Blogger Widgets Manusia, Moralitas dan Hukum | RINI .alert { background: #DDE4FF; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

My Facebook

Facebook
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 05 Maret 2014

Manusia, Moralitas dan Hukum



MATERI ISBD


http://susianty.files.wordpress.com/2010/09/etika1.png
BAB VI
Manusia, Moralitas dan Hukum

1. Pengertian Nilai, Moral dan Hukum.
Nilai.         
Nilai dianggap penting dalam kehidupan manusia, hal ini disebabkan seseorang di dalam hidupnya tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu, nilai-nilai ini implementasinya sangat luas, dapat ditemukan pada berbagai perilaku yang terpilih dalam berbagai kehidupan yang luas di alam semesta ini. Jadi, pemahaman akan konsep nilai dianggap penting dalam upaya untuk mengerti dan memahami pentingnya nilai bagi kehidupan manusia.
Nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Contohnya adalah baju itu indah, maka arti indah adalah sifat atau kualitas yang melekat pada baju. Dengan demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan yang lainnya.
Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan. Jika berbicara tentang nilai berarti masuk pada bidang makna normatif, bukan kognitif, masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian diantara keduanya, antara yang makna normatif dan kognitif, antara dunia ideal dan real, itu saling berhubungan atau saling berkait erat. Artinya yang ideal harus menjadi real dan yang bermakna normatif harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Terdapat batasan nilai (tentatif) dari beberapa pendapat mengenai konsep nilai yaitu nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau segala sesuatu yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
            Dalam memahami lebih jauh mengenai konsep nilai, maka Notonagoro membagi nilai menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1)      Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
2)      Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3)      Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
a)      Nilai kebenaran, yang bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b)      Nilai keindahan atau  nilai estetis, yang bersumber pada unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
c)      Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, would, karsa) manusia.
d)     Nilai religius, yang merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Dari macam-macam nilai diatas, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material lebih relatif mudah diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur lainnya seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/ spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/ spiritual yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indera, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.
            Jika nilai ingin dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara, maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas, sehingga merupakan suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi ; Pertama, Norma Moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik dan buruk serta benar dan salah, sopan atau tidak sopan, dan susila atau asusila. Sehingga etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegera dapat berjalan dengan baik. Kedua, Norma Hukum yaitu yang berkaitan dengan sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
            Nilai memiliki kaitannya yang erat dengan etika, karena etika pada pokoknya merupakan kajian mengenai nilai baik dan buruk serta benar dan salah. Istilah etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu eqos-ethos dan eqiqos-ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sedangkan ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :
1)      Etika Deskriptif.
Etika desriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif. Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu, etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.

2)      Etika Normatif.
Etika normatif dapat juga disebut filsafat moral (moral philoshopy). Etika normatif sendiri dibagi dalam dua teori, yaitu teori-teori nilai (theories of value) dan teori-teori keharusan (theories of obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan teori-teori keharusan membahas tingkah laku.
           
2. Nilai Barat dan Timur.
            Barat dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga hasil pola pemikirannya membuahkan sains dan tekhnologi. Dalam cara berfikir dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak cocok dengan cara berfikir untuk meninjau mkana dunia dan makna hidup. Barat hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman agama muncul sebagai suatu sistematik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas hidup dan pikiran orang makin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berfikir analitis rasional, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta kepekaan hati sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak bermutu. Nilai penting yang mendasari semua nilai di Barat adalah martabat manusia, kebebasan dan tekhnologi.
            Dalam hal manusia, Barat beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Maksudnya, manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri, dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional, kreatif dan estetik, sehingga kebudayaan Barat menghasilkan nilai dasar seperti demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi, yang kesemuanya berpangkal demi penghargaan mutlak bagi manusia. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia itu dianggap memiliki nilai diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan hatinya.
            Nilai Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur. Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh eksistensinya. Berfikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha  manusia untuk menguasai dunia dan hidup secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budi. Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan instuisi serta intelegensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya dengan otaknya.
            Dalam hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama saja, tetapi juga bersumber dari ide-ide abstrak atau simbolik yang dapat terwujud kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran kongkret, simbolik dan kebijaksanaan.
           

Moralitas.
Berbicara soal moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Karena norma moral merupakan standar prilaku yang disepakati, maka moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku orang lain. Oleh karena itu, norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai, apakah kita ini baik atau buruk, yang menjadi permasalahan bidang moral.
            Bahkan K. Bertens mengatakan Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dilakukan dan tidak pantas dilakukan. Keharusan dapat dibedakan antara keharusan alamiah dan keharusan moral. Keharusan alamiah  adalah keharusan yang didasarkan atas hukum alam, alam telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga berjalan secara otomatis, tidak perlu ada instansi yang mengawasi agar hal itu terjadi, hal itu akan terjadi dengan sendirinya dan tidak mengandaikan adanya kebebasan (keharusan alamiah inilah yang terjadi pada binatang). Sedangkan keharusan moral dijalankan berdasarkan hukum moral. Hukum moral tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi merupakan himbauan pada kemauan manusia dengan menyuruh untuk melakukan sesuatu. Jadi hukum moral merupakan kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma itu. Manusia harus menerima dan menjalankannya (keharusan moral semacam ini hanya ada pada manusia). Keharusan moral mengandaikan adanya kebebasan.
Lawrence Kohlberg mengatakan bahwa orientasi moral seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap orang. Ada 4 orientasi moral yang Kohlberg kemukakan, yaitu :
1)      Orientasi normatif yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan taat pada aturan yang telah baku.
2)       Orientasi kejujuran yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus pada :
a)       Kebebasan.
b)       Kesamaan.
c)       Pertukaran hak.
d)      Kesepakatan.
3)       Orientasi utilitarisme menekankan konsekuensi kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada orang lain.
4)       Orientasi perfeksionisme menekankan pencapaian :
a)       Martabat dan otonomi.
b)       Kesadaran dan motif yang baik.
c)       Keharmonisan dengan orang lain.
Orientasi moral ini dipandang penting karena akan menentukan arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga dapat dikatakan salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi; tujuannya agar kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap perbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti sendiri mengapa kita harus begini atau begitu.
            Oleh karena itu orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap moralitas dan pertimbangan moral seseorang, karena pertimbangan moral merupakan hasil proses penalaran yang dalam proses penalaran tersebut ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya.
Karena banyaknya istilah moral, moralitas, immoral dan amoral dalam makalah ini, akan lebih baik bila dipertegas lebih dahulu pengertian istilah tersebut. Kata dan istilah moral sering juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik lewat percakapan, tulisan maupun berita. Istilah moral ini bisa digunakan untuk maksud yang berbeda, tentu saja sesuai dengan konteks dan makna pembicaraan yang dimaksud. Akan tetapi bila ditelusuri asal-usul katanya, istilah moral berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores) yang berarti adat, kebiasaan. Moral secara istilah adalah nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas/ pilar dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis atau non moral, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik atau secara moral buruk atau tidak etis. Dalam kamus yang berkembang di Indonesia amoral berarti immoral dalam pengertian di atas dan pengertian immoral sendiri kurang dikenal.

Hukum
Pemahaman mengenai hubungan manusia dengan hukum yaitu bahwa setiap saat manusia dikuasai oleh hukum. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih mencampurinya sesudah manusia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu dan masih menjaga jenazah orang yang sudah mati. Hukum berlaku pada seorang individu ketika baru dilahirkan, memberikan hak-hak terhadap orang tua dan meletakkan kewajiban atas orang tua terhadap anak-anaknya. Pergaulan hidup manusia yang terjadi karena hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya, baik hubungan yang langsung (asal-usul/ keturunan), perkawinan, perdagangan, tempat tinggal, kebangsaan, dan lain-lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa semua hubungan itu diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum, bahkan jika dipikirkan lebih lanjut maka terasalah bahwa hukum itu tidak terbatas melainkan terdapat dimana-mana.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antar kaidah hukum dengan kaidah lain tersebut saling berhubungan yang satu memperkuat lainnya, meskipun adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-benar dikehendaki diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat; apaila kita juga betul-betul berfikir demikian seperti yang dalam undang-undang, dan terutama juga betul-betul menjadi realitas hidup dalam kehidupan orang-orang dalam masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Mochtar Kususmaatmadja mengatakan “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut”. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi penyelenggara hukum untuk mengerahkan cara berfikir dan bertindak dalam rangka kebijakan (policy) tujuan nasional. Dalam kediriannya, secara inheren, tidak ada sangkut pautnya dengan “keadilan” dan “kebenaran” dalam makna yang hakiki. Dalam rangka konseptualisasi, hukum selalu berpihak, selalu berwarna dan memang dirancang ,dalam kamus hukum, hanya dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif berakar dari sosial, budaya, struktural dan bahkan agama.

3. Fungsi Nilai, Moral dan Hukum dalam Kehidupan Manusia.
            Nilai, moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai yang dianggap penting oleh manusia itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan. Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya, sehingga akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain. Pemahaman akan nilai dan kebernilaian diri akan membawa implikasi pada permasalahan moralitas. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk (etika), yang mana cara mengukurnya adalah melalui nilai-nilai yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Sedangkan perbuatan-perbuatan manusia agar tidak merugikan orang lain atau masyarakat dan dapat menciptakan ketertiban serta dapat menjaga keutuhan masyarakat, maka dibuatlah hukum yang mengatur tentang hubungan sosial masyarakat.
Pada dasarnya nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Setidaknya dapat dikemukakan tiga fungsi eksplisitnya dalam kehidupan manusia. Pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini mengingatkan manusia agar memperhatikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Hal ini menunjuk dimensi moral dari permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Terjadinya kekacauan atau ketidakberesan dalam masyarakat selalu berhubungan dengan longgarnya penerapan moralitas dan hukum. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional“. Maksudnya, dapat menggiring manusia kepada faktor-faktor emosional sehingga manusia dapat saja salah atau keliru pada saat memilih sesuatu.
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif.
            Istilah hukum positif dimaksudkan untuk menandai “ diferensi ” (perbedaan) dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat tampil lebih jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti oleh anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini ialah :
1.    Bukanlah kaidah sosial yang mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya sehingga dibutuhkan lembaga khusus yang bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh hukum.
2.    Dibutuhkan staf (orang/ personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti polisi dan pengadilan.
            Sifat dan peraturan hukum tersebut adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam. Pengertian memaksa bukanlah senantiasa dipaksakan, apalagi dengan tindakan sewenang-sewenang. Sebab hukum itu merupakan konkritisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal penting yaitu sebagai sistem norma, sebagai sistem kontrol sosial dan sebagai social enginering (pemegang kekuasaan memelopori proses pengkaidahannya).
            Bahkan tatkala terjadi dilema di dalam hukum itu sendiri, yang dapat disebabkan karena adanya konflik, baik dari lembaga-lembaga hukum, sarana prasarana hukum bahkan rendahnya budaya hukum dalam masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus mengembalikannnya pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus mengutamakan moralitas masyarakat.

4. Proses terbentuknya Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara.
            Dengan semakin banyaknya permasalahan-permasalahan sosial dewasa ini, yang banyak diwarnai dengan masalah pertumbuhan penduduk yang demikian cepat, revolusi industri, perkembangan tekhnologi serta modernisasi, secara tidak langsung telah menimbulkan suatu tatanan baru atau gambaran sosial yang baru di dalam masyarakat saat ini. Perkembangan yang demikian ini membawa serta peranan dan pengaturan melalui berbagai bidang, umumnya di bidang moralitas dan di bidang hukum secara khusus.
            Permasalahan-permasalahan sosial selalu ada dalam suatu masyarakat ataupun negara. Bahkan sejak jaman dahulu sampai jaman sekarang permasalahan-permasalahan sosial itu akan tetap selalu ada di dalam masyarakat dan negara. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial tersebut dibutuhkanlah yang dinamakan dengan moralitas dan hukum, baik moralitas dan hukum dalam artian masing-masing maupun moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan.
            Dalam artian moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan maka di kenal suatu istilah yang dinamakan Hukum Moral. Hukum moral ini berbeda dengan hukum-hukum yang lainnya. Umumnya, hukum moral dimengerti sebagai “tatanan pengarah” kegiatan manusia untuk mencapai tujuan yaitu ketertiban dan keadilan. Hukum moral sendiri meliputi rangkaian aturan permanen, seperti kewajiban menghormati kontrak antar pribadi (kontrak sosial), peraturan hidup, larangan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang-orang lain.
            Terdapat 5 (lima) fungsi perumusan hukum moral antara lain : Pertama, mewariskan himpunan kebijakan dari jaman dulu kepada generasi sekarang dan yang akan datang. Sebagai individu dan makhluk sosial, manusia selalu mempertimbangkan dampak tindakan yang diperbuatnya. Kedua, Mengusahakan keamanan secara psikologis dan sosial. Secara sosial, hukum ini membantu tatanan hidup masyarakat untuk menghadapi kekuatan-kekuatan “khaotik” dan “anarkis”. Ketiga, membantu manusia dalam pengambilan keputusan dan mencegah terjadinya “paralisis moral”. Keempat, membantu manusia untuk mengenal kekurangan-kekurangan dan kegagalan-kegagalan sehingga manusia dapat memperbaiki diri. Kelima, Membagikan pengalaman supaya bisa tercipta tingkah laku personal dan sosial. Hukum moral ada untuk melayani cinta kasih dan berada di bawah cinta kasih dan membantu untuk menuntun manusia menuju kebaikan secara otentik.
            Supaya hubungan manusia dalam masyarakat dan negara terlaksana sebagaimana yang diharapkan, maka diciptakanlah norma-norma yang bersumber pada nilai-nilai dan moral masyarakat melalui tahapan sebagai berikut, (1). Cara (usage) yaitu menunjuk pada suatu kegiatan. (2). Kebiasaan (folkways) yaitu perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. (3). Tata kelakuan (mores) yaitu kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima norma-norma pengatur. (4). Adat istiadat (custom) yaitu tata kelakuan yang kekal seta kuat integrasinya dengan pola-pola masyarakat, disertai dengan sanksi tertentu
Dalam rangka pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma itu mengalami beberapa proses. Pertama, Institusionalisasi yaitu proses dimana norma itu dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari, dan secara resmi dilembagakan berbentuk suatu hukum tertulis dalam konteks kenegaraan. Kedua, Internalisasi yaitu suatu proses dimana norma tersebut telah mendarah-daging dalam masyarakat.

5. Perwujudan Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara.
            Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum manusia menyangkut masalah apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis yang dikemukakan oleh Berl Kutchinsky, yaitu “a ‘strong legal consciousness’ is sometimes considered the cause of adherence to law (sometimes it is just another word for that) while a ‘weak legal consciousness’ is considered the cause of crime and evil“. Kuatnya kesadaran tentang undang-undang (hukum) kadang-kadang dipertimbangkan menjadi penyebab kesetiaan atau ketaatan hukum (meskipun kadang-kadang hanya sebatas pada kata-kata saja), sedangkan lemahnya kesadaran tentang undang-undang (hukum) dipertimbangkan menjadi penyebab terjadinya kejahatan dan malapetaka.
            Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila demikian, kesadaran hukum menekankan tentang nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa hukum ada di dalam masyarakat.
            Tentang faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, antara lain adalah :
1)      Compliance.
Diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum, baik hukum formal/ positif ataupun hukum berdasarkan normas-norma masyarakat (sanksi sosial). Kepatuhan ini sama sekali tidak didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya, kepatuhan hukum akan ada apabila  ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2)      Identification.
Terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok serta hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut tetap terjaga. Daya tarik untuk patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut, sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik-buruknya interaksi tadi. Walaupun seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu, dengan jalan menguasai obyek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi. Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan menerima nilai-nilai penegak hukum.
3)    Internalization.
Pada tahap ini seseorang mematuhi kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan, terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya.
4)    Society Interest.
Maksudnya ialah kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang ada.
            Kesadaran hukum berkaiatan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat.
            Terdapat 4 (empat) indikator kesadaaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya[1], yaitu :
1)      Pengetahuan Hukum.
2)      Pemahaman Hukum.
3)      Sikap Hukum.
4)      Pola Perilaku Hukum.
Pengetahuan Hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang sudah diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis (hukum formal) dan hukum tidak tertulis (norma-norma atau aturan-aturan dalam masyarakat). Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa membunuh, mencuri, merampok dan lain-lainnya itu dilarang oleh hukum.
Pemahaman Hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum tidak diisyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur semua hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.
Sikap Hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang  ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Pola Perilaku Hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.
Bila dianggap bahwa hukum merupakan konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka dengan demikian suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau dilain pihak hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai, jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya.
Dalam dimensi lain, sebagai perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara adalah jika masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum atau melanggar hukum, maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Disini berlaku konsep “ reward and phunisment “, yaitu siapa yang menghargai dan tidak melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat maka ia akan mendapat penghargaan dalam bentuk penerimaan diri oleh masyarakatnya, akan tetapi sebaliknya jika siapa yang melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat maka ia akan menerima hukuman, baik moral maupun fisik,  baik itu berupa pengucilan atau tidak diterima oleh masyarakat dan maupun hukuman fisik yaitu pemenjaran.
Hukuman adalah akibat mutlak dari suatu tindakan atau balasan dari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, dengan kata lain, orang dijatuhi hukuman karena orang berbuat kejahatan. Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukuman adalah untuk memperbaiki penjahat, hukuman harus mendidik penjahat menjadi orang yang baik dalam pergaulan hidup. Jika dipandang demikian, maka hukuman itu bukan sesuatu yang buruk, melainkan sesuatu yang baik bagi masyarakat juga untuk pelaku kejahatan, dan karena itu hukuman dapat dibenarkan.
Untuk macam-macam hukuman dapat terdiri dari hukuman tahanan (sifatnya hukuman fisik) yang bertujuan untuk merampas kebebasan pelaku kejahatan (ini biasanya terjadi pada tindak hukum pidana). Dapat juga berupa kompensasi yang biasanya dalam bentuk ganti rugi, dimana pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang merugikan (terjadi pada tindak hukum perdata).

6.  Keadilan, Ketertiban, dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud Masyarakat yang Bermoral dan Mentaati Hukum.
Disepakati bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang selalu berintraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan sesama seperti itulah perlu adanya keteraturan sehinga setiap individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lain disekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tampa atau diluar masyarakat. Maka, manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “ Ubi Societas Ibi Ius “ (dimana ada masyarakat disana ada hukum adalah tepat.
Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum, dll. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan “Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”.
Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Imanuel Kant, seorang filsuf moral, menggambarkan secara jelas hubungan antara masyarakat bermoral yang harus mentaati hukum. Kant mengatakan “ Jika seseorang, yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya menerima cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan, tetapi tiap orang menyetujui dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, ... “. Dia mengatakan hal tersebut karena Kant melihat adanya realita-realita baru di dunia, dimana hukum saat ini tidak lagi mengikuti asas kesetimpalan. Bahkan, acapkali hukum melahirkan ironi. Ironi merupakan kecenderungan yang dicirikan dengan berbagai cakupan sifat : kontradiktif, inkonsistensi, anomali, janggal, abnormalitas, berlebihan dan ada di luar garis.
Hukum tidak dianggap ironi jika diberlakukan apa yang oleh para filsuf moral disebut “ Pay Back “ (Pembayaran Kembali). Maksud dari pay back ini adalah bagi mereka yang terbukti melakukan kejahatan layak dikenai “pembayaran kembali” atas tindakannya yang mengabaikan kepantasan moral. Seperti pepatah kuno yang mengatakan “mata dibalas mata, darah dibalas darah“. Hal ini bisa membenarkan permasalahan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan. Meskipun disadari bahwa, menghukum orang bisa menambah jumlah kemalangan di dunia, tetapi hal itu seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena seorang terhukum (yang terbukti melakukan kejahatan) layak menanggung penderitaan tambahan.
Banyak orang dalam masyarakat dewasa ini yang setuju terhadap pendapat Imanuel Kant tersebut, bahwa orang harus dihukum karena melakukan kejahatan, bukan karena alasan lain. Dalam kapasitas ini, sanksi hukum tetap menganut proportionately (setimpal), sesuai dengan kadar beratnya kejatahan. Jika hal ini tidak diberlakukan (hukuman tidak setimpal dengan perbuatan kerjahatan) maka masyarakat akan mengalami degradasi moral, atau lebih tepatnya hilangnya kesadaran moral akibat dari “rasa ketidak adilan“ hukum. Orang yang hilang kesadaran moralnya adalah mereka yang tidak mempunyai suara hati, begitu juga sebaliknya, jika orang memiliki kesadaran moral dapat dikatakan mereka adalah orang-orang yang masih memiliki hati dan mau mendengarkan suara hatinya serta mempertimbangkan segala sesuatunya dengan hati.
Dalam kehidupan sosial atau bermasyarakat, kita wajib melakukan yang baik dan benar serta berani menolak yang tidak baik dan yang tidak benar (menurut ukuran masyarakat). Jika kita mampu melaksanakannya, maka dapat dikatakan bahwa kita memiliki hati. Dan jika kita mengikutinya, akan membuat kita merasa bernilai di dalam masyarakat dan merasa aman. Bagi orang yang bersuara hati, ia akan malu jika melakukan perbuatan tidak bermoral atau yang bertentangan dengan hatinya. Disini norma hukum menjadi suatu hal yang penting dan jika norma hukum tidak dijalankan dengan tidak semestinya, maka dampaknya adalah hukum menjadi tidak berwibawa.
Antara hukum dan moral  terdapat hubungan yang erat sekali, ada pepatah Roma mengatakan “ Quid leges sine moribus? ”. Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?. Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua harus diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi diri dengan mengatur hubungan antar manusia yang relevan.
Meskipun hubungan hukum, dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataan “mungkin” ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara hukum dengan moral. Namun demikian perbedaan hukum dengan moral tetap jelas, setidaknya  seperti diungkapkan oleh K. Bertens yang menyatakan bahwa selain itu ada empat perbedaan antara hukum dan moral. Pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian dan objektif dibandingkan denghan norma moral, sedangkan norma moral bersifat lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “diganggu” oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tetapi norma etis tidak dapat dipaksakan, sebab paksaan hanya akan menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas berdasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat merubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Prof. Dr. Achmad Ali memberikan gambaran menarik tentang fenomena hubungan antara hukum dan moralitas dengan membedakan penegakan hukum pada masyarakat barat dengan penegakan hukum di Jepang. Yang menarik adalah fenomena hukum di Jepang, dimana kalau tersangka mengakui kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya, biasanya tersangka itu tidak ditahan, karena dianggap telah menunjukkan “rasa penyesalannya”, tetapi meskipun sudah mengaku, jika nilai kejahatannya melebihi 300 juta Yen, biasanya tersangka tetap ditahan.
Alasan hukum untuk menahan seorang tersangka di Jepang hampir sama di Indonesia, yaitu (1). Tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan alat bukti. (2). Tersangka dikhawatirkan melarikan diri. (3). Tersangka mempersulit pemeriksaan. Umumnya seorang tersangka juga ditahan jika tidak mengaku atau jumlah nilai kejahatannya 300 juta Yen atau lebih. Tetapi meski secara yuridis alasan penahanan yang diatur oleh undang-undang Jepang dan Indonesia sama, tetapi pelaksanaannya berbeda karena di Jepang, secara moral siapapun tersangka yang tidak mengaku, dianggap “mempersulit pemeriksaan” sehingga harus ditahan.  Dan jika sudah mengaku dan mengembalikan hasil kejahatannya, umumnya tersangka di Jepang tidak lagi ditahan.
Bahkan Hukum Positif Jepang memungkinkan seorang tersangka dalam kasus pidana tidak diteruskan perkaranya ke pengadilan, dengan banyak didasari pertimbangan non-hukum serta moral. Seorang tersangka tidak sampai dituntut di muka pengadilan :
1)      Dengan alasan menunjukkan sikap yang baik.
2)      Lingkungan kehidupannya menunjukkan kemungkinan si tersangka dapat merubah cara hidupnya menjadi baik.
3)      Masih di bawah umur atau anak-anak.
4)      Mengembalikan hasil kejahatannya atau meletakkan jabatan (tetapi khusus jika kasusnya bukan kasus yang nilai kejahatannya sangat besar).
Lebih lanjut yang menarik menurut Achmad Ali adalah mengenai simbol atau lambang hukum yaitu “Dewi Keadilan” di Jepang. Simbol “Dewi Keadilan” di Jepang tidak sama dengan simbol “Dewi Keadilan“ dimanapun juga, bahkan di Barat ataupun di Indonesia sendiri, yang mana mata “dewi keadilan” tertutup dengan kain hitam. Di Jepang, mata “dewi keadilan” tidak tertutup dengan kain hitam, melainkan terbuka, dan hanya memegang pedang dengan tangan kanan dan timbangan dengan tangan kiri. Menurut masyarakat Jepang (terutama aparat penegak hukumnya), hukum dan penegak hukum di Jepang “membuka mata” terhadap faktor-faktor moral dalam setiap kasus hukumnya, tidak seperti hukum di barat (bahkan hukum di Indonesia) yang “menutup mata” dari faktor-faktor non-hukum termasuk moral. Lalu bagaimana di Indonesia sehubungan dengan “Patung Dewi Keadilan” itu, untung saja “Dewi Keadilan” Indonesia tertutup matanya, yang secara jelas mengesampingkan faktor moralitas, karena meskipun sudah tertutup matanya tetap masih bisa membedakan mana “rupiah dan dollar”,  bayangkan seandainya “Dewi Keadilan” Indonesia sama dengan di Jepang yang matanya terbuka, tentu akan lebih serakah lagi.

Ringkasan
            Telah menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial yaitu mekhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lainnya atau sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesamanya seperti itulah perlu adanya keteraturan sehingga setiap individu dapat behubungan secara harmonis dengan individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita yaitu hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “Ubi Societas Ibi Ius” (dimana ada masyarakat di sana ada hukum) adalah tepat.
            Hukum diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order), dengan kata lain, ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.
            Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai (values) yang berlaku pada suatu masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Terdapat tiga fungsi eksplisit dalam kehidupan manusia. Pertama, mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. Kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional“.
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin, mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif.
Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum. Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang bersangkutan.

TUGAS UNTUK DISELESAIKAN
1.      Jelaskan hubungan antara nilai, moralitas dan hukum ?.
2.      Jelaskan perbedaan antara nilai-nilai yang dianut oleh barat dengan nilai-nilai yang dianut oleh timur ?.
3.      Hukum pada dasarnya dibuat untuk di patuhi oleh masyarakat. Sebutkan dan jelaskan faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum ?.
4.      Jelaskan dengan ringkas tiga fungsi eksplisit dari hukum ?.
5.      Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan penerapan hukum (produk dan perangkat hukum) di Indonesia ?.
6.      Apa yang dimaksud dengan :
a. Hukum Moral
c. Pay Back (pembayaran kembali)
b. Kesadaran Hukum
d. Hukum Positif