MATERI ISBD
BAB VI
Manusia, Moralitas dan
Hukum
1. Pengertian Nilai, Moral dan Hukum.
Nilai.
Nilai dianggap penting
dalam kehidupan manusia, hal ini disebabkan seseorang di dalam hidupnya tidak
dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Oleh karena itu, nilai-nilai ini implementasinya
sangat luas, dapat ditemukan pada berbagai perilaku yang terpilih dalam
berbagai kehidupan yang luas di alam semesta ini. Jadi, pemahaman akan konsep
nilai dianggap penting dalam upaya untuk mengerti dan memahami pentingnya nilai
bagi kehidupan manusia.
Nilai adalah kemampuan
yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari
suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai
itu pada hakekatnya adalah suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu
objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat
atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Contohnya adalah baju itu indah,
maka arti indah adalah sifat atau kualitas yang melekat pada baju. Dengan
demikian maka nilai itu sebenarnya adalah suatu kenyataan yang tersembunyi
dibalik kenyataan-kenyataan yang lainnya.
Di dalam nilai itu
sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan.
Maka apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya kita berbicara tentang
hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan
keharusan. Jika berbicara tentang nilai berarti masuk pada bidang makna
normatif, bukan kognitif, masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun
demikian diantara keduanya, antara yang makna normatif dan kognitif, antara
dunia ideal dan real, itu saling berhubungan atau saling berkait erat. Artinya
yang ideal harus menjadi real dan yang bermakna normatif harus direalisasikan
dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
Terdapat batasan nilai
(tentatif) dari beberapa pendapat mengenai konsep nilai yaitu nilai adalah
sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu
yang baik atau segala sesuatu yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau
maksud dari berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.
Dalam
memahami lebih jauh mengenai konsep nilai, maka Notonagoro membagi nilai
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :
1)
Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani
manusia, atau kebutuhan material ragawi manusia.
2)
Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat
mengadakan kegiatan atau aktivitas.
3)
Nilai kerokhanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.
Nilai kerokhanian ini dapat dibedakan atas empat macam :
a) Nilai kebenaran, yang
bersumber pada akal (ratio, budi, cipta) manusia.
b) Nilai keindahan
atau nilai estetis, yang bersumber pada
unsur perasaan (esthetis, gevoel, rasa) manusia.
c) Nilai kebaikan atau
nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak (will, would, karsa)
manusia.
d) Nilai religius, yang
merupakan nilai kerokhanian tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber
kepada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Dari macam-macam nilai
diatas, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu
yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material
atau immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang
sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material lebih relatif mudah
diukur, yaitu dengan menggunakan alat indera maupun alat pengukur lainnya
seperti berat, panjang, luas dan sebagainya. Sedangkan nilai kerokhanian/
spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal kerokhanian/ spiritual
yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat
indera, cipta, rasa, karsa dan keyakinan manusia.
Jika
nilai ingin dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan
yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun negara, maka nilai-nilai tersebut
kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas, sehingga merupakan
suatu pedoman. Norma-norma tersebut meliputi ; Pertama, Norma Moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku
manusia yang dapat diukur dari sudut baik dan buruk serta benar dan salah,
sopan atau tidak sopan, dan susila atau asusila. Sehingga etika dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegera dapat berjalan dengan baik. Kedua, Norma Hukum yaitu yang berkaitan
dengan sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
Nilai memiliki kaitannya
yang erat dengan etika, karena etika pada pokoknya merupakan kajian mengenai nilai
baik dan buruk serta benar dan salah. Istilah etika berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani yaitu eqos-ethos dan eqiqos-ethikos. Ethos berarti sifat,
watak, kebiasaan, tempat yang biasa. Sedangkan ethikos berarti susila,
keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika sendiri dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu :
1)
Etika Deskriptif.
Etika desriptif
menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman moral secara deskriptif.
Ini dilakukan dengan bertolak dari kenyataan bahwa ada fenomena moral yang
dapat digambarkan dan diuraikan secara ilmiah, seperti yang dapat dilakukan
terhadap fenomena spiritual lainnya, misalnya religi dan seni. Oleh karena itu,
etika deskriptif digolongkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan empiris dan
berhubungan erat dengan sosiologi. Dalam hubungannya dengan sosiologi, etika
deskriptif berupaya menemukan dan menjelaskan kesadaran, keyakinan dan
pengalaman moral dalam suatu kultur tertentu.
2)
Etika Normatif.
Etika normatif dapat
juga disebut filsafat moral (moral
philoshopy). Etika normatif sendiri dibagi dalam dua teori, yaitu
teori-teori nilai (theories of value)
dan teori-teori keharusan (theories of
obligation). Teori-teori nilai mempersoalkan sifat kebaikan, sedangkan
teori-teori keharusan membahas tingkah laku.
2. Nilai Barat dan Timur.
Barat
dalam pikirannya cenderung menekankan dunia objektif daripada rasa sehingga
hasil pola pemikirannya membuahkan sains dan tekhnologi. Dalam cara berfikir
dan hidupnya lebih terpikat oleh kemajuan material dan hidup sehingga tidak
cocok dengan cara berfikir untuk meninjau mkana dunia dan makna hidup. Barat
hidup dalam dunia teknis dan ilmiah, maka filsafat tradisional dan pemahaman
agama muncul sebagai suatu sistematik ide-ide abstrak tanpa hubungan dengan
yang nyata dan praktek hidup. Akibatnya, pengaruhnya atas hidup dan pikiran
orang makin berkurang karena Barat mengunggulkan cara berfikir analitis
rasional, maka mereka menganggap pikiran nilai-nilai hidup yang meminta
kepekaan hati sebagai sesuatu yang subjektif dan tidak bermutu. Nilai penting
yang mendasari semua nilai di Barat adalah martabat manusia, kebebasan dan
tekhnologi.
Dalam
hal manusia, Barat beranggapan bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya.
Maksudnya, manusia mempunyai kemampuan untuk menyempurnakan hidupnya sendiri,
dengan syarat bertitik tolak dari rasio, intelek dan pengalaman. Manusia oleh Barat
dipandang sebagai pusat segala sesuatu yang mempunyai kemampuan rasional,
kreatif dan estetik, sehingga kebudayaan Barat menghasilkan nilai dasar seperti
demokrasi, lembaga sosial dan kesejahteraan ekonomi, yang kesemuanya berpangkal
demi penghargaan mutlak bagi manusia. Dari sini dapat dilihat bahwa manusia itu
dianggap memiliki nilai diukur dari kemampuannya, bukan dari kebijaksanaan
hatinya.
Nilai
Timur pada intinya banyak bersumber dari agama-agama yang lahir di dunia Timur.
Pada umumnya manusia-manusia Timur menghayati hidup yang meliputi seluruh
eksistensinya. Berfikir secara Timur tidak bertujuan menunjang usaha-usaha manusia untuk menguasai dunia dan hidup
secara teknis, sebab manusia Timur lebih menyukai intuisi dari pada akal budi.
Inti kepribadian manusia Timur tidak terletak pada inteleknya, tetapi pada
hatinya. Dengan hatinya mereka menyatukan akal budi dan instuisi serta
intelegensi dan perasaan. Ringkasnya, mereka menghayati hidup tidak hanya
dengan otaknya.
Dalam
hal menegakkan norma, Timur tidak hanya bersumber dari ajaran agama saja,
tetapi juga bersumber dari ide-ide abstrak atau simbolik yang dapat terwujud
kongkret dalam praktek kehidupannya. Mencari ilmu tidak hanya untuk menambah
pengetahuan intelektual saja, tetapi mencari kebijaksanaan. Jelasnya, dalam menghadapi
kenyataan, orang Timur memadukan pengetahuan, intuisi, pemikiran kongkret,
simbolik dan kebijaksanaan.
Moralitas.
Berbicara soal moral berarti berbicara soal
perbuatan manusia dan juga pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang
baik dan apa yang tidak baik, mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk
dilakukan. Karena norma moral merupakan standar prilaku yang disepakati, maka
moral bisa dipakai untuk mengukur prilaku orang lain. Oleh karena itu, norma
moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan
seseorang. Maka dengan norma moral kita betul-betul dinilai, apakah kita ini
baik atau buruk, yang menjadi permasalahan bidang moral.
Bahkan K. Bertens
mengatakan Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan
pada makhluk lain di bawah tingkat manusiawi. Pada tahap binatang tidak ada
kesadaran tentang baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang
yang harus dilakukan dan
tidak pantas dilakukan. Keharusan dapat
dibedakan antara keharusan alamiah dan keharusan moral. Keharusan alamiah adalah keharusan yang didasarkan atas hukum
alam, alam telah mengaturnya sedemikian rupa sehingga berjalan secara otomatis,
tidak perlu ada instansi yang mengawasi agar hal itu terjadi, hal itu akan
terjadi dengan sendirinya dan tidak mengandaikan adanya kebebasan (keharusan
alamiah inilah yang terjadi pada binatang). Sedangkan keharusan moral dijalankan berdasarkan hukum moral. Hukum
moral tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi merupakan himbauan pada kemauan
manusia dengan menyuruh untuk melakukan sesuatu. Jadi hukum moral merupakan
kewajiban. Keharusan moral didasarkan pada kenyataan bahwa manusia mengatur
tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau norma-norma itu. Manusia harus
menerima dan menjalankannya (keharusan moral semacam ini hanya ada pada
manusia). Keharusan moral mengandaikan adanya kebebasan.
Lawrence Kohlberg mengatakan bahwa orientasi moral
seseorang yang dijadikan dasar pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap
orang. Ada 4 orientasi moral yang
Kohlberg kemukakan, yaitu :
1)
Orientasi normatif yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan
taat pada aturan yang telah baku.
2)
Orientasi kejujuran yaitu menekankan pada keadilan dengan fokus pada :
a)
Kebebasan.
b)
Kesamaan.
c)
Pertukaran
hak.
d)
Kesepakatan.
3)
Orientasi
utilitarisme menekankan konsekuensi kesejahteraan dan
kebahagiaan tindakan moral seseorang pada
orang lain.
4)
Orientasi perfeksionisme menekankan pencapaian :
a)
Martabat dan
otonomi.
b)
Kesadaran dan
motif yang baik.
c)
Keharmonisan
dengan orang lain.
Orientasi moral ini dipandang penting karena akan
menentukan arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga dapat dikatakan salah
satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah orientasi; tujuannya agar
kita tidak hidup dengan cara ikut-ikutan saja terhadap perbagai pihak yang mau
menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat mengerti
sendiri mengapa kita harus begini atau begitu.
Oleh karena itu orientasi
moral akan sangat berpengaruh terhadap moralitas dan pertimbangan moral seseorang,
karena pertimbangan moral merupakan hasil proses penalaran yang dalam proses
penalaran tersebut ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan
orientasi moral serta pertimbangan konsekuensinya.
Karena banyaknya istilah moral, moralitas, immoral
dan amoral dalam makalah ini, akan lebih baik bila dipertegas lebih dahulu
pengertian istilah tersebut. Kata dan istilah moral sering juga dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, baik
lewat percakapan, tulisan maupun berita. Istilah moral ini bisa digunakan untuk
maksud yang berbeda, tentu saja sesuai dengan konteks dan makna pembicaraan
yang dimaksud. Akan tetapi bila ditelusuri asal-usul katanya, istilah moral
berasal dari bahasa latin mos (jamaknya mores)
yang berarti adat, kebiasaan. Moral secara istilah adalah nilai-nilai atau
norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Sedangkan moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas/ pilar dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Sedangkan istilah amoral berarti tidak berhubungan dengan konteks moral, di
luar suasana etis atau non moral, sedangkan immoral berarti bertentangan dengan moralitas yang baik
atau secara moral buruk atau tidak etis. Dalam kamus yang berkembang di
Indonesia amoral berarti immoral dalam pengertian di atas dan pengertian
immoral sendiri kurang dikenal.
Hukum
Pemahaman
mengenai hubungan manusia dengan hukum yaitu bahwa setiap saat manusia dikuasai
oleh hukum. Hukum mencampuri urusan manusia sebelum ia lahir dan masih mencampurinya
sesudah manusia meninggal. Hukum melindungi benih di kandungan ibu dan masih
menjaga jenazah orang yang sudah mati. Hukum berlaku pada seorang individu
ketika baru dilahirkan, memberikan hak-hak terhadap orang tua dan meletakkan
kewajiban atas orang tua terhadap anak-anaknya. Pergaulan hidup manusia yang
terjadi karena hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya, baik hubungan
yang langsung (asal-usul/ keturunan), perkawinan, perdagangan, tempat tinggal,
kebangsaan, dan lain-lainnya. Jadi dapat dikatakan bahwa semua hubungan itu
diatur oleh hukum, semuanya adalah hubungan hukum, bahkan jika dipikirkan lebih
lanjut maka terasalah bahwa hukum itu tidak terbatas melainkan terdapat
dimana-mana.
Banyak kaidah yang berkembang dan dipatuhi
masyarakat, seperti kaidah agama, kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan
kaidah moral. Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial tidak berarti
meniadakan kaidah-kaidah lain tersebut, bahkan antar kaidah hukum dengan kaidah
lain tersebut saling berhubungan yang satu memperkuat lainnya, meskipun
adakalanya kaidah hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah tersebut.
Hukum itu sungguh-sungguh merupakan hukum apabila benar-benar dikehendaki
diterima oleh kita sebagai anggota masyarakat; apaila kita juga betul-betul
berfikir demikian seperti yang dalam undang-undang, dan terutama juga
betul-betul menjadi realitas hidup dalam kehidupan orang-orang dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai
(values) yang berlaku pada suatu
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Selanjutnya Mochtar Kususmaatmadja
mengatakan “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang
tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat tersebut”. Oleh karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan
sebagai serumpun peraturan yang bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Hukum tidak lain hanyalah merupakan sarana bagi
penyelenggara hukum untuk mengerahkan cara berfikir dan bertindak dalam rangka
kebijakan (policy) tujuan nasional.
Dalam kediriannya, secara inheren, tidak ada sangkut pautnya dengan “keadilan”
dan “kebenaran” dalam makna yang hakiki. Dalam rangka konseptualisasi, hukum
selalu berpihak, selalu berwarna dan memang dirancang ,dalam kamus hukum, hanya
dirasakan dan dialami, bermakna dan berwujud relatif berakar dari sosial,
budaya, struktural dan bahkan agama.
3. Fungsi Nilai, Moral dan Hukum
dalam Kehidupan Manusia.
Nilai, moral dan hukum mempunyai
keterkaitan yang sangat erat sekali. Nilai yang dianggap penting oleh manusia
itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan
dalam perbuatan. Setiap individu harus memahami nilai dan kebernilaian dirinya,
sehingga akan menempatkan diri secara bijak dalam pergaulan hidup serta akan
mengakui dan bijak terhadap keberadaan nilai dan kebernilaian orang lain.
Pemahaman akan nilai dan kebernilaian diri akan membawa implikasi pada
permasalahan moralitas. Moralitas diidentikan dengan perbuatan baik dan
perbuatan buruk (etika), yang mana cara mengukurnya adalah melalui nilai-nilai
yang terkandung dalam perbuatan tersebut. Sedangkan perbuatan-perbuatan manusia
agar tidak merugikan orang lain atau masyarakat dan dapat menciptakan
ketertiban serta dapat menjaga keutuhan masyarakat, maka dibuatlah hukum yang
mengatur tentang hubungan sosial masyarakat.
Pada
dasarnya nilai, moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia.
Setidaknya dapat dikemukakan tiga fungsi eksplisitnya dalam kehidupan manusia. Pertama, berfungsi mengingatkan manusia
untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari
masyarakat. Hal ini mengingatkan manusia agar memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup. Kedua,
menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi
manusia. Hal ini menunjuk dimensi moral dari permasalahan yang sedang dihadapi
masyarakat. Terjadinya kekacauan atau ketidakberesan dalam masyarakat selalu
berhubungan dengan longgarnya penerapan moralitas dan hukum. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian
manusia kepada gejala “pembiasaan emosional“. Maksudnya, dapat menggiring
manusia kepada faktor-faktor emosional sehingga manusia dapat saja salah atau
keliru pada saat memilih sesuatu.
Selain
itu fungsi dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian
dan pengaturan. Pengendalian dan pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum.
Pentingnya sistem hukum ialah sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan
yang telah dilindungi kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan.
Meskipun kaidah-kaidah tersebut ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi
serta menjamin kepentingan orang dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat
untuk melindungi dan menjamin mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang
tidak teratur. Untuk melindungi lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi
kaidah-kaidah tadi maka diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur
kehidupan masyarakat dan nyata berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif.
Istilah hukum positif dimaksudkan
untuk menandai “ diferensi ”
(perbedaan) dan hukum terhadap kaidah-kaidah lain dalam masyarakat tampil lebih
jelas, tegas dan didukung oleh perlengkapan yang cukup agar diikuti oleh
anggota masyarakat. Sebagai atribut positif ini ialah :
1. Bukanlah kaidah sosial yang
mengambang atau tidak jelas bentuk dan tujuannya sehingga dibutuhkan lembaga
khusus yang bertujuan merumuskan dengan jelas tujuan yang hendak dicapai oleh
hukum.
2. Dibutuhkan staf (orang/
personalia) yang menjaga berlakunya hukum, seperti polisi dan pengadilan.
Sifat dan peraturan hukum tersebut
adalah memaksa dan menghendaki tujuan yang lebih dalam. Pengertian memaksa
bukanlah senantiasa dipaksakan, apalagi dengan tindakan sewenang-sewenang.
Sebab hukum itu merupakan konkritisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat, yang perlu mempertimbangkan tiga hal penting yaitu sebagai sistem
norma, sebagai sistem kontrol sosial dan sebagai social enginering (pemegang kekuasaan memelopori proses pengkaidahannya).
Bahkan tatkala terjadi dilema di
dalam hukum itu sendiri, yang dapat disebabkan karena adanya konflik, baik dari
lembaga-lembaga hukum, sarana prasarana hukum bahkan rendahnya budaya hukum
dalam masyarakat, maka setiap orang (masyarakat dan aparatur hukum) harus
mengembalikannnya pada rasa keadilan hukum masyarakat, artinya harus
mengutamakan moralitas masyarakat.
4. Proses terbentuknya Nilai, Moral dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara.
Dengan semakin banyaknya
permasalahan-permasalahan sosial dewasa ini, yang banyak diwarnai dengan
masalah pertumbuhan penduduk yang demikian cepat, revolusi industri,
perkembangan tekhnologi serta modernisasi, secara tidak langsung telah
menimbulkan suatu tatanan baru atau gambaran sosial yang baru di dalam
masyarakat saat ini. Perkembangan yang demikian ini membawa serta peranan dan
pengaturan melalui berbagai bidang, umumnya di bidang moralitas dan di bidang
hukum secara khusus.
Permasalahan-permasalahan
sosial selalu ada dalam suatu masyarakat ataupun negara. Bahkan sejak jaman
dahulu sampai jaman sekarang permasalahan-permasalahan sosial itu akan tetap
selalu ada di dalam masyarakat dan negara. Untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan sosial tersebut dibutuhkanlah yang dinamakan dengan
moralitas dan hukum, baik moralitas dan hukum dalam artian masing-masing maupun
moralitas dan hukum sebagai satu kesatuan.
Dalam artian moralitas dan
hukum sebagai satu kesatuan maka di kenal suatu istilah yang dinamakan Hukum
Moral. Hukum moral ini berbeda dengan hukum-hukum yang lainnya. Umumnya, hukum
moral dimengerti sebagai “tatanan pengarah” kegiatan manusia untuk mencapai tujuan
yaitu ketertiban dan keadilan. Hukum moral sendiri meliputi rangkaian aturan
permanen, seperti kewajiban menghormati kontrak antar pribadi (kontrak sosial),
peraturan hidup, larangan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang-orang
lain.
Terdapat 5 (lima) fungsi
perumusan hukum moral antara lain : Pertama,
mewariskan himpunan kebijakan dari jaman dulu kepada generasi sekarang dan yang
akan datang. Sebagai individu dan makhluk sosial, manusia selalu
mempertimbangkan dampak tindakan yang diperbuatnya. Kedua, Mengusahakan keamanan secara psikologis dan sosial. Secara
sosial, hukum ini membantu tatanan hidup masyarakat untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan “khaotik” dan “anarkis”. Ketiga,
membantu manusia dalam pengambilan keputusan dan mencegah terjadinya “paralisis
moral”. Keempat, membantu manusia
untuk mengenal kekurangan-kekurangan dan kegagalan-kegagalan sehingga manusia
dapat memperbaiki diri. Kelima,
Membagikan pengalaman supaya bisa tercipta tingkah laku personal dan sosial.
Hukum moral ada untuk melayani cinta kasih dan berada di bawah cinta kasih dan
membantu untuk menuntun manusia menuju kebaikan secara otentik.
Supaya hubungan
manusia dalam masyarakat dan negara terlaksana sebagaimana yang diharapkan,
maka diciptakanlah norma-norma yang bersumber pada nilai-nilai dan moral
masyarakat melalui tahapan sebagai berikut, (1). Cara (usage) yaitu menunjuk pada suatu kegiatan. (2). Kebiasaan (folkways) yaitu perbuatan yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama. (3). Tata kelakuan (mores) yaitu kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan
diterima norma-norma pengatur. (4). Adat istiadat (custom) yaitu tata kelakuan yang kekal seta kuat integrasinya
dengan pola-pola masyarakat, disertai dengan sanksi tertentu
Dalam rangka
pembentukannya sebagai lembaga kemasyarakatan, norma-norma itu mengalami
beberapa proses. Pertama, Institusionalisasi
yaitu proses dimana norma itu dikenal, diakui, dihargai, dan ditaati dalam
kehidupan sehari-hari, dan secara resmi dilembagakan berbentuk suatu hukum
tertulis dalam konteks kenegaraan. Kedua,
Internalisasi yaitu suatu proses dimana norma tersebut telah mendarah-daging
dalam masyarakat.
5. Perwujudan Nilai, Moral
dan Hukum dalam Masyarakat dan Negara.
Perwujudan nilai, moral dan hukum
dalam masyarakat dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam
masyarakat. Pada umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau
efektivitas hukum. Dengan kata lain, kesadaran hukum manusia menyangkut masalah
apakah ketentuan hukum tertentu benar-benar berfungsi atau tidak dalam
masyarakat. Untuk menggambarkan keterkaitan antara kesadaran hukum dengan
ketaatan hukum terdapat suatu hipotesis yang dikemukakan oleh Berl Kutchinsky, yaitu
“a ‘strong
legal consciousness’ is sometimes considered the cause of adherence to law
(sometimes it is just another word for that) while a ‘weak legal consciousness’
is considered the cause of crime and evil“.
Kuatnya kesadaran tentang undang-undang (hukum) kadang-kadang dipertimbangkan
menjadi penyebab kesetiaan atau ketaatan hukum (meskipun kadang-kadang hanya
sebatas pada kata-kata saja), sedangkan lemahnya kesadaran tentang
undang-undang (hukum) dipertimbangkan menjadi penyebab terjadinya kejahatan dan
malapetaka.
Kesadaran
hukum memiliki perbedaan dengan perasaan hukum. Perasaan hukum diartikan
sebagai penilaian hukum yang timbul secara serta merta dari masyarakat dalam
kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran hukum lebih banyak merupakan
perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang dilakukan
secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang
hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain kesadaran hukum merupakan
persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum. Dengan demikian yang
ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret dalam masyarakat yang
bersangkutan. Bila demikian, kesadaran hukum menekankan tentang nilai-nilai
masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya dijalankan oleh hukum dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa hukum ada di dalam
masyarakat.
Tentang
faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum, antara lain adalah :
1)
Compliance.
Diartikan sebagai suatu kepatuhan yang
didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri
dari hukuman atau sanksi yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar
ketentuan hukum, baik hukum formal/ positif ataupun hukum berdasarkan
normas-norma masyarakat (sanksi sosial). Kepatuhan ini sama sekali tidak
didasarkan pada suatu keyakinan pada tujuan kaidah hukum yang bersangkutan, dan
lebih didasarkan pada pengendalian dari pemegang kekuasaan. Sebagai akibatnya,
kepatuhan hukum akan ada apabila ada
pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan kaidah-kaidah hukum tersebut.
2) Identification.
Terjadi bila kepatuhan terhadap
kaidah-kaidah hukum ada bukan karena nilai instrinsiknya, akan tetapi agar
keanggotaan kelompok serta hubungan baik dengan mereka yang diberi wewenang
untuk menerapkan kaidah-kaidah hukum tersebut tetap terjaga. Daya tarik untuk
patuh adalah keuntungan yang diperoleh dari hubungan-hubungan tersebut,
sehingga kepatuhan pun tergantung pada baik-buruknya interaksi tadi. Walaupun
seseorang tidak menyukai penegak hukum akan tetapi proses identifikasi
terhadapnya berjalan terus dan mulai berkembang perasaan-perasaan positif
terhadapnya. Hal ini disebabkan, oleh karena orang yang bersangkutan berusaha
untuk mengatasi perasaan-perasaan kekhawatirannya terhadap kekecewaan tertentu,
dengan jalan menguasai obyek frustasi tersebut dengan mengadakan identifikasi.
Penderitaan yang ada sebagai akibat pertentangan nilai-nilai diatasinya dengan
menerima nilai-nilai penegak hukum.
3) Internalization.
Pada tahap ini seseorang mematuhi
kaidah-kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai
imbalan. Isi kaidah-kaidah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya dari
pribadi yang bersangkutan atau oleh karena dia mengubah nilai-nilai yang semula
dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan
pada motivasi secara intrinsik. Titik sentral dari kekuatan proses ini adalah
kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaidah-kaidah yang bersangkutan,
terlepas dari pengaruh atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang
kekuasaan maupun pengawasannya.
4) Society Interest.
Maksudnya ialah
kepentingan-kepentingan para warga masyarakat terjamin oleh wadah hukum yang
ada.
Kesadaran hukum berkaiatan dengan
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat. Dengan demikian
masyarakat menaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu
sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini
telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat yang diartikan bahwa
kaidah-kaidah hukum tersebut telah meresap dalam diri masyarakat.
Terdapat 4 (empat) indikator
kesadaaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan
berikutnya[1],
yaitu :
1) Pengetahuan Hukum.
2) Pemahaman Hukum.
3) Sikap Hukum.
4) Pola Perilaku Hukum.
Pengetahuan
Hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang
sudah diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah
hukum tertulis (hukum formal) dan hukum tidak tertulis (norma-norma atau
aturan-aturan dalam masyarakat). Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku
yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat
dilihat di dalam masyarakat bahwa pada umumnya seseorang mengetahui bahwa
membunuh, mencuri, merampok dan lain-lainnya itu dilarang oleh hukum.
Pemahaman
Hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang
mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Dengan kata lain pemahaman
hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan
dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya
bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal
pemahaman hukum tidak diisyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui
adanya suatu aturan tertulis yang mengatur semua hal. Akan tetapi yang dilihat
di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam
kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya
diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari.
Sikap
Hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan
terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum
itu ditaati. Sebagaimana terlihat disini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan
nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan
pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga
masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya.
Pola
Perilaku Hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini
dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat.
Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat
dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat.
Bila dianggap
bahwa hukum merupakan konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat, maka dengan demikian suatu keadaan yang
dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan
sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem
nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau dilain pihak hukum harus
dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem
nilai-nilai tersebut. Nyatalah bahwa kesadaran hukum sebetulnya merupakan
masalah nilai-nilai, jadi kesadaran hukum adalah konsepsi abstrak di dalam diri
manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang
dikehendaki atau yang sepantasnya.
Dalam
dimensi lain, sebagai perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat dan
negara adalah jika masyarakat tidak memiliki kesadaran hukum atau melanggar
hukum, maka dapat dikatakan bahwa seseorang itu telah melanggar nilai-nilai yang
ada dalam masyarakat. Disini berlaku konsep “ reward and phunisment “, yaitu siapa yang menghargai dan tidak
melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat maka ia akan mendapat
penghargaan dalam bentuk penerimaan diri oleh masyarakatnya, akan tetapi
sebaliknya jika siapa yang melanggar hukum serta nilai-nilai dalam masyarakat
maka ia akan menerima hukuman, baik moral maupun fisik, baik itu berupa pengucilan atau tidak
diterima oleh masyarakat dan maupun hukuman fisik yaitu pemenjaran.
Hukuman
adalah akibat mutlak dari suatu tindakan atau balasan dari kejahatan yang
dilakukan oleh seseorang, dengan kata lain, orang dijatuhi hukuman karena orang
berbuat kejahatan. Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukuman adalah untuk
memperbaiki penjahat, hukuman harus mendidik penjahat menjadi orang yang baik
dalam pergaulan hidup. Jika dipandang demikian, maka hukuman itu bukan sesuatu
yang buruk, melainkan sesuatu yang baik bagi masyarakat juga untuk pelaku
kejahatan, dan karena itu hukuman dapat dibenarkan.
Untuk
macam-macam hukuman dapat terdiri dari hukuman tahanan (sifatnya hukuman fisik)
yang bertujuan untuk merampas kebebasan pelaku kejahatan (ini biasanya terjadi
pada tindak hukum pidana). Dapat juga berupa kompensasi yang biasanya dalam
bentuk ganti rugi, dimana pihak yang merasa dirugikan dapat meminta ganti rugi
kepada pihak yang merugikan (terjadi pada tindak hukum perdata).
6. Keadilan,
Ketertiban, dan Kesejahteraan Masyarakat Sebagai Wujud Masyarakat yang Bermoral
dan Mentaati Hukum.
Disepakati
bahwa manusia adalah makhluk sosial, yaitu mahluk yang selalu berintraksi dan
membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Dalam konteks hubungan sesama seperti
itulah perlu adanya keteraturan sehinga setiap individu dapat berhubungan
secara harmonis dengan individu lain disekitarnya. Untuk terciptanya
keteraturan tersebut diperlukan aturan yang disebut oleh kita hukum. Hukum dalam masyarakat
merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya
manusia tampa atau diluar masyarakat. Maka, manusia, masyarakat dan hukum
merupakan pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “ Ubi Societas Ibi Ius “ (dimana ada
masyarakat disana ada hukum adalah tepat.
Hukum
diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan
kepastian hukum, dll. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat, tujuan hukum
yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order). Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan “Ketertiban adalah tujuan
pokok dan pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini
merupakan syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang
teratur, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang
berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya”.
Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian dalam
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar
kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi mempertegas lembaga-lembaga
hukum mana yang melaksanakannya.
Imanuel
Kant, seorang filsuf moral, menggambarkan secara jelas hubungan antara
masyarakat bermoral yang harus mentaati hukum. Kant mengatakan “ Jika
seseorang, yang suka mengganggu dan mengesalkan masyarakat yang cinta damai, akhirnya
menerima cambukan secukupnya, hal ini menyakitkan, tetapi tiap orang menyetujui
dan menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dalam dirinya, ... “. Dia
mengatakan hal tersebut karena Kant melihat adanya realita-realita baru di
dunia, dimana hukum saat ini tidak lagi mengikuti asas kesetimpalan. Bahkan,
acapkali hukum melahirkan ironi. Ironi merupakan kecenderungan yang dicirikan
dengan berbagai cakupan sifat : kontradiktif, inkonsistensi, anomali, janggal,
abnormalitas, berlebihan dan ada di luar garis.
Hukum tidak
dianggap ironi jika diberlakukan apa yang oleh para filsuf moral disebut “ Pay Back “ (Pembayaran Kembali). Maksud
dari pay back ini adalah bagi mereka
yang terbukti melakukan kejahatan layak dikenai “pembayaran kembali” atas
tindakannya yang mengabaikan kepantasan moral. Seperti pepatah kuno yang
mengatakan “mata dibalas mata, darah dibalas darah“. Hal ini bisa membenarkan
permasalahan tentang hukuman yang setimpal bagi pelaku kejahatan. Meskipun
disadari bahwa, menghukum orang bisa menambah jumlah kemalangan di dunia,
tetapi hal itu seharusnya dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena seorang
terhukum (yang terbukti melakukan kejahatan) layak menanggung penderitaan
tambahan.
Banyak orang
dalam masyarakat dewasa ini yang setuju terhadap pendapat Imanuel Kant
tersebut, bahwa orang harus dihukum karena melakukan kejahatan, bukan karena
alasan lain. Dalam kapasitas ini, sanksi hukum tetap menganut proportionately (setimpal), sesuai
dengan kadar beratnya kejatahan. Jika hal ini tidak diberlakukan (hukuman tidak
setimpal dengan perbuatan kerjahatan) maka masyarakat akan mengalami degradasi
moral, atau lebih tepatnya hilangnya kesadaran moral akibat dari “rasa ketidak
adilan“ hukum. Orang yang hilang kesadaran moralnya adalah mereka yang tidak
mempunyai suara hati, begitu juga sebaliknya, jika orang memiliki kesadaran
moral dapat dikatakan mereka adalah orang-orang yang masih memiliki hati dan
mau mendengarkan suara hatinya serta mempertimbangkan segala sesuatunya dengan
hati.
Dalam
kehidupan sosial atau bermasyarakat, kita wajib melakukan yang baik dan benar
serta berani menolak yang tidak baik dan yang tidak benar (menurut ukuran
masyarakat). Jika kita mampu melaksanakannya, maka dapat dikatakan bahwa kita
memiliki hati. Dan jika kita mengikutinya, akan membuat kita merasa bernilai di
dalam masyarakat dan merasa aman. Bagi orang yang bersuara hati, ia akan malu
jika melakukan perbuatan tidak bermoral atau yang bertentangan dengan hatinya.
Disini norma hukum menjadi suatu hal yang penting dan jika norma hukum tidak
dijalankan dengan tidak semestinya, maka dampaknya adalah hukum menjadi tidak
berwibawa.
Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali, ada
pepatah Roma mengatakan “ Quid leges sine
moribus?
”. Apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?.
Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan
kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas harus selalu diukur dengan
norma moral, perundang-undangan yang immoral harus diganti. Di sisi lain, moral
juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja, kalau
tidak diundangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum
bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. Meskipun tidak semua harus
diwujudkan dalam bentuk hukum, karena hal itu mustahil. Hukum hanya membatasi
diri dengan mengatur hubungan antar manusia yang relevan.
Meskipun
hubungan hukum, dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda,
sebab dalam kenyataan “mungkin” ada hukum yang bertentangan dengan moral atau
ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidak cocokan antara
hukum dengan moral. Namun demikian perbedaan hukum dengan moral tetap jelas,
setidaknya seperti diungkapkan oleh K.
Bertens yang menyatakan bahwa selain itu ada empat perbedaan antara hukum dan
moral. Pertama, hukum lebih
dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis dalam
kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki kepastian
dan objektif dibandingkan denghan norma moral, sedangkan norma moral bersifat
lebih subjektif dan akibatnya lebih banyak “diganggu” oleh diskusi-diskusi yang
mencari kejelasan tentang yang harus dianggap etis dan tidak etis. Kedua, meski hukum dan moral mengatur
tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah
saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Ketiga, sanksi yang berkaitan dengan
hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk
sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukumannya. Tetapi
norma etis tidak dapat dipaksakan, sebab paksaan hanya akan menyentuh bagian
luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi
dibidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya
atas kehendak negara. Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti
hukum adat, namun hukum itu harus diakui oleh negara supaya berlaku sebagai
hukum. Moralitas berdasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu
dan masyarakat. Dengan cara demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat
merubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan
suatu norma moral. Moral menilai hukum dan tidak sebaliknya.
Prof. Dr. Achmad Ali memberikan gambaran menarik
tentang fenomena hubungan antara hukum dan moralitas dengan membedakan
penegakan hukum pada masyarakat barat dengan penegakan hukum di Jepang. Yang
menarik adalah fenomena hukum di Jepang, dimana kalau tersangka mengakui kejahatan yang didakwakan terhadap dirinya, biasanya tersangka
itu tidak ditahan, karena dianggap telah menunjukkan “rasa
penyesalannya”, tetapi meskipun sudah mengaku, jika nilai kejahatannya
melebihi 300 juta Yen, biasanya tersangka tetap ditahan.
Alasan hukum
untuk menahan seorang tersangka di Jepang hampir sama di Indonesia, yaitu (1).
Tersangka dianggap dapat merusak atau menghilangkan alat bukti. (2). Tersangka
dikhawatirkan melarikan diri. (3). Tersangka mempersulit pemeriksaan. Umumnya
seorang tersangka juga ditahan jika tidak mengaku atau jumlah nilai
kejahatannya 300 juta Yen atau lebih. Tetapi meski secara yuridis alasan penahanan yang diatur oleh
undang-undang Jepang dan Indonesia sama,
tetapi pelaksanaannya berbeda
karena di Jepang, secara moral siapapun tersangka yang tidak mengaku, dianggap “mempersulit
pemeriksaan” sehingga harus ditahan. Dan jika sudah mengaku dan mengembalikan
hasil kejahatannya, umumnya tersangka di Jepang tidak lagi ditahan.
Bahkan Hukum
Positif Jepang memungkinkan seorang tersangka dalam kasus pidana tidak
diteruskan perkaranya ke pengadilan, dengan banyak didasari pertimbangan non-hukum
serta moral. Seorang tersangka tidak sampai dituntut di muka pengadilan :
1) Dengan alasan menunjukkan sikap yang baik.
2) Lingkungan kehidupannya menunjukkan kemungkinan si
tersangka dapat merubah cara hidupnya menjadi baik.
3) Masih di bawah umur atau anak-anak.
4) Mengembalikan hasil kejahatannya atau meletakkan
jabatan (tetapi khusus jika kasusnya bukan kasus yang nilai kejahatannya sangat
besar).
Lebih lanjut
yang menarik menurut Achmad Ali adalah mengenai simbol atau lambang hukum yaitu
“Dewi Keadilan” di Jepang. Simbol “Dewi Keadilan” di Jepang tidak sama dengan
simbol “Dewi Keadilan“ dimanapun juga, bahkan di Barat ataupun di Indonesia
sendiri, yang mana mata “dewi keadilan” tertutup dengan kain hitam. Di Jepang,
mata “dewi keadilan” tidak tertutup dengan kain hitam, melainkan terbuka, dan
hanya memegang pedang dengan tangan kanan dan timbangan dengan tangan kiri.
Menurut masyarakat Jepang (terutama aparat penegak hukumnya), hukum dan penegak
hukum di Jepang “membuka mata” terhadap faktor-faktor moral dalam setiap kasus
hukumnya, tidak seperti hukum di barat (bahkan hukum di Indonesia) yang
“menutup mata” dari faktor-faktor non-hukum termasuk moral. Lalu bagaimana di
Indonesia sehubungan dengan “Patung Dewi Keadilan” itu, untung saja “Dewi
Keadilan” Indonesia tertutup matanya, yang secara jelas mengesampingkan faktor
moralitas, karena meskipun sudah tertutup
matanya tetap masih bisa membedakan mana “rupiah dan dollar”,
bayangkan seandainya “Dewi Keadilan” Indonesia sama dengan di Jepang
yang matanya terbuka, tentu akan lebih serakah lagi.
Ringkasan
Telah
menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial yaitu
mekhluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan orang lainnya atau
sesamanya. Dalam konteks hubungan dengan sesamanya seperti itulah perlu adanya
keteraturan sehingga setiap individu dapat behubungan secara harmonis dengan
individu lain di sekitarnya. Untuk terciptanya keteraturan tersebut diperlukan
aturan yang disebut oleh kita yaitu hukum. Hukum dalam masyarakat merupakan
tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia
tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat dan hukum merupakan
pengertian yang tidak dapat dipisahkan, sehingga pameo “Ubi Societas Ibi Ius”
(dimana ada masyarakat di sana ada hukum) adalah tepat.
Hukum
diciptakan dengan tujuan yang berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa tujuan
hukum adalah keadilan, ada juga yang menyatakan kegunaan, ada yang menyatakan
kepastian hukum dan lain-lain. Akan tetapi dalam kaitan dengan masyarakat,
tujuan hukum yang utama dapat direduksi untuk ketertiban (order), dengan kata lain, ketertiban adalah tujuan pokok dan
pertama dari segala hukum, kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat
pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan fakta objektif yang berlaku
bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya.
Hukum sebagai kaidah sosial, tidak lepas dari nilai
(values) yang berlaku pada suatu
masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dari
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup (the
living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Oleh
karena itu hukum kemudian dapat juga diartikan sebagai serumpun peraturan yang
bersifat memaksa, yang diadakan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang
dalam masyarakat.
Nilai,
moral dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. Terdapat tiga
fungsi eksplisit dalam kehidupan manusia. Pertama,
mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama
sebagai bagian dari masyarakat. Kedua,
menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi
manusia. Ketiga, dapat menjadi
penarik perhatian manusia kepada gejala “pembiasaan emosional“.
Selain itu fungsi dari nilai, moral dan hukum
yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan pengaturan. Pengendalian dan
pengaturan dilakukan berdasarkan sistem hukum. Pentingnya sistem hukum ialah
sebagai perlindungan bagi kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi kaidah
agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut
ikut berusaha menyelenggarakan dan melindungi serta menjamin kepentingan orang
dalam masyarakat, tetapi belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin,
mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi
lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka
diperlukanlah sistem hukum. Hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan nyata
berlaku dalam masyarakat, disebut hukum positif.
Perwujudan nilai, moral dan hukum dalam masyarakat
dan negara dapat diartikan dengan makna kesadaran hukum dalam masyarakat. Pada
umumnya kesadaran hukum dikaitkan dengan ketaatan hukum atau efektivitas hukum.
Kesadaran hukum memiliki perbedaan dengan perasaan
hukum. Perasaan hukum diartikan sebagai penilaian hukum yang timbul secara
serta merta dari masyarakat dalam kaitannya dengan masalah keadilan. Kesadaran
hukum lebih banyak merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian
tersebut, yang dilakukan secara ilmiah. Jadi kesadaran hukum sebenarnya
merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum
yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada atau dengan perkataan lain
kesadaran hukum merupakan persepsi seseorang atau masyarakat tentang hukum.
Dengan demikian yang ditekankan dalam hal ini adalah nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat dan bukan terhadap kejadian-kejadian konkret
dalam masyarakat yang bersangkutan.
TUGAS UNTUK DISELESAIKAN
1.
Jelaskan hubungan
antara nilai, moralitas dan hukum ?.
2.
Jelaskan
perbedaan antara nilai-nilai yang dianut oleh barat dengan nilai-nilai yang
dianut oleh timur ?.
3.
Hukum pada
dasarnya dibuat untuk di patuhi oleh masyarakat. Sebutkan dan jelaskan faktor apa saja yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum
?.
4.
Jelaskan
dengan ringkas tiga fungsi eksplisit dari hukum ?.
5.
Diskusikan
dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan penerapan hukum (produk dan
perangkat hukum) di Indonesia ?.
6.
Apa yang
dimaksud dengan :
a. Hukum Moral
|
c. Pay Back (pembayaran
kembali)
|
b. Kesadaran Hukum
|
d. Hukum Positif
|