MATERI ISBD
BAB
II
Manusia
sebagai Makhluk Budaya
1.
Pengertian dan Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan adalah salah satu istilah
teoritis dalam ilmu-ilmu social. Secara umum, kebudayaan diartikan sebagai
kumpulan pengetahuan yang secara social diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Makna ini kontras dengan pengertian kebudayaan sehari-hari
yang hanya merujuk pada bagian tertentu warisan social, yakni tradisi sopam
santun dan kesenian. Istilah kebudayaan ini berasal dari bahasa latin Cultura
dari kata dasar colere yang berarti berkembang atau tumbuh.[1]
Dalam ilmu-ilmu social istilah
kebudayaan sesungguhnya memiliki makna bervariasi yang sebagian diantaranya
bersumber dari keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan natara
masyarakat, kebudayaan dan individu.
Fungsi Akal Dan Budi Bagi Manusia
Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki
manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif
berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir. Kemampuan berfikir manusia
mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai tugas
dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk tingkah laku.
Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan. Budi
diartikan sebagai batin manusia, panduan akal dan perasaan yang dapat menimbang
baik buruk segala sesuatu.
Jadi jelas bahwa fungsi akal dan budi manusia adalah
menunjukkan martabat manusia dan kemanusiaan sebagai pemegang amanah makhluk
tertinggi di alam raya ini.
Masyarakat manusia yang terdiri dari individu-individu
yang terlibatdalam berbagai kegiatan yang mengharuskan mereka beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan dan hal itu harus dilakukan secara terus menerus
demi mempertahankan keberadaan masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan individu
yang menjadi anggotanya.
Kegiatan-kegiatan ini dipelajari melalui peniruan
dan pelajaran satu manusia dengan
manusia lainnya, sehingga semuanya menjadi bagian dari warisan social atau
kebudyaan dari suatu masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang dipelajari dari satu
generasi ke generasi berikutnya itu tidak mengalami perubahan yang berarti
kecuali jika ada factor eksternal yang memperngaruhi pola tindak yang harus
dilakukan demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan social dan individual.
Kegiatan-kegiatan yang dipelajari itu merupakan salah
satu bagian dari kebudayaan masyarakat secara keseluruhan. Didalamnya juga
termasuk artefak dan berbagai kontruksi proporsi kompleks yang terekspresikan
dalam system symbol yang kemudian terhimpun dalam bahasa. Melalui symbol-simbol
itulah tercipta keragaman entitas yang sangat kaya yang kemudian disebut
sebagai obyekkonstruksi cultural sepoerti uang, system kenegaran, pernikahan,
permainan, hukum, dan sebagainya, yang keberadaannya sangat ditentukan oleh
kepatuhan terhadap system aturan yang membentuknya.[2]
System gagasan dan simbolik warisan social itu sangatlah penting karena
kegiatan-kegiatan adaptif manusia sedemikian kompleks dan beragam sehingga
mereka tidak bisa mempelajari semuanya sendiri sejak awal.
Manusia Sebagai Animal Simbolicum
-
Simbol : segala sesuatu (benda,
peritiwa, kelakuan, tindakan manusia, ucapan) syang telah ditempati suatu arti
tertentu menurut kebudayaannya
-
Adalah komponen utama
perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami, diolah
menjadi simbol
-
Kebudayaan : pengetahuan yang
mengorganisasi simbol-simbol
-
Fungsi simbol :
o
Faktor pengembangan kebudayaan
o
Terbatas pada gugus masyarakat
etrtentu
Warisan social itu juga mengandung karakter normative. Artinya
individu-individu dari suatu komunitas terikat oleh kebersamaan dan rasa
memiliki atas warisan social mereka, yang terekspresikan sebagai kesamaan tata
cara, atau persamaan persepsi mengenai dunia di sekelilingnya yang diwujudkan
dalam symbol-simbol tertentu, yang didukung oleh seperangkat aturan sanksi. Artinya,
bagi mereka yang mematuhinya akan ada puian, sedangkan bagi mereka yang
menentangnya telah tersedia hukuman.
Pengertian Budaya dan Kebudayaan
Setiap individu menjalankan kegiatan dan menganut
keyakinannya sesuai dengan warisan social atau kebudayaannya. Hal ini bukan
semata-mata karena adanya sanksi tersebut, atau karena mereka merasa menemukan
unsure-unsur motivasional dan emosional yang memuaskan dengan menekuni kegiatan-kegiatan
dan keyakinan cultural tersebut.
Dalam rumusan ini , istilah warisan social disamakan
dengan istilah kebudayaan. Lebih jauh, model tersebut menyatakan bahwa
kebudayaan atau warisan social lebih adaptif baik secara social maupun
individual, mudah dipelajari, mampu bertahan dalam waktu lama, normative dan
mampu menimbulkan motivasi. Namun tinjauan empiris terhadapnya memunculkan
definisi terbaru tentang kebudayaan seperti yang diberikan EB Taylor[3], “Kebudayaan adalah keseluruhan kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adapt, serta kemampuan
dan kebisaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”
Kebanyakan ilmuwan social membatasi definisi kebudayaan
sehingga hanya mencakup aspek tertentu dari warisan social. Biasanya pengertian
kebudayaan dibatasi pada warisan social yang bersifat mental atau non fisik.
Sedangkan aspek fisik dan artefak sengaja disisihkan. Hanya saja definisi yang
terlanjur berkembang adalah definisi sebelumnya dimana kebudayaan diartikan
bukan sekedar istilah deskriptif bagi sekumpulan gagasan, tindakan dan obyek,
melainkan juga merujuk pada entitas-entitas mentalyang menjadi pijakan tindakan
dan munculnya obyek tertentu.
Consensus yang kini dianut oleh para ilmuwan social
masih menyisihkan aspek emosional dan motivasional dari istilah kebudayaan, dan
mereka tetap terfokus maknanya sebagai himpunan pengetahuan, pemahaman atau
proposisi. Namun mereka mengakui bahwa, sebagian proposisikultural
membangkitkan emosi dan motivasi yang kuat. Dalam kasus ini proposisi tersebut
dikatakan telah terinternalisasi.[4]
Sebagian ilmuwan social bahkan berusaha membatasi lagi pengertian
istilah kebudayaan tersebut hingga hanya “mencakup bagian-bagian warisan social
yang melibatkan representasi atas hal-hal yang dianggap penting, tidak termasuk
norma-norma atau pengethauan procedural mengenai bagaimana sesuatu harus
dikerjakan” (Schneider, 1968)[5]
Sementara itu ada pula yang membatasi pegertian kebudayaan sebagai makna-makna
simbolik yang mengandung muatan representasi dan mengkomunikasikannya dengan
peristiwa nyata. Geertz menggunakan
makna ini secara eksklusif sehingga ia tidak saja mengesampingkan aspek-aspek
afektif, motivasional, dan normative dari warisan social namun juga
mempermasalahkan penerapan makna kebudayaan dalam individu. Menurutnya,
“kebudayaan hanya berkaitan dengan makna-makna public yang terus berlaku
meskipun berada diluar jangkauan pengetahuan individu ; contohnya mungkin adala
lajabar yang dianggap selalu benar dan berlaku, meski sedikit saja orang yang
menguasainya”.[6]
Perselisihan mengenai definisi kebudayaan itu mengandung
argument-argumen implicit tentang sebab-sebab atau asal mula warisan social.
Misalnya saja ada kontroversi mengenai koheren atau tidaknya kebudayaan itu
sehingga lebih lanjut kita dapat mempertanyakan sifat alamiahnya. Disisi lain
para ilmuwan social memendang keragaman dan kontradiksi di seputar pengertian
atau definisi kebudayaan itu sebagai sesuatu yang wajar. Meskipun hamper setiap
elemen kebudayaan dapat ditemukan pada hubungan-hubungan natar elemen seperti
yang ditunjukkan oleh Malinowski dalam Argonauts of the Western
Pacifis (1922)[7].
Tidak banyak bukti yang mendukung dugaan akan adanya pola tunggal hubungan
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Ruth Benedict dalam bukunya Pattern of
Culture (1934)[8].
Berbagai persoalan yang melingkupi upaya intergrasi
definisi-definisi kebudayaan terkait dengan masalah lain, yakni apakan
kebudayaan itu merupakan suatu entitas padu atau tidak. Jika kebudayaan
dipandang sebagai suatu kumpulan elemen yang tidak memebentuk kesatuan koheren,
maka yang harus diperhitungkan adalah
fakata bahwa warisan social senantiasa melebur dalam suatu masyarakat.
Sebaliknya jika kita menganggap kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan koheren,
maka kumpulan elemen-elemennya bisa dipisahkan dan dibedakan satu sama lain.[9]
Kerancuan tersebut lebih jauh membangkitkan minat untuk
menelaah koherensi dan integrasi kebudayaan, mengingat dalam kenyataannya
pengetahuan anggota masyarakattentang kebudayaan mereka tidaklah sama. Hanya
saja tidak ada metodeyang telah terbukti handal untuk mengukur sejauh mana
koherensi dan 8integrasi sebuah kebudayaan. Bahkan muncul bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa elemen-elemen budaya cenderung dapat digolongkan menjadi dua
bagian besar. Pertama adalah sejumlah
kecil elemen yang hampir dipunyai oleh semua anggota masyarakat sehingga
diantara mereka dapat tercipta suatu consensus pengertian. (misalnya lampu
merah berarti tanda berhenti), sedangkan yang kedua adalah elemen-elemenkultural yang hanya diketahui oleh
sebagian anggota masyarakat yang menyandang status social tertentu.(misalnya,
pelanggaran ketentuan kontrak tidak bisa diterima)[10]
Dibalik kerancuan definisi ini terdapat masalah-masalah
penting lainnya yang juga harus dipecahkan. Keragaman definisi kebudayaan itu
sendiri dapat dipahami sebagai giatnya upaya mengungkap hubungan kausalitas
antara berbagai elemen warisan social. Sebagai contoh , dibalik pembatasan
definisi kebudayaan pada aspek-aspek presentasional dari warisan social itu
terletak hipotesis yang menyatakan bahwa norma-norma, reaksi emosional,
motivasi dan sebagainya sangat ditentukan oleh kesepakatan awal tentang
keberadaan, hakekat dan label atas sesuatu hal. Misalnya saja norma kebersamaan
dan perasaan terikat dalam kekerabatan hanya akan tercipta jika ada system
kategori yang membedakan kerabat dan non kerabat. Demikian pula definisi
cultural kerabat sebagai ‘orang-orang yang memiliki hubungan darah’
mengisyaraktkan adanya kesamaan identitas yang memudahkan pembedaannya. Jika
representasi cultural memang memiliki hubugan kausalitas dengan norma-norma,
sentiment dan motif, maka pendefinisian kebudayaan sebagai representasi telah
memusatkan perhatioan pada apa yang paling penting. Hanya saja keuntungan dari
focus yang tajam itu dipunahkan oleh ketergantungan definisi itu terhadap
asumsi-asumsi yang melandasinya, yang acapkali kelewat sederhana.[11]
Komponen utama kebudayaan
:
o
Individu
o
Masyarakat
o
alam
Dari catatan Supartono, 1992,
terdapat 170 definisi kebudayaan. Catatan terakhir Rafael Raga Manan ada 300 buah, beberapa diantaranya :
[ Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil
perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang
merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
[ Robert H Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu
dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic,
kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri
melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal
atau informal
[ Keesing
Kebudayaan adalah totalitas pengetahuan manusia,
pengalaman yang terakumulasi dan yang ditransmisikan secara sosial
[ Koentjaraningrat
Kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia
yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
pekertinya
[ Rafael Raga Manan
Kebudayaan adalah cara khas manusia beradaptasi dengan
lingkungannya, yakni cara manusia membangun alam guna memenuhi
keinginan-keinginan serta tujuan hidupnya, yang dilihat sebagai proses
humanisasi.
[ Selo Soemardjan dan
Soelaeman Soemardi[12]
Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan
atau kebudayaan jasmaniah.
Fungsi kebudayaan
Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat. Bermacam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan
anggota-anggotanya seperti kekuatan alam, maupun yang bersumber dari persaingan
manusia itu sendiri untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia dan masyarakat
memerlukan pula kepuasan baik dibidang materiil maupun spiritual.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut diatas, untuk sebagian besar dipenuhi oelh
kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat
menghasikan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama
melindungi masyarakat terhadap lingkungan. Pada masyarakat yang taraf kebudayaannya lebih tinggi, teknologi
memungkinkan untuk pemanfaatan hasil
alam bahkan munghkin untuk menguasai alam. Di sisi lain karsa masyarakat
mewujudkan norma dan nilai-nilai social yang sangat perlu untuk mengadakan tata
tertib dalam pergaulan masyarakatnya.
Kebudayaan berguna bagi manusia
untuk melindungi diriterhadap alam, mengatur hubungan antar manusia, dan
sebagai wadah dari segenab perasaan manusia. Kebudayaan akan mendasari,
mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat
bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu
yaitu hidup yang lebih baik, manusiawi, dan berperikemanusiaan
2. Jenis dan Ragam Kebudayaan
di Masyarakat
Mohammad Yusuf Melatoa dalam Ensiklopedia Suku Bangsa
Di Indonesia menyatakan Indonesia terdiri dari 500 etnis suku bangsa yang
tinggal di lebih dari 17.000 pulau besar dan kecil. Mereka masing-masing
memiliki kebudayaan yang berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan itu dalam kita
lihat dengan menelaah unsur-unsur kebudayaan seperti dibawah ini.
Unsur-Unsur
kebudayaan menurut C Kluckhohn dalam
bukunya Universal Categories of
Culture meliputi Cultural universals yaitu [13]:
q Peralatan
dan perlengkapan hidup ( pakaian, perumahan, alat-alat produksi, transportasi)
q
Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, distribusi )
q Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum,
perkawinan)
q
Bahasa (lisan maupun tertulis)
q
Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dll)
q
Sistem pengetahuan
q
Religi (system kepercayaan)
Cultural universals tersebut dapat dijabarkan lagi kedalam unsure-unsur yang lebih kecil.
Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural activity.[14]
Sebagao contoh cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi antara lain
mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, system produksi, dll.
Kesenian misalnya meliputi kegiatan seni tari, seni rupa dll. Selanjutnya Ralph
Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsure-unsur yang
lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex.
Misalnya kegiatan pertanian menetap meliputi unsure-unsur irigasi, sistem
pengolahan tanah dengan bajak, system hak milik atas tanah, dan sebagainya.
Selanjutnya trait complex mengolah
tanah dengan bajak akan dapat dipecah ke dalam unsure yang lebih kecil umpamanya
hewan-hewan yang menarik bajak, teknik pengendalian bajak, dan sebagainya.
Akhirnya sebagai unsure kebudayaan yang terkecil membentuk trait adalah items. Bila
diambil contoh alat bajak terdiri dari gabungan alat-alat yang lebih kecil yang
dapat dilepaskan, tetapi pada hakekatnya merupakan satu kesatuan. Apabila salah
satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka tak dapat menjalankan fungsinya
sebagai bajak.
Ciri Kebudayaan :
•
Bersifat menyeluruh
•
Berkembang dalam ruang / bidang
geografis tertentu
•
Berpusat pada perwujudan
nilai-nilai tertentu
Wujud kebudayaan
•
Ide : tingkah laku dalam tata
hidup
•
Produk : sebagai ekspresi
pribadi
•
Sarana hidup
•
Nilai dalam bentuk lahir
Sifat kebudayaan
•
Beraneka ragam
•
Diteruskan dan diajarkan
•
Dapat dijabarkan :
–
Biologi
–
Psikologi
–
Sosiologi : manusia sebagai
pembentuk kebudayaan
•
Berstruktur terbagi atas
item-item
•
Mempunyai nilai
•
Statis dan dinamis
•
Terbagi pada bidang dan aspek
3.
Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan
Manusia sebagai pencipta kebudayaan
Manusia memiliki kemampuan daya sebagai berikut :
[ Akal, intelegensia dan
intuisi
Dengan kadar intelegensia yang dimiliki manusia mampu
belajar sehingga menjadi cerdas, memiliki pengetahuan dan mampu menciptakan
teknologi. Intuisi menurut Supartono sering setengah disadari, tanpa diikuti
proses berfikir cermat, namun bisa menuntun pada suatu keyakinan.
[ Perasaan dan emosi
Perasaan adalah kemampuan psikis yang dimiliki
seseorang, baik yang berasal dari rangsangan di dalam atau diluar dirinya.
Emosi adalah rasa hati, sering berbentuk perasaan yang kuat, yang dapat
menguasai seseorang, tetapi tidak berlangsung lama
[ Kemauan
Kemauan adalah keinginan, kehendak untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu. Kemauan dalam arti positif adalah dorongan kehendak yang
terarah pada tujuan hidup yang dikendalikan oleh akal budi.
[ Fantasi
Fantasi adalah paduan unsur pemikiran dan perasaan yang
ada pada manusia untuk menciptakan kreasi baru yang dapat dinikmati.
[ Perilaku
Perilaku adalah tabiat atau kelakuan, merupakan jati
diri seseorang yang berasal dari lahir sebagai factor keturunan yang kemudian
diwarnai oleh factor lingkungannya.
Ada hubungan
dialektika antara manusia dan kebudayaan. Kebudayaan adalah produk manusia,
namun manusia sendiri adalah produk kebudayaan. Peter L Berger menyebutnya sebagai dialektika fundamental yang
terdiri dari tiga tahap yaitu :
Tahap eksternalisasi, yaitu proses
pencurahan diri manusia secara etrus menerus kedalam dunia melalui aktifitas
fisik dan mental
Tahap obyektifitas, yaitu tahap
aktifitas manusia menghasilkan realita obyektif, yang berada diluar diri
manusia
Tahap internalisasi, yaitu tahap dimana
realitas obyektif hasil ciptaan manusia dicerap oleh manusia kembali.
Manusia sebagai makhluk budaya adalah pencipta
kebudayaan. Kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia didunia
a.
Memanusiakan manusia melalui pemahaman terhadap konsep budaya dasar
1. Keadilan
Keadilan adalah salah satu moral dasar bagi kehidupan
manusia. Keadilan mengacui pada suatu tindakan baik yang mesti dilakukan oleh
setiap manusia.
2. Penderitaan
Penderitaan adalah teman paling setia kemanusiaan. Ini
melengkapi cirri paradoksal yang menandai eksistensi manusia didunia.
3. Cintakasih
Cintakasih adalah perasaan suka kepada seseorang yang
disertai belas kasihan. Cinta merupakan sikap dasar ideal yang memungkinkan
dimensi sosial manusi menemukan bentuknya yang khas manusiawi
4. Tanggungjawab
Tanggungjawab adalah kwajiban melakukan tugas tertentu
yang dasarnya adalah hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang mau
menjadi baik dan memperoleh kebahagiaan.
5. Pengabdian
Pengabdian diartikan sebagai perihal memperhamba diri
kepada tugas-tugas yang dianggap mulia
6. Pandangan hidup
Pandangan hidup berkenaan dengan eksistensi manusia
didunia dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesame dan dengan alam tempat
kita berdiam.
7. Keindahan
Eksistensi manusia didunia diliputi dan digairahkan oleh
keindahan. Manusia tidak hanya penerima pasif tetapi juga pencipta keindahan
bagi kehidupan.
8. Kegelisahan
Kegelisahan merupakan gambaran keadaan seseorang yang
tidak tenteram hati maupun perbuatannya, merasa khawatir tidak tenang dalam
tingkah laku, dan merupakan salah satu ekspresi kecemasan.
4.
Proses dan Perubahan Kebudayaan :
Proses
pembudayaan adalah tindakan yang menimbulkan dan
menjadikan sesuatu lebih bermakna untuk kemanusiaan. Proses tersebut
diantaranya :
a. Internalisasi
Merupakan proses pencerapan realitas obyektif dalam
kehidupan manusia.
b. Sosialisasi
Proses interaksi terus menerus yang memungkinkan manusia
memperoleh identitas diri serta ketrampilan-ketrampiulan sosial. Dalam
keseharian sosialisasi bisa dikatakan sebagai proses menjelaskan sesuatu kepada
anggota masyarakat agar mengetahui adanya suatu konsep, kebijakan, suatu
peraturan yang menyangkut hak dan kwajiban mereka.
c. Enkulturasi
Enkulturasi adalah pencemplungan seseorang kedalam suatu
lingkungan kebudayaan, dimana desain khusus untuk kehidupan kelihatan sebagai
sesuatu yang alamiah belaka.
d. Difusi
Meleburnya suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain
sehingga menjadi satu kebudayaan.
e. Akulturasi
Akulturasi adalah percampuran dua atau lebih kebudayaan
yang dalam percampuran itu masing-masing unsurnya masih kelihatan.
f.
Asimilasi
Asimilasi adalah proses peleburan dari kebudayaan sat ke
kebudayaan lain.
Perubahan
sosial dan kebudayaan merupakan segala perubahan
pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suataau masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap,
dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Setiap masyarakat selama hidupnya pasti
mengalami perubahan, perubahan bagi masyarakat yang bersangkutan maupun bagi
orang luar yang menelaahnya, dapat berupa perubahan-perubahan yang tidak
menarik dalam arti kurang mencolok. Ad pula perubahan-perubahan yang
pengaruhnya terbatas maupun luas, serta ada pula perubahan-perubahan yang
lambat sekali, akan tetapi ada juga yang cepat.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat
mengenai nilai-nilai social, pola-pola perilaku, organisasi, susunan,
lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan
wewenang, interaksi sosial dan seterusnya. Dengan diakuinya dinamika sebagai
inti jiwa masyarakat, maka banyak sarjana sosiologi modern yang mencurahkan
perhatiannya pada masalah-masalah perubahan social dan kebudayaan dalam
masyarakat. Masalah tersebut menjadi lebih penting dalam hubungannya dengan
pembangunan ekonomi yang diusahakan oleh banyak masyarakat dari Negara yang
kemerdekaan politiknya setelah perang dunia kedua.
Faktor-faktor penyebab perubahan sosial dan kebudayaan
a. faktor intern
¯ Bertambah atau berkurangnya
penduduk
¯ Penemuan-penemuan baru
(inovation – discoveri [gagasan] – invention [diterapkan dalam masyarakat]
¯ Pertentangan-pertentangan
dalam masyarakat (konflik)
¯ Pemberontakan / revolusi
b. faktor
ekstern
¯ Perubahan lingkungan fisik
manusia ( bencana alam )
¯ Pengaruh kebudayaan
masyarakat lain
¯ Peperangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi jalannya proses
perubahan sosial :
v Faktor-faktor yang mendorong :
Ø Kontak dengan kebudayaan lain
Ø Sistem pendidikan yang maju
Ø Sikap menghargai hasil karya
orang lain dan keinginan untuk maju
Ø Toleransi terhadap perbuatan
menyimpang
Ø Sistem lapisan masyarakat
yang terbuka
Ø Penduduk yang heterogen
Ø Ketidakpuasan masyarakat
terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu
Ø Orientasi ke depan
Ø Nilai meningkatkan taraf
hidup
v Faktor-faktor yang menghambat :
Ø Kurangnya hubungan dengan
masyarakat lain
Ø Perkembangan ilmu pengetahuan
yang lambat
Ø Sikap masyarakat yang tradisional
Ø Adanya
kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat (vested Interest)
Ø Rasa takut
terjadinya kegoyahan dalam integrasi kebudayaan
Ø Prasangka terhadap hal baru
Ø Hambatan ideologis
Ø Kebiasaan
Ø Sikap pasrah
5.
Problematika sosial kebudayaan
Manusia dan Budaya Unggul[15]
Buku Stephen R Covey berjudul The 8th Habit:
From Effectiveness to Greatness setidaknya menjadi pemicu diskusi tentang
budaya unggul akhir-akhir ini. Para cerdik
cendekia pun ribut mencari apa yang sebenarnya unggul dalam diri kita dan apa
memang ada keunggulan itu. Tidak main-main, bahkan Bapak Presiden merasa perlu
menyampaikan kepada rakyatnya untuk melahirkan budaya unggul dalam bangsa ini.
Dalam maksud yang sederhana, budaya unggul
akan bisa memulihkan harga diri dan martabat bangsa ini menjadi bangsa yang
tidak mudah dilecehkan dan diharapkan mampu mengatasi krisis berkepanjangan dan
seterusnya. Jika budaya unggul bisa didiskusikan bersama seiring dengan manusia
unggul, setidaknya apa yang dinyatakan oleh Covey sebagai manusia dengan
predikat greatness membawa ingatan kita pada apa yang oleh filosof Jerman,
Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), dinyatakan sebagai uebermensch yang
dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai superman. Kebudayaan
merupakan identitas dari manusia.
Untuk melahirkan budaya unggul, terlebih
dahulu manusia harus bisa menjawab tantangan yang ada dalam dirinya sendiri.
Manusia unggul tidak lahir dari situasi statis, melainkan dari proses dinamis.
Tidak saja dalam pengertian bagaimana upaya menemukan talenta terbaik dalam
diri seseorang, melainkan upaya untuk terus-menerus menjadi manusia yang lebih
(over).
Beberapa orang menafsirkan ajaran
uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk memproduksi jenis manusia yang
unggul dalam mengatasi kemampuan manusia lain. Namun, dalam konteks ini saya
kira lebih tepat membaca uebermensch Nietzsche sebagai anjuran untuk melahirkan
manusia unggul dengan cara melahirkan dirinya untuk terus-menerus menjadi
manusiawi. Kata ueber, dalam bahasa Jerman mempunyai dua pengertian yang dalam
bahasa Inggris bisa diasosiasikan menjadi kata super atau over.
Dalam pengertian ini, Ignas Kleden (2004)
menyatakan bahwa manusia hanya akan berhasil menjadi manusia melalui proses
ueberwindung atau overcoming (dalam bahasa Inggris). Anjuran untuk berproses
menjadi manusia unggul sudah dinyatakan dengan amat jelas dalam Also Sprach
Zarathustra. Jelas sekali ketika Nietzsche menulis bahwa pertanyaan pertama dan
satu-satunya yang dianjurkan oleh Zarathustra adalah Wie Wird der Mensch ueberwubden
(bagaimana caranya manusia mengatasi manusia).
Pengertiannya, untuk lahir sebagai superman,
manusia harus terus-menerus mengatasi dirinya sebagai manusia. Untuk menjadi
manusia unggul, manusia harus bisa meningkatkan dirinya dari sekadar manusiawi
(humanus) menjadi lebih manusiawi (humanior). Manusia unggul keluar dari proses
dinamis dan penuh tantangan, manusia yang bisa menggunakan kehendak dan
kuasanya untuk mengatasi rasa lemahnya. Nietzsche adalah filsuf yang begitu
yakin bahwa manusia harus berdiri di atas sifat-sifat konkretnya.
Manusia bukanlah suatu konsep abstrak
sebagaimana dipahami oleh kaum idealis atau juga kaum materialis. Keduanya
sering melahirkan pandangan-pandangan dunia yang bersifat statis. Padahal,
hidup dan kehidupan itu sendiri merupakan sesuatu yang dinamis dan bergerak
terus-menerus. Bukankah Nietzsche sendiri menyatakan, man is something that is
to be surpassed (Manusia adalah sesuatu yang harus dilampaui). Atau dengan
yakin ia menyatakan, what is great in man is that he is a bridge and not a
goal; what is lovable in man is that he is an over- going and down-going (Apa
yang agung dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah jembatan dan bukan
tujuan; apa yang patut dicinta dalam diri manusia adalah bahwa dia adalah
perjalanan naik dan turun).
Melahirkan manusia unggul jangan
disalahpahami hanya dengan pengertian meloloskan siswa-siswa berprestasi yang
mampu merengkuh juara olimpiade fisika, matematika, atau kimia. Menjadi manusia
unggul biasa dialami oleh siapa saja yang mampu mengatasi kediriannya menuju
kedirian yang lebih. Sifat serakah dan senang korupsi adalah manusiawi dan
bahkan menjadi bagian tak terpisah dari manusia. Untuk lahir menjadi manusia
unggul, seseorang harus bergerak untuk memperbarui kemanusiawiannya menjadi
lebih manusiawi dengan menjelma menjadi manusia yang tidak serakah dan senang
korupsi.
Seorang pejabat akan bernilai lebih jika
setiap saat dia berhasil mengawasi dan menekan nafsu korupsinya. Dalam
mengarungi bahtera kehidupan yang nyata itulah manusia diberi kuasa untuk
memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Dia harus menciptakan nilai-nilai
untuk dirinya sendiri pada saat perjalanan kehidupan tersebut.
Di sini dapat dipahami mengapa Nietzsche
amat membenci pada mereka yang mudah menyerahkan diri pada skema nilai-nilai
yang diciptakan di luar dirinya sendiri. Nietzsche menyebut mereka sebagai
"manusia bermoral gerombolan" atau "bermoral budak". Mereka
adalah para pengecut yang hanya bisa berlindung di balik nilai-nilai yang
menjerat kedigdayaannya.
"The ignorant, to be sure, the
people-they are like a river on which a boat floateth along; and in the boat
sit the estimates of value, solemn and disguised". Mereka seperti sebuah
sungai yang di atasnya mengambang sebuah perahu; dan di dalam perahu itu duduk
nilai yang dihargai, penuh kemeriahan dan samaran.
Manusia unggul, jika mau merujuk pada
Nietzsche, bisa lahir dan dilahirkan dari manusia yang tak lagi menggantungkan
diri segala tekanan dari luar. Dengan tidak memperpanjang segala kontroversi pendapat
Nietzsche, budaya unggul dalam perspektif ini bisa dijadikan rujukan untuk
mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan yang hancur di tengah
keserakahan modal, penguasa, utang luar negeri, bahkan terorisme.
Komodifikasi kebudayaan
Ada kesan bahwa kebudayaan semakin mejadi komoditas. Kebudayaan
seakan-akan diapropriasi oleh elite politik, elite intelektual, elite birokrat,
elite system pendidikan atau elite budaya sendiri. Apropriasi itu berlangsung
atas dua jalur. Pertama, terungkap
dalam pembicaraan tentang kebudayaan masyarakat yang dikatakan tidak cocok
untuk pembangunan. Menurut jalur ini budaya masyarakat perlu direkayasa supaya
sesuai dengan pembangunan. Yang merekayasa adalah elite yang berbeda dari
masyarakat yang menganggap dirinya sudah mempunyai budaya yang sesuai dengan
pembangunan. Jalur itu juga melegitimasi penundaan proses demokratisasi :
selama masyarakat masih memiliki mentalitas yang tidak cocok dengan
pembangunan, ia belum dapat ikut dalam proses penentuan arah perjalanan bangsa Indonesia.
Kedua,
berkebalikan dengan yang pertama, yaitu jalur
keprihatinan terhadap budaya bangsa. Dia mendapat ekspresi dalam dua sub lagu
yang bersama menghasilkan paduan suara atau duet harmoniselite yang prihatin. Sub lagu yang pertama disebut lagu
museum ; unsure-unsur positif warisan budaya bangsa perlu dilestarikan. Disini
termasuk pakaian nasional, tari-tarian, sopan santun ketimuran, kekeluargaan,
gotong royong dan lain-lain. Dengan menetapkan apa yang termasuk budaya bangsa,
elite menetapkan kelakuan masyarakat yang mana sesuai dan yang mana tidak
sesuai.
Sub-lagu yang kedua mau melindungi budaya nasional terhadap pengeruh buruk dari luar.
Elite yang menganggap diri berwenang untuk menetapkan sikap-sikap mana yang
tidak sesuai dengan budaya bangsa. Disini kita mendengarkan bahwa bangsa Indonesia tidak
mengenal oposisi, bahwa masyarakat kita bermusyawarah daripada memperjuangkan
hak-haknya, tidak bersikap konfrontatif, bahwa bertindak berdasarkan keyakinan
sendiri adalah individualisme, dan oleh karena itu asing.[16]
Hal-hal diatas secara tegas menyatakan bahwa demi budaya bangsa
elitelah yang sebaiknya menentukan arah pembangunan.
Tantangan Kebudayaan
Masyarakat kita yang berbudaya akan
beruntung apabila mengenal dan akrab dengan beberapa kebudayaan barat. Sama
dengan orang barat yang mengenal dan mencintai kebudayaan-kebudayaan Timur.
Pertemuan dengan kebudayaan lain selalu memperkaya kita sendiri. Mengagumi
karya karya seni Italia, atau menelusuri filsafat Perancis bagi orang timur
pasti sangat rewarding. Yang pasti menarik, pelancongan ke dalam kebudayaan
lain tidak cenderung memiskinkan persepsi tentang kebudayaan sendiri, melainkan
memperkaya.
Kebudayaan yang sungguh-sungguh mengancam
kita adalah kebudayaan modern tiruan. Dia mengancam karena tidak sejati, tidak
substansial, semu, dan ersatz. Kebudayaan itu membuat kita menjadi manusia
plastic, manusia tanpa kepribadian, manusia terasing, manusia kosong, manusia
latah.[17]
Kebudayaan tiruan itu mempunyai daya tarik
luarbiasa sehingga mampu menyedot pandangan kita tentang nilai, dasar harga
diri, dan status. Ia menawarkan kemewahan, kepenuhan hidup, kemantapan diri,
asal kita mau berpikir sendiri, dan berhenti membuat penilaian sendiri.
Kebudayaan yang dikatakan modern itu membuat kita lepas dari kebudayaan
tradisional kita sendiri, dan sekaligus tidak menyentuh kebudayaan teknologis
modern yang sesungguhnya. Akhirnya kita hanya seolah-olah menjadi manusia
modern.
[1] Kroeber A.L. dan Kluckhon, C (1963), Culture : A Critical Review of
Concepts and Definitions, New York.
[2] D’Andrade, R. (1984) ‘Culture Meaning System’, dalam R.A. Shweder
dan R.A LeVine (eds) Culture Theory : Essays of Mind, Self, and Emotion, Cambridge, UK
[3] Taylor,
E.B (1958/1871) Primitive Culture : Researches in the Development of Mythologi,
Religion, art and Custom, Gloucester,
MA.
[4] Spiro, M.E (1987) Culture and Human Nature, Chocago
[5] Schneider, D. (1968) American Kinship : A Cultural Account, Englewood Cliffs, NJ.
[6] Geertz, C. (1973) The Interpretation of Culture, New York.
[7] Malinowski, B (1922) Argonouts of The western Pasific, London.
[8] Benedict. R (1934) Pattern of Culture, Boston, MA.
[9] D’Andrade, R, Culture dalam Jessica Kuper, & Adam Kuper,,
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, 2000
[10] Swartz, M. (1991) The Way The World is : Cultural Processes and
Social Relations among the Mombassa Swahili, Berkeley, CA.
[11] D’Andrade, R, Ibid
[12] Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setagkai Bunga Sosiologi,
edisi pertama, yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1964,
hal 155
[13] Kluckhohn C, dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar,
edisi ke-4, Rajawali Pers, 1990
[14] Linton, R, A Study of Man, an introduction, Appleton Century-Croft.
Inc., New York,
1936, hal 397
[15] Saiful Arif, Kompas, Jum’at 17 Februari 2006, HTML
[16] Franz Magnis Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik, butir-butir
Pemikiran Kritis, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992, hal 29-30
[17] Ibid, Hal 51