diungkapkan oleh Pearce[10]
-          Penilaian dampak lingkungan (environtmental impact assessment), atau anjuran bagi dilakukannya analisis menyeluruh tentang dampak lingkungan dari setiap proyek atau kebijakan, yang diungkapkan O’Riordan dan Sewell[11]. Ini khususnya ditujukan bagi perusahaan-perusahaan, sehingga memunculkan bidang bisnis jasa baru, yakni biro-biro konsultan lingkungan yang di negara-negara maju sangat berperan  bagi turunnya izin resmi, khususnya bagi kegiatan-kegiatan yang dianggap peka terhadap lingkungan.
-          Ecoauditing, yakni pemeriksaan atas semua usaha, kegiatan atau kebijakan yang ada, demi memastikan bahwa semua itu tidak merusak lingkungan. Tekniknya sendiri berfariasi, misalnya life cicle analisys dan environmental burden analysys. Semuanya merupakan bagian dari sistem manajemen lingkungan terpadu, yang standar-standarnya dibakukan secara internasional. Konsepsi ini dikampanyekan kepada pemerintah di setiap negara yang standar lingkungannyya diniolai memprihatinkan.
Semuanya pada hakekatnya merupakan kompromi antara hasrat membanguna secara ekonomis, dengan keinginan untuk memelihara alam sejauh mungkin. Para penganjurnya yakin bahwa pelaksanaan langkah-langkah diatas tidak bisa ditunda-tunda lagi, dan harus segera dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun pandangan ini tidak lepas dari kritik, Sachs[12] misalnya, meragukan bahwa pengutamaan lingkungan akan menciptakan aneka kendala ekonomis yang pada akhirnya bisa berakibat pada perusakan lingkungan alam itu sendiri.
Terakhir, pandangan deep green bertumpu pada struktur etika dan sosial yang radikal (isrilah lainnya deep ecology atau steady-state economics). Pandangan ini menganjurkan ditinggalkannya pola hidup masal yang dianggap tidak bisa tidak merusak lingkungan, dan menghimbau masyarakat untuk hidup dalam pola komunal yang dekat dengan alam. Teknologi yang harus dipilih adalah yang paling canggih, tetapi yang tidak perlu aneka perangkat penduduk berskala besar. Pandangan ini menentang globalisme ekonomi dan ketergantungan politik. Dalam waktu bersamaan ia mempromosikan pasifisme (hidup serba damai dan bersahaja), ecifeminisme, penegakan hak-hak konsumen demi mengontrol produsen, serta pengakuan atas hak hidup makhlik lain diluar manusia. Pandangan ini berakar pada tradisi anarkhisme dan pemberdayaan komunitas. Meskipun demikian, pandangan ini juga mengakui bahwa semua usulnya tak mungkin diterapkan seketika. Karena itu ia menyambut baik konsepsi pembangunan berkesinambungan, yang dianggap sebagai batu loncatan menuju kondisi serba lebih baik, jauh dari hingar bingar politik atau militer yang pada akhirnya akan menghancurkan lingkungan.[13]

Ekonomi Lingkungan
Ekonomi lingkungan bermula dari tulisan Gray (awal 1900-an), Pigou (1920-an) dan Hotelling (1930-an), namun baru muncul sebagai studi koheren pada tahun 1970-an. Ada tiga unsur pokok dalam ekonomi lingkungan ini yaitu :
Pertama, adanya pandangan bahwa kesejahteraan manusia sedang terancam oleh degradasi lingkungan dan penyusutan sumber daya alam. Tidaklah sulit untuk menemukan bukti-buktinya, mulai dari banjir akibat penggundulan hutan, aneka macam penyakit mematikan akibat pencemaran air dan udara. Studi ini tidak mempersoalkan terganggunya kesehatan, tetapi menekankan kerugiannya secara ekonomis.
Kedua, kerusakan lingkungan secara umum diyakini sebagai akibat dari penyimpangan atau kegagalan tertentu dalam sistem ekonomi, yang kebanyakan bersumber dari pasar. Contohnya, motif keuntungan terkadang mendorong perusahaan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan mengakibatkan kerugian bagi pihak-pihak lain.ini bukan hanya terjadi dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional. Misalnya relokasi industri menempatkan pebrik-pebrik dati negara maju ke hutan-hutan perawan di engara berkembang. Kebijakan tertentu seperti Common Agriculture Policy di eropa, yang memberi subsidi harga produk pertanian, mendiring petani memakai aneka pipik dan obat tanaman secara berlebihan, serta menggali saluran irigasi  lebih banyak dari seharusnya, untuk memaksakan hasil panen semaksimal mungkin.
Ketiga, solusi atas berbagai masalah lingkungan harus dilakukan dengan mengireksi unsur-unsur ekonomi yang menjadi penyebabnya. Kebijakan subsidi, relokasi industri, dan sebagainya, yang telah terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan harus segera diakhiri. Jika suatu kegiatan sulit dihentikan begitu saja secara hukum, maka ekonomi lingkungan menyerankan penerapan pajak ekstra atau penerbitan lisensi khusus demi meredam kegiatan tersebut. Secara umum, penggunaan instrument ekonomi guna mengatasi masalah lingkungan yang bersumber dari kegiatan ekonomi, sangat menarik dan memiliki logika yang kuat.
         Dalam ekonomi sumberdaya alam, batas-batas pencemaran dan kerusakan alam, serta standar kelestarian lingkungan juga dihitung berdasarkan variable-variabel ekonomi. Bahkan berbagai masalah global seperti penipisan lapisan ozone juga hendak diatasi melalui langkah-langkah ekonomis.[14]

3.       Perkembangan Demografi dan Kesejahteraan Hidup
Sebagian besar penduduk Indonesia masih berpendapatan rendah karena produktifitas kerjanya rendah. Hal ini disebabkan rendahnya alat-alat produksi yang dimilikinya, seperti sempitnya bidang tanah yang diusahakan, peralatan kerjanya yang terbatas pula. Juga karena tingkat pendidikan dan ketrampilan yang masih rendah, sehingga tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang lebih produktif. Juga tenaga energi yang mampu dikeluarkan rendah karena kadar gizi makanan dan menderita kekurangan kalori sehingga rawan penyakit. Dalam keadaan serba kekurangan, banyak penduduk Indonesia bersifat mobil, bergerak dari pedesaan ke perkotaan, dan dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari kesempatan kerja.
Sementara itu jumlah penduduk Indonesia kian bertambah dengan rata-rata 2,5-3  juta pertahun, sehingga jumlah penduduk Indonesia naik dari 207 juta (2000) menjadi 222 juta (2005), 235 juta (2010) dan 257 juta pada tahun 2020 nanti. Mereka bisa dilihat sebagai peluang pasar yang sangat besar untuk produksi jasa dan manufaktur. Katakanlah penduduk usia 0-14 tahun pada tahun 2015 mencapai 63,6 juta. Inilah potret ‘ABG’ masa depan yang memerlukan begitu banyak pakaian yang otomatis akan menghidupkan mesin-mesin industri tekstil, produk tekstil, garmen, sepatu, tas, dan sebagainya.
Dapat pula disebut sebagai modal (human capital), akan tetapi juga bisa sekaligus sebagai ancaman. Misalnya akan terjadi ledakan pengangguran kalau penciptaan lapangan kerja tidak tertangan secara serius dari sekarang. Dengan 170,8 juta angkatan kerja tahun itu, jika lapangan kerja produktif tersedia mamadai, mereka akan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang dahsyat, baik dari sisi investasi maupun konsumsi.
Tak kalah besar tantangannya 24,3 juta penduduk usia lanjut (60 th keatas) yang memerlukan aneka macam obat dan makanan suplemen. Tentu kebutuhan mereka menciptakan permintaan barang dan jasa yang pasti mendorong industri farmasi
Dari jumlah penduduk, dengan skenario pesimistis, betapa hidup mungkin tidak akan nyaman lagi. Dijalan, dipemukiman, di kantor, manusia Indonesia akan berdesakan. Lahan untuk pemukiman kian susah dan mahal. Lahan untuk pertanian semakin sempit, menyusut, dan kian kerontang karena terkonversi untuk kebutuhan non pertanian. Banjir dan tanah longsor datang meneror setiap saat dimana-mana karena pohon-pohon raksasa penahan banjir sudah kian menipis jumlahnya dan kurus-kurus pula. Ketersediaan pangan, kelestarian alam menjadi tantangan dan potensi bisnis yang luar biasa.
Masalah sosial
a. Kwalitatif
[ kebutuhan pangan
[ tingkat pendidikan
[ pelayanan kesehatan, nutrisi
[ perumahan
[ pendapatan perkapita
[ kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam
[ tenaga kerja (lapangan kerja dan pengangguran.

b.Kwantitatif
[  pertumbuhan penduduk yang tinggi yang dipengaruhi natalitas, mortalitas dan migrasi
[  penyebaran penduduk yang tidak merata dan mobilitas penduduk
[  komposisi penduduk  dengan angka ketergantungan tinggi

c. Lain-lain
[  pembangunan yang dilaksanakan pemerintah selama ini berorientasi pada penduduk. Penduduk berjumlah besar di pulau jawa, maka tidak saja tenaga buruh yang banyak tersedia, tetapi pasar untuk barang industri pun lebih besar di pulau jawa ketimbang di pulau lain.
[  Pembangunan sumber alam mineral, minyak dan gas yang banyak terdapat diluar pulau jawa dilakukan dengan modal besar dan teknologi canggih, sehingga melibatkan masyarakat setempat. Maka muncullah ‘pulau-pulau modern’ ditengah-tengah ‘lautan’ penduduk tradisional.
[  Konflik yang bermunculan dengan berbagai penyebab diantaranya ketimpangan ekonomi, yang dipicu dengan perbedaan suku, ras maupun agama.

Perspektif masa depan

Bagaimana perspektif perkembangan penduduk masa depan dan apa pengaruhnya terhadap pembangunan bangsa kita?
a.       faktor pertama yang tidak ada di masa lalu adalah desentralisasi, yang berakibat lebih banyak dana keuangan mengalir ke daerah, juga pelimpahan wewenang otoritas pembangunan lebih banyak dari pusat ke daerah. Dengan demikian mobilitas horisontal antar daerah makin meningkat. Migrasi penduduk lebih terpusat ke kota-kota di daerah ketimbang ke pedesaan. Sehingga muncul ‘mikro politan’ di aerah-daerah. Hal ini berakibat sifat patembayan lebih menonjol daripada paguyuban. Demikian pula semangat yang mengutamakan ‘putra daerah’ baik dalam pemerintahan maupun bisnis semakin meningkat. Bahkan persaingan antar suku-suku di daerah memperoleh peluang untuk tumbuh kembali.
-          Solusinya perlu penguatan simbol persatuan bangsa melalui pendidikan dan pembudayaan bangsa.
b.       faktor kedua adalah tantangan munculnya kawasan perdagangan bebas ASEAN (FTA). Hal ini mendorong dibukanya jalur perdagangan antara daerah-daerah yang berbatasan dengan Malysia, Brunei Darussalam, Philipina dan Singapura. Akhirnya kota-kota sepanjang selat Malaka, Laut China Selatan, Laut Jawa dan Laut perbatasan Philipina Selatan akan tumbuh lebih pesat. Persaingan kian meningkat dan dimenangkan oleh mereka yang memiliki kemampuan produktifitas yang tinggi dan sumber daya alam dengan daya komparatif yang lebih unggul.
Solusinya ; kemampuan produktifitas dapat ditingkatkan apabila pemerintah memangkas habis belukar birokrasi administrasi yang menghambat kebebasan berusaha dan mengutamakan investasi pada infrastruktur keras (jalan, pelabuhan, listrik, telekomunikasi) dan infrastruktur lunak ( pendidikan, latihan ketrampilan, fasilitas perdagangan)

c.  faktor ketiga, dampak pertumbuhan, mobilitas dan kepadatan penduduk pada lingkungan yang cenderung menderita tekanan sehingga rusak dan tercemar. Tekanan pembangunan pada sumber alam hutan sangat terasa saat ini. Jumlah permintaan akan papan kayu melebihi kemampuan hutan menghasilkannya secara lestrai. Luas area tanah yang ditimpa erosi sudah tidak terkendali, sehingga banjir dan tanah longsor terjadi dimana-mana. Jumlah volume air tanah yang disedot sudah melewati ambang batas.
     Solusinya ; untuk mengatasi hal ini pembangunan perlu mengendalikan:
1.       Besar penduduk per luas areal
2.       suasana aktifitas penduduk menghasilkan barang dan jasa
3.       degradasi sumber daya alam dan pencemaran lingkungan per satuan produksi barang dan jasa.

4.       Hubungan Kualitas Lingkungan Dengan Kehidupan Manusia
Secara garis besar, kualitas hubungan manusia dengan alam lingkungannya dapat dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan yaitu :
J   Kelompok yang hidupnya sangat tergantung pada lingkungan
J   Kelompok yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya
J   Kelompok yang mampu mempengaruhi dan memanfaatkan lingkungannya bagi kesejahteraan hidupnya.
Dalam konsep ekologi, terdapat dua komponen utama, yaitu makhluk hidup dan ekologi lingkungan. Mengingat pentingnya kedudukan lingkungan pada konsep ekologi, kadang-kadang bila orang berbicara tentang ekologi sering diidentikkan dengan pengertian lingkungan.
Pendekatan ekologi
Pendekatan ekologi yang menelaah hubungan antar makhluk hidup yang satu dengan lainnya pada suatu ekosistem, dapat diadaptasikan dalam menelaah kehidupan manusia. James A Quinn menyatakan bahwa ekologi manusia pada bidang ilmu-ilmu sosial, meliputi geografi manusia yang menelaah hubungan antara kelompok manusia dengan lingkungan alamnya. Sedangkan Barrows menjelaskan bahwa geografi adalah ekologi manusia yang memberikan penjelasan tentang hubungan keberadaan lingkungan alam dengan persebaran dan aktifitas manusia.
Pada konsep ekologi secara umum, lingkungan dibedakan atas lingkungan biotic dan abiotik, sedangkan pada konsep ekologi manusia lingkungan dibedakan atas lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya.
Krisis ekologis, sosial, dan politik dewasa ini disebebkan tidak adanya keadilan, perdamaian, dan khususnya penghormatan dan penghargaan terhadap ciptaan.

5.       Problematika Pembangunan Lingkungan Sosial Budaya Dan Lingkungan Alam Pada Masyarakat Beradab.
Keterbatasan daya dukung alam
Daya dukung lingkungan bersifat relatif dan memiliki keterbatasan. Bila pemanfaatan dan populasi yang dapat didukung oleh lingkungan tersebut telah melewati batas kemampuan, akan terjadi berbagai bentuk ketimpangan yang kemudian menjadi masalah bahkan bencana yang menimpa kehidupan makhluk dimuka bumi terutama manusia.
Keseimbangan pemanfaatan dengan pemeliharaan
Penerapan teknologi bagi peningkatan kesejahteraan umat manusia selain secara jelas berdampak positif juga membawa dampak negative. Penerapannya merupakan tekanan terhadap lingkungan. Eksploitasi hutan, sungai, laut, dan lainnya yang diluar daya kemampuan lingkungan yang bersangkutan, merupakan tekanan yang megubah keseimbangan sehingga menimbulkan masalah lingkungan.
Demikian juga lingkungan sosial budaya, prestasi yang gemilang manusia dalam IPTEK telah merubah pola piker, pola hidup dan perilaku yang berbudaya menuju budaya baru yang didasari oleh hawa nafsunya sehingga terjadi pergeseran nilai ditengah masyarakat.
Peranan manusia secara ekologis dalam lingkungan :
N  Manusia sebagai mahkluk yang dominant secara ekologi
N  Manusia sebagai maklhuk pembuat alat
N  Manusia sebagai makhluk preampok
N  Manusia sebagai makhluk penyebab evolusi
N  Manusia sebagai makhluk pengotor
Lingkungan yang ideal bagi manusia.
Setiap makhluk hidup ingin agar tempat hidupnya memberikan rasa nyaman, aman dan menyenangkan untuk kelangsungan hidup individu dan makhluk sejenisnya. Suatu ekosistem mempunyai stabilitas lingkungan tertentu. Semakin besar keanekaragaman ekosistem, makin besar pula stabilitasnya.
Hutan hujan tropis yang terdiri dari banyak tumbuhan dan binatang walaupun tanpa perawatan tetap akan dapat melangsungkan hidupnya. Sebaliknya lading atau sawah yang hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan saja akan memiliki stabilitas yang kecil.
Pembangunan dan lingkungan
Sebagian belahan bumi yang sangat luas telah berubah menjadi medan peperangan dahsyat. Jutaan spesies sedang dimusnahkan di planet kecil ini. Sementara orang-orang miskin dicerabut dari tempat asalnya dan dipindahkan secara paksa. Lebih dari itu, lebih dari satu setengah juta orang disisihkan demi kelancaran proyek-proyek pembangunan yang didanai oleh Bank Dunia. Bahkan, di atas kertas telah ada beberapa rencana proyek semacam itu yang mungkin akan menggusur orang-orang miskin, setidak-tidaknya satu setengah juta manusia lagi (gambaran yang mengerikan itu didapat dari catatan kemiskinan Bank Dunia dalam kaitannya dengan masalah pemukiman kembali orang-orang yang terkena proyek pembangunan). Di India, pembangunan yang disponsori Bank Dunia telah menggusur lebih dari 20 juta orang dari tanah dan tempat tinggal mereka. Penggusuran itu sering tanpa disertai kompensasi. Dan jika dirunut sejak masa kemerdekaan pada tahun 1947, orang-orang yang tergusur telah mencapai 2,5 persen dari jumlah penduduk India saat ini (1993). Demikianlah, kaum tergusur yang memainkan tokoh "penentang" semakin banyak bermunculan dalam drama yang berpanggungkan bumi, sementara Bank Dunia tetap menjadi aktor utama yang memainkan tokoh "protagonis" tentunya.
Pada awal tahun 1990-an, perusakan hutan telah menjadikan hutan-hutan itu tinggal separonya saja bila dibandingkan dengan kondisi hutan pada tahun 1980-an (antara tahun 1978 dan 1988 telah terjadi penggundulan. Setiap tahun, lahan hutan seluas 22.000 meter persegi digunduli. Luas itu sama dengan luas wilayah Massachusetts). Meski demikian, perusakan hutan itu belum merupakan tragedi sosial dan lingkungan dalam dimensi global.[15] (Penggundulan itu masih sangat mungkin terjadi lagi. Seorang ilmuwan pemerintah Brasil Philip M. Fearnside mengatakan, "Penggundulan itu untuk membayar krisis ekonomi Brasil.")[16]
Sepanjang tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an penggundulan terjadi sangat intens di dua wilayah hutan utama, yaitu di sebelah barat laut Brasil (Rondonia di utara Mato Grosso) dan wilayah hutan di sebelah tenggara hutan Amazon, yaitu di negara bagian Para. Namun, bukan kebetulan bahwa hampir semua aktivitas perusakan hutan di wilayah-wilayah tersebut berkaitan erat dengan dana proyek raksasa yang didanai Bank Dunia, yaitu proyek pembangunan infrastruktur Polonoroeste dan Carajas. Proyek Polonoroeste berupa pembangunan jalan dan pengembangan permukiman untuk pekerja perkebunan, sedangkan proyek Carajas adalah pembangunan jaringan transportasi kereta api dan pembangunan daerah pertambangan. Kedua proyek itu benar-benar telah menjadi pemicu malapetaka kemanusiaan dan ekologis yang masih saja berlanjut, bahkan setelah pinjaman bertahap Bank Dunia selesai diberikan.[17]
Proyek Polonoroeste telah mengubah Rondonia -- wilayah yang luasnya kira-kira sama dengan luas Oregon atau Inggris -- menjadi wilayah dengan kerusakan hutan terluas di Amazon. Sejak beroperasinya Proyek Polonoroeste, kerusakan hutan terus meningkat, yaitu dari 1,7 persen pada tahun 1978 menjadi 16,1 persen pada tahun 1991.6 Pada pertengahan tahun 1980-an, kebakaran hutan Rondonia menjadi fokus utama riset NASA. Sedemikian luas kebakaran hutan itu, yang disebabkan ulah manusia, sehingga areal yang rusak dapat dilihat dari angkasa luar.
Penyakit mulai mengancam nyawa orang-orang yang tergusur dan penduduk asli. Hampir seratus persen penduduk di beberapa tempat terjangkit malaria, dan lebih dari 250.000 orang telah tertular. Beberapa suku Indian terancam pelbagai penyakit, mulai dari wabah campak sampai influensa. Selain itu, angka kematian bayi mencapai 50 dan 25 persen di dua suku yang sempat dihubungi.[18] Pada tahun 1987 Bank Dunia melaporkan (fakta yang sempat dibocorkan pers Brasil), di Rondonia telah terjadi penjarahan tanah Indian secara sistematis, korupsi besar-besaran, penggelapan uang di badan pemerintah yang memberi perlindungan terhadap suku Indian (yaitu FUNAI), wabah TBC, campak, dan malaria yang semakin merajalela di permukiman penduduk asli.[19] Sampai tahun 1993, banyak permukiman suku Indian yang termasuk dalam wilayah kerja Proyek Polonoroeste tidak menerima perlindungan penuh seperti yang dijanjikan.
Sementara itu, di ujung lain lembah Amazon, tepatnya di sebelah tenggara negara bagian Para, selama tahun 1980-an terjadi perusakan hutan yang lebih luas dibandingkan dengan perusakan hutan di Rondonia. Sampai akhir tahun 1990, hutan seluas sekitar 150.000 kilometer persegi telah dirusak demi kelancaran sebuah proyek raksasa: Greater Carajas Program. Dan lebih dari tiga perempat perusakan hutan itu terjadi di salah satu sisi rel kereta api sepanjang 780 kilometer, yang pembuatannya didanai Bank Dunia pada tahun 1982. Kisah tragis perusakan hutan itu dimulai saat 304 juta dolar AS pinjaman Bank Dunia diberikan kepada Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), sebuah perusahaan pertambangan milik pemerintah Brasil. Kemudian jaringan transportasi kereta api pun dibangun dengan memakai dana pinjaman itu, yang membentang dari pusat cadangan bijih besi sampai pelabuhan laut di negara bagian Sao Luis. Selain pembangunan jaringan transportasi kereta api, proyek Bank Dunia juga mendukung pembangunan penambangan bijih besi Carajas di salah satu ujungnya, dan konstruksi pangkalan bawah air Sao Luis sebagai ujung lain jaringan transportasi kereta api itu.
Ketika proyek peleburan berlangsung, tanah-tanah hutan orang Indian dan cagar alam yang ada pun terancam, karena proyek tersebut telah menarik perhatian para pengejar laba di bidang arang kayu. Sampai dengan tahun 1987, enam proyek industri telah didirikan, empat di antaranya adalah proyek peleburan pig iron. Jika semua proyek itu berlangsung, maka akan terjadi perusakan hutan seluas 1.500 kilometer persegi per tahun. Dengan demikian, bisa dipastikan dalam waktu 10 tahun areal hutan yang luasnya melebihi luas wilayah Wisconsin akan gundul. Proyek-proyek tersebut merupakan contoh proyek ceroboh dan berpandangan sempit, karena hanya mengandalkan subsidi pajak besar-besaran dan eksploitasi hutan tropis untuk dijadikan bahan arang kayu. Dan, tentu saja, dengan proyek semacam itu sumber arang kayu akan habis dalam kurun waktu belasan tahun.[20]
Transmigrasi
Proyek pemindahan penduduk sebagai bagian dari proyek pertanian yang dibiayai Bank Dunia tidak hanya terjadi di Brasil. Antara tahun 1976 dan 1986, Bank Dunia mengucurkan pinjaman 630 juta dolar AS) untuk menopang proyek pemindahan penduduk yang paling ambisius di dunia: transmigrasi di Indonesia.[21] Tujuannya sederhana, yaitu memindahkan jutaan orang miskin dari daerah berpenduduk padat -- Jawa, Lombok, Bali, dan Madura (yang selanjutnya disebut "daerah asal") ke pulau-pulau seperti Kalimantan, Irian Jaya, dan Sumatra (selanjutnya dipakai istilah "daerah tujuan"). Di daerah tujuan terdapat 10 persen hutan hujan dunia. Selain itu, di daerah-daerah tersebut juga berdiam berbagai suku asli non-Jawa.
Program transmigrasi di Indonesia mempunyai banyak kesamaan dengan proyek Polonoroeste. Pada mulanya, proyek pemindahan penduduk itu (diharapkan) dilakukan secara sukarela. Mereka yang bersedia pindah -- paling tidak dalam proyek berikutnya -- menerima bantuan fasilitas pertanian dan pelayanan-pelayanan lain, terutama untuk menanam tanaman perkebunan seperti cokelat, kopi, dan minyak kelapa sawit untuk diekspor. Pinjaman Bank Dunia sebesar 630 juta dolar AS itu ternyata merupakan "pancingan" bagi donor lainnya, baik dari pemerintah negara lain maupun lembaga keuangan internasional. Pemerintah Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Asian Development Bank (ADB), UNDP, dan Food and Agriculture Organization (FAO) pun turut memberikan bantuan. Sepanjang tahun 1983, tambahan bantuan dana itu mencapai 743 juta dolar AS. Dana itu digunakan untuk pengembangan proyek perkebunan inti rakyat (nucleus astate project),c) yang merupakan bagian dari program pemindahan penduduk ke hutan tropis di Indonesia.[22]
Menurut Bank Dunia, transmigrasi di Indonesia bertujuan untuk mengatasi ledakan penduduk dan pengangguran di Jawa dan pulau-pulau padat lainnya. Transmigrasi juga menjadi alasan untuk memacu pembangunan ekonomi di daerah tujuan. Dan memang, Pulau Jawa yang luasnya sama dengan luas wilayah negara bagian New York telah menjadi salah satu tempat terpadat di bumi karena dihuni sekitar 105 juta jiwa (1993).
Namun, para aktivis dan kritisi hak asasi manusia dan lingkungan memandang proyek transmigrasi itu sebagai bentuk siasat politik yang disamarkan dalam wujud pembangunan. Menurut mereka, tujuan utama transmigrasi lebih bersifat geopolitis. Di Indonesia, 90 persen tanahnya telah dihuni oleh penduduk non-Jawa. Kondisi populasi yang demikian, bagi pemerintahan Soeharto dianggap tidak bisa diandalkan. Oleh karena itu dibuatlah program transmigrasi. Namun program itu mendapat reaksi keras di daerah-daerah tujuan. Di Irian Jaya, banyak suku asli telah bergerilya selama lebih dari 20 tahun, sebagai bentuk penolakan mereka terhadap kebijakan aneksasi Indonesia sejak tahun 1969 di wilayah mereka. Sebagai bentuk penolakan lainnnya, suku-suku asli tetap menyebut wilayahnya dengan nama Papua Barat, sementara pemerintah Indonesia menggunakan nama Irian Jaya. Transmigrasi di Indonesia, salah satu sistem "pengamanan" negara yang dilakukan pemerintah Indonesia,[23] telah menjadi proyek perang bintang Jenderal Soeharto.d)
Program transmigrasi di Indonesia telah mewariskan kerusakan lingkungan. Bahkan, dokumen Bank Dunia pun menyatakan, sejak awal keterlibatan mereka pada akhir tahun 1970-an, program tersebut telah mengorbankan 15.000 sampai 20.000 kilometer persegi hutan tropis. Pada kenyataannya, paling tidak 40.000 sampai 50.000 kilometer persegi hutan tropis yang menjadi korban (4 persen dari hutan di Indonesia dan 3 persen dari hutan tropis yang tersisa di dunia).[24]
Riset pemerintah Indonesia pada tahun 1989 menyebutkan, perpindahan penduduk -- baik yang didanai maupun tidak – ke daerah hutan bakau dan rawa-rawa di Indonesia (dikenal paling luas di dunia ) telah mengubah 35.000 kilometer persegi tanah basah. Riset Bank Dunia pada akhir 1980-an menyatakan, setiap tahun sekitar 10.000 kilometer persegi hutan di Indonesia telah mengalami perusakan, dan seperempatnya disebabkan oleh proyek pembangunan baik yang dilaksanakan oleh negara maupun swasta. Dan, separo dari hutan-hutan itu telah diubah menjadi tanah pertanian demi kelancaran program transmigrasi.[25] Perusakan lainnya disebabkan oleh berbagai proyek penebangan kayu dan kebakaran hutan.
Jika dilihat baik dari segi sosial maupun dari segi keberhasilan pembangunannya, program transmigrasi di Indonesia ternyata sama-sama menunjukkan bayangan yang suram. Pada akhir 1980-an, program transmigrasi itu justru lebih memiskinkan jutaan orang miskin. Tempat-tempat pemukiman transmigran, yang berasal dari hutan bakau dan tanah basah, selalu dibayang-bayangi berbagai bencana lingkungan: tanah yang kandungan asamnya tinggi, bahaya banjir, ladang pertanian yang tidak berguna, wabah serangga, tikus, dan babi liar. Kondisi buruk itu masih ditambah beberapa persoalan yang muncul akibat kelemahan perencanaan proyek seperti jeleknya jalan menuju pasar terdekat. Situasi yang mirip dengan Polonoroeste, Brasil, juga terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia: bantuan pertanian tidak kunjung datang. Akan tetapi, karena sudah telanjur, banyak transmigran akhirnya mencoba tetap bertani di tanah-tanah yang tidak subur sekadar untuk bertahan hidup. Ada pula yang memilih pindah ke kota-kota kumuh di sekitar daerah tujuan. Sekitar 40-50 persen transmigran yang mendapat permukiman di daerah bekas tanah basah dan rawa-rawa memilih pindah dari lokasi permukiman ke kota.[26]
Menurut laporan Bank Dunia, tahun 1986, 50 persen keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pada tahun itu pendapatan mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada di bawah garis subsisten (sangat miskin).[27] Fakta itu jelas mengherankan, karena sebenarnya biaya rata-rata untuk merelokasi sebuah keluarga transmigran dapat menjamin kehidupan keluarga tersebut di atas garis kemiskinan selama paling tidak 13 tahun. Pada akhir tahun 1980-an, survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan bahwa 80 persen dari daerah transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran.[28]
Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Bantuan yang kelima dari Bank Dunia telah dimanfaatkan untuk memindahkan sekitar 15.000 keluarga atau lebih dari 75.000 orang ke Pulau Cendrawasih. Dalam program transmigrasi itu, pemerintah Indonesia berharap dapat merekrut "transmigran yang mendapat sponsor" yang sama jumlahnya dengan "transmigran swakarsa". Dan sampai tahun 1990, lebih dari 300.000 orang Jawa telah pindah ke Irian Jaya.[29] Irian Jaya sebenarnya merupakan cagar alam terluas di dunia, tempat keanekaragaman hayati berkembang biak dengan bebas. Seluas 417.000 kilometer persegi wilayahnya merupakan tanah basah dan hutan hujan. Irian Jaya berpendukuk 1,2 juta jiwa yang menggunakan 224 bahasa, dan 800.000 penduduknya merupakan suku Melanisia. Banyak kritikus menyatakan, transmigrasi di Irian Jaya tak lebih dari program "jawanisasi" ke daerah-daerah basis para gerilyawan yang menentang pemerintah Indonesia sejak tahun 1969. Banyak permukiman transmigran dibangun di dekat perbatasan Papua Nugini. Pemilihan tempat pemukiman yang demikian agak mencurigakan karena Organisasi Papua Merdeka (OPM) memusatkan aktivitasnya di daerah-daerah terpencil Papua Nugini sebagai tempat pengungsian yang aman dari kejaran pasukan Indonesia.[30]
Kota-kota di Irian Jaya -- Merauke dan Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, kaum pengungsi atau bekas transmigran di Merauke akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa: menjadi pekerja seksual dan pelinting rokok. Jadi, transmigrasi di Indonesia telah mengusir penduduk asli Irian dari tanah mereka dan menimbulkan konflik yang disertai kekerasan. Sebagai contoh, pada tahun 1988 di sebelah utara Arso IV, sebuah permukiman transmigran, terjadi kerusuhan. Pada insiden tersebut penduduk asli Irian membantai 13 transmigran dan melukai banyak orang lainnya. Pada tahun 1989 juga terjadi pembunuhan di dua permukiman transmigran, yaitu Arso I dan Arso II.[31]

Revolusi Hijau
Dampak revolusi hijau menurut Vandana shiva “ revolusi hijau telah menyebabkan berkurangnya keanekaragaman genetika, meningkatnya kerawanan terhadap hama, terjadinya erosi tanah, kekurangan sumber air, menurunnya kesuburan tanah, terkontaminasinya lapisan tanah, kurangnya makanan bergizi bagi penduduk setempat, penggusuran secara besar-besaran petani gurem dari lahan pertanian, terjadinya kemiskinan di daerah pedesaan, meningkatkan kecemburuan sosial dan konflik. Yang mendapatkan keuntungan dari revolusi hijau ini adalah industri agrokimia, perusahaan-perusahaan petrokimia, pembuat mesin-mesin pertanian, pembuat bendungan dan para tuan tanah” (Ecology for beginners, Croall and Williams)
Khususnya di Indonesia kebijakan pangan pada fase produksi meminta perluasan lahan pertanian. Korban pertama adalah hutan yang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, bahkan rawa-rawa. Akibatnya jelas kerusakan ekosistem disertai punahnya ribuan spesies endemic di wilayah tersebut.
Selain itu fakta menunjukkan FAO melarang penggunaan 57 jenis pestisida karena membahayakan kesehatan. Namun ternyata sebagian besar pestisida tersebut beredar di Indonesia dan digunakan oleh petani. Beberapa pestisida berbasis klorin atau organoklorin seperti DDT, dioxin, aldrin, dieldrin, endrin, chlordane, heptachlor, mirex, hexachlorobenzen, toxaphene, furans adalah pestisida atau polutan yang dapat menyebabkan penyakit kanker. Zat-zat kimia tersebut juga mempengaruhi sistem metabolisme, kekebalan tubuh, dan mempengaruhi fungsi otak manusia.[32]
Menurut laporan UNDP tahun 1998, sebanyak 2,7 juta orang setiap tahun meninggal akibat pencemaran lingkungan lewat polusi udara karena emisi-emisi industri, gas buang kendaraan bermotor dan bahan bakar fosil yang dibakar di rumah-rumah. Karenanya, manusia menderita kerusakan pernafasan, penyakit jantung dan paru-paru serta kanker. Sebanyak 2,2 juta manusia yang meninggal berada di pedesaan terkena polusi udara di ruangan karena pembakaran bahan baker tradisional. Laporan UNDP ini semakin mengerikan lagi manakala ditemukan sebanyak 2 juta anak pertahunmeninggal akibat air kotor.
Aliran-aliran beracun seperti dioksin, pestisida, organoklorin, minyak, asam, alkali, dan logam-logam berat seperti cadmium dan timbale dari pabrik, pertambangan dan pabrik kimia telah mengkontaminasi saluran air utama di seluruh bagian dunia. Di Indonesia sendiri eksploitasi alam dan degradasi sumber daya alam sangat memprihatinkan. Sebagai contoh, kebakaran dan penebangan hutan besar-besaran di Indonesia di tahun-tahun silam telah mengakibatkan degradasi tanah, sehingga menempatkan berjuta-juta rakyat miskin dalam resiko kelaparan.
Beberapa puluh tahun silam, masyarakat agraris di tepi Bengawan Solo mulai Jawa Tengah hingga Jawa Timur mengenal musim Pladu (ikan mabuk akrena air keruh akibat hujan) sebagai andalan menutupi kebutuhan gizi keluarga sekaligus rezeki. Panen alami ikan ramai-ramai itu merupakan kearifan tradisional yang kini tidak dikenal lagi. Berkah pladu tidak lagi mereka nikmati karena sungi berubah fungsi menjadi saluran limbah ribuan industri. Ladang tepi bengawan yang mengharap kesuburan Lumpur kiriman tidak lagi produktif dan ikut menghitam mengeluatkan bau limbah.
Situasi di luar Jawa juga tidak jauh berbeda. Sungi tidak lagi menghasilkan ikan, hutan tidak lagi menjadi penopang hidup karenatelah menjadi padang ilalang. Pohon terus ditebang, baik secara legal maupun illegal.sebagian tanah dikeruk secara sewenang-wenang untuk diambil hasil tambangnya, dan tidak direklamasi, karena itu bencana terjadi dimana-mana.
Data Forest Watch Indonesia (2001)[33] menyatakan bahwa dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta hektar. Pada tahun 1985-1997, laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,4 juta hektar pertahun. Muhtadi (2003)[34] menyatakan bahwa di Jawa, tingkat kerusakan kawasan hutan yang dikelola oleh PT Perhutani, sampai tahun 2001 sudah mencapai 350.000 hektar. Diperkirakan tingkat kerusakan hutan di Jawa akan meningkat hingga 500.000 hektar pada tahun 2002. Kerusakan ini tidak hanya terbatas pada kawasan hutan produksi, tetapi juga hutan lindung dan hutan alam. Sabarnudin (2001)[35] menyatakan pula bahwa eksploitasi berlebih (over exploitation), pembalakan tak leggal (illegal logging) dan merebaknya perambahan kawasan melengkapi proses destrukturisasi hutan di Indonesia. Keadaan ini makin diperparah pula oleh adanya tabrakan kebijakan-kebijakan perekonomian, sosial dan politik menyangkut sumberdaya hutan hasil rumusan berbagai pihak berdasarkan kebutuhan masing-masing, yang pada akhirnya memicu adanya persoalan kemiskinan dan ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat desa hutan.
Forest Watch Indonesia juga memprediksikan hutan hujan dataran rendah Kalimantan akan hilang tahun 2010. hutan-hutan lain di Sulawesi dan Sumatera diyakini akan lebih dulu hilang. Sisa-sisa hutan pegunungan dan hutan rawa-rawa di pulau-pulau akan lenyap tidak terlalu lama. Hanya Irian Jaya diperkirakan masih memiliki hutan tersisa.
Setelah sungai menjadi saluran limbah, dan hutan hanya tinggal nama, baru disadari terjadi kesenjangan dan ketidakadilan. Picu konflik horisontal pun tersulut diam-diam di hampir seluruh wilayah Indonesia yang kaya sumber daya alam.








[1] Toinbee, A., Mankind and Mother Earth, Oxford, 1976
[2] Yoshiko Isshiki,  “Eco-Feminism in the 21 st Century”, dalam In God,s Image Vol.19 No.3 September 2000, hal 27
[3] Freddy Buntaran, Saudari Bumi Saudara Manusia, (Yogyakarta, Kanisius) 1996
[4] Ibid,.
[5] Hanne Strong, “Ecological and Spiritual Revolusion”, dalam Our Planet Vol.7 No.3.1995, hal 25
[6] Lihat tulisan Fukuoka, tanpa judul (tanpa penerbit,1991) hal 153
[7] Lovelock, J. , Gaia : The Practical science of Planetary Medicine, Stroud (1992)
[8] O’Riordan, T., Environmentalism, Londod (1981)
[9] O’Riordan, T. dan Cameron , J, Intepreting The Precautionary Principle, London, 1994.
[10] Pearce, D.W., Turner, R.K., dan Bateman, I. En Introduction to environtmental Aconomics, London, 1993.
[11] O’Riordan, T. dan Sewell, W.R.D, From Project Appraisal to Policy Review, Chichester, 1981
[12] Sachs, W. The Politics of Global Ecology, London, 1993.
[13] O’Riordan, T, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
[14] Pearce, D.W, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
[15] Philip M. Fearnside, "Deforestation in Contemporary Brazilian Amazonia: The Effect of Population and Land Tenure", naskah untuk dipublikasikan dalam Ambio, vol. 22, akhir 1993, hal. 7.
[16] Philip M. Fearnside dan Judy M. Rankin, "Jari and Carajas: The Uncertain Future of Large Silvicultural Plantations in the Amazon", Interciencia, vol. 7, no. 6 (November-Desember 1982), 326.
[17] Jean Paul Malingreau dan Compton J. Tucker, "Large Scale Deforestation in Southwestern Amazon Basin of Brazil", Ambio, vol. 17, no. 1, hal. 49-55;
[18] Linda Greenbaum, "The Failure to Protect Tribal Peoples: The Polonoroeste Case in Brazil", Cultural Survival Quarterly, vol. 8 (Desember 1984), 76-77.
[19] Kido Guerra dan Cleber Praxedes, "Bird Relata Incompetencia da Funai no Polonoroeste", Journal do Brasil (Rio de Janeiro), 23 Juli 1987, caderno 1,5.
[20] Bruce Rich, Menggadaikan Bumi: Bank Dunia, Penghancuran Lingkungan, dan Krisis Pembangunan (Mortgaging the Earth: The World Bank, Environmental Impoverishment and the Crisis of Development), Beacon Press, Boston, Massachusetts, USA, 1994, Edisi Indonesia diterbitkan oleh INFID
[21] Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review (Washington D.C.: Bank Dunia, 24 Oktober 1986), 157.
[22] Ibid, 162; IBRD, Statement of Loans, 31 Agustus 1991, vol. 1 (Afrika dan Asia), 165-206.
[23] "Indonesia's Transmigration Programme: A Special Report in Collaboration with Survival International and Tapol", Ecologist, vol. 16, no. 2/3 (1986). Dalam.......................
[24] Lihat Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review, 94-97, 102. Selama periode 1980-1985 (termasuk Pelita III) Bank Dunia memperkirakan sekitar 10.000 kilometer persegi hutan telah dirusak (op. cit., 96). Dokumen Bank Dunia untuk Indonesia Januari 1990 yang dikutip di atas memperkirakan bahwa lahan yang sudah dibuka pada dekade 1980-an sudah mencapai 20.000 kilometer persegi, lahan itu dulunya tidak sepenuhnya hutan. Angka yang dikedepankan Bank Dunia itu sangat rendah karena rata-rata tiap keluarga mendapat tiga perempat hektare lahan yang sebelumnya berupa hutan. Sebuah studi yang dilakukan oleh tiga kementerian Indonesia yang bekerja sama dengan London-based Intenational Institute for Environment and Development (IIED) mencatat, "jumlah areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian adalah sangat kecil. Kegagalan program transmigrasi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan mengakibatkan banyak keluarga meninggalkan tempat transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang berpindah atau penebang liar.
[25] Bank Dunia, Indonesia: Sustainable Development of Forests, Land, and Water (Washington D. C.: Bank Dunia, 1990), xx-xxi.
[26] NDRC dan WALHI, "Bogged Down", 7.
[27] Bank Dunia, Indonesia Transmigration Sector Review, xiv-xv.
[28] Carolyn Marr, "Uprooting People, Destroying Cultures, Indonesia'sosial Transmigration Program" Multinational Monitor, Oktober 1990, 12-15.
[29] Jumlah transmigran di Irian Jaya berasal dari tulisan George Monbiot, "The Transmigration Fiasco", Geographical Magazine, Mei 1989, 30 (artikel ini memberikan gambaran ringkas tentang problem pokok pada program transmigrasi di Irian Jaya); dan Bank Dunia untuk Indonesia, "Transmigration in Indonesia".
[30] Lihat Marcus Colchester, "The Struggle for Land: Tribal Peoples in the Face of the Transmigration Program," Ecologist, vol. 16, no. 2 dan 3 (1986), 11-116. Mengenai laporan kritis tentang transmigrasi di Irian Jaya, lihat George Monbiot, Poisoned Arrows (London: Michael Joseph, 1989).
[31] Amnesti Internasional, "Indonesia: Continuing Human Rights Violations in Irian Jaya" (April 1991), Amesti Internasional, sekretariat London.
[32] Pesticide Monitor, Vol 6 no 3, Oct 1998 PSR’s Environment & Health Program : Pesticides and Kids : A Primer for Primary Care Physicians
[33] Forest Watch Indonesia, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia and Global Forest Watch, Bogor.
[34] Muhtadi, D., 2003. Derita Sepanjang Masa Rakyat Jawa. Harian KOMPAS, 9 Pebruari. PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.
[35] Sabarnudin, S., 2001. Rekonsiliasi Nasional untuk Menyelamatkan Hutan. Makalah Presentasi Kelompok pada Konggres Kehutanan Indonesia III, Jakarta: 1-11.