materi isbd
BAB VII
Manusia,
sains, teknologi dan seni
1.
Pengertian sains, teknologi dan seni
Sains
Sains
berasal dari bahasa latin Scire,
artinya mengetahui dan belajar. Kata sains diindonesiakan menjadi ilmu pengetahuan. Sains adalah pengetahuan yang sistematis. Lebih jauh sains dapat dirumuskan sebagai himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui suatu proses pengkajian dan dapat
diterima oleh ratio.
Dalam pemikiran barat, sains
memiliki karakteristik yaitu, obyektif, netral dan bebas nilai, sekalipun
diakui berpijak dari system nilai, tetapi sains bebas dari pertimbangan-pertimbangan
nilai.[1]
Ilmu selalu tersusun dari
pengetahuan yang teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan (obyek)
tertentu dengan sistematis, metodis, rasional, logis, empiris, umum, dan
akumulatif. Untuk membuktikan apakah isi
pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan.
Teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap
benar apabila dalil (preposisi) itu mempunyai hubungan dengan preposisi yang
terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan
kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila
mempunyai konsekwensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.[2]
Pembentukan ilmu akan berhadapan
dengan obyek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi obyek material
sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh, serta obyek
formal, yaitu sudt pandang yang mengarahkan kepada persoalan yang menjadi pusat
perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi
rangkaian kegiatan dantindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan
yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi,
kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berfikir analitis,
sintesis, induktif, dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian kesimpulan
dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang
merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan
yang ilmiah dan obyektif diperlukan sikap ilmiah yang meliputi empat hal :
1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih
sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif
2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan
terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan
mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan
yang tidak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan
mencapai ilmu
4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori,
maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk
dibuktikan kembali.[3]
Permasalahan ilmu pengetahuan
meliputi arti sumber, kebenaran pengatahuan, serta sikap ilmuwan itu sendiri
sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup
ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa
yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta
pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah,
sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pengetahuan
ilmiah. Pengembangan diartikan sebagai penggunaan sistematis dari pengetahuan
yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana
sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi
atau engineeringnya.[4]
Bagi para sarjana studi sains (science
studies), sains adalah produk sosial. Dia diproduksi melalui mekanisme
interaksi dan negosiasi yang terbentuk dari suatu sistem sosial yang sarat
dengan bentukan-bentukan imajinatif, seperti nilai, makna, cara pandang,
ideologi, dan kepercayaan. Memahami sains melalui dimensi sosial secara
epistemologis menarik sekaligus menantang. Menarik karena sains adalah karya
manusia, di mana manusia itu sendiri adalah spesies yang tidak pernah lepas
dari dunia sosial. Menantang karena pengetahuan ilmiah selama ini dipahami
sebagai hasil murni kemampuan logika manusia yang lepas dari faktor sosial.
Generasi awal
Berkembangnya sains modern di Eropa yang
dipicu oleh semangat Enlightenment telah menjadi perhatian banyak pemikir
sosial abad ke-19. Dalam catatan Sal Restivo, sains telah menjadi salah satu
kajian dalam karya Karl Marx. Bagi Marx, tidak hanya material dan bahasa yang
digunakan para saintis dalam mengamati fenomena alam adalah produk sosial,
keberadaan para saintis juga merupakan suatu fenomena sosial. Beberapa
kontribusi terpenting Marx dalam studi sains antara lain pemahaman relasi
antara praktik matematika dan sistem produksi. Bagi Marx, sains adalah produk
kaum borjuis. Karena itu, apa yang dilakukan Marx dalam memahami sains
berlanjut pada agenda politik untuk melakukan perubahan fundamental dalam sains
modern. Pada titik ini, dalam analisis Restivo, Marx bersikap inkonsisten. Pada
satu sisi dia mengkritik sains sebagai alat eksploitasi kaum pemilik modal,
tetapi di sisi lain dia mendukung penggunaan sains bagi tujuan-tujuan politik
kaum proletar.
Cikal bakal studi sains dibentuk oleh Emile
Durkheim dan Max Weber. Seperti Marx, keduanya memahami sains dari sudut
pandang sosiologis. Bagi Durkheim, konsep-konsep ilmiah yang dihasilkan dalam
sains memiliki status representasi dan elaborasi kolektif. Weber sendiri
memberi perhatian serius pada keterkaitan antara kapitalisme, Protestanisme,
dan sains modern. Pemikiran Weber dan Durkheim memberi jalan bagi terbentuknya
sosiologi sains sebagai suatu disiplin dalam tradisi akademik di Eropa Barat
dan Amerika Utara.
Mertonian vs Kuhnian
Munculnya sosiologi sains sebagai suatu
disiplin pada awal abad ke-20 banyak dipengaruhi oleh pemikiran Max Weber.
Robert Merton adalah sosok sentral dalam bidang ini dan dapat disebut sebagai
bapak sosiologi sains. Merton menyelesaikan studinya di Harvard pada tahun 1934
dengan disertasi yang menjadi buku berjudul The Sociology of Science. Buku ini
menjelaskan relasi antara sains dan institusi sosial di mana sains itu berada.
Tesis Merton mengatakan bahwa sains modern hanya dapat tumbuh dan berkembang
dalam kondisi sosiokultural tertentu.
Hingga dekade 1970-an, paradigma Mertonian
mendominasi perkembangan sosiologi sains. Gagasan besar dalam sosiologi sains
Mertonian dapat dirangkum dalam norma sains (norms of science) yang terdiri
atas empat nilai fundamental yang membentuk etos sains.
Pertama universalisme, yakni kepercayaan bahwa
klaim kebenaran lepas dari kriteria personal seperti ras, kebangsaan, atau
agama. Kedua komunisme (bukan dalam makna ideologi), yakni setiap penemuan
dalam sains menjadi milik bersama dalam komunitas sains tersebut. Ketiga
ketiadaan kepentingan, yakni pengetahuan bersifat bebas nilai dan kepentingan.
Keempat skeptisisme yang terorganisasi, yakni bahwa perkembangan pengetahuan
muncul dari sikap skeptis kolektif para saintis terhadap setiap pemahaman atas
fenomena alam.
Sosiologi sains Mertonian berlandaskan pada
satu asumsi bahwa sifat dan perkembangan sains ditentukan oleh faktor sosial
dan faktor imanen. Yang dimaksud dengan faktor imanen adalah perkembangan
logika dalam sains (inner logic). Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam
sosiologi sains Mertonian, pengetahuan ilmiah masih lepas dari analisis sosial.
Belakangan norma sains Mertonian mendapat kritik tajam karena keempat norma
tersebut tidak lebih dari representasi ideologi sains itu sendiri.
Pada tahun 1962, Thomas Kuhn, seorang
fisikawan yang kemudian berkarier sebagai sejarawan sains, menerbitkan The
Structure of Scientific Revolution. Lewat buku ini Kuhn melontarkan istilah
paradigma yang mengacu pada cara pandang kelompok ilmiah tertentu terhadap
suatu fenomena. Walaupun tidak memiliki latar belakang sosiologi, karya Kuhn
memberi kontribusi penting dalam sosiologi sains. Kuhn memberi penjelasan
alternatif terhadap apa yang dilakukan Merton selama beberapa dekade
sebelumnya. Karena itu, paradigma Kuhnian sering diasosiasikan sebagai anti-Mertonian.
Karya Kuhn menarik banyak orang karena dia
menggunakan model politik dalam menjelaskan perkembangan sains. Kuhn memakai
istilah revolusi untuk menggambarkan proses invensi dalam sains dan memberi
penekanan serius pada aspek wacana ilmiah. Bagi Kuhn, revolusi ilmiah dan
revolusi politik memiliki karakter yang sama. Keduanya terbentuk dari persepsi
yang ada di masyarakat bahwa institusi di mana mereka berada sudah tidak
bekerja dengan baik. Persepsi ini lalu menstimulus lahirnya krisis yang menuju
pada revolusi dengan tujuan perubahan institusional.
Orientasi anti-Mertonian bagaimanapun tidak
menjadikan Kuhn sepenuhnya bertolak belakang dengan Merton. Kuhn masih menerima
penjelasan Merton tentang norma sains. Walaupun telah memicu perubahan dalam
pemahaman sains, Kuhn sendiri tidak lepas dari kritikan. Studi empiris yang
dilakukan Sal Restivo dan Randal Collins tentang paradigma sains Kuhnian
menyimpulkan bahwa pola perubahan dalam sains secara substansial berbeda dengan
apa yang dilontarkan oleh Kuhn. Model Kuhnian juga dikritik karena mengacu pada
revolusi sistem politik modern yang semata-mata terjadi melalui sirkulasi kaum
elite.
Genre konstruktivisme
Jika Max Weber membuka jalan bagi
terbentuknya disiplin sosiologi sains, khususnya paradigma Mertonian, pemikiran
Emile Durkheim tentang representasi kolektif memberi inspirasi bagi gerakan
sosiologi sains pasca-Mertonian atau yang disebut sebagai the new sociology of
science. Sosiologi sains baru tidak hanya mengkaji aspek institusional dalam
sains, tetapi masuk ke dalam wilayah yang lebih dalam. Di sini pengetahuan
ilmiah dijadikan obyek analisis sosial, sesuatu yang tidak dilakukan oleh
Merton dan para muridnya. Karena itu, sosiologi sains baru sering diidentikkan
dengan sosiologi pengetahuan ilmiah (sociology of scientific knowledge).
Ciri kuat dari sosiologi sains baru adalah
penggunaan kerangka konstruktivisme. Konsep konstruktivisme sosial yang
menjelaskan produksi pengetahuan ilmiah pertama kali digunakan Ludwik Fleck
dalam bukunya, The Genesis and Development of a Scientific Fact. Buku ini
pertama kali terbit pada tahun 1935 dalam bahasa Jerman. Setelah diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1979, barulah pemikiran Fleck mendapat
perhatian serius dari para sarjana studi sains.
Fleck memperkenalkan konsep gaya berpikir (thought style) yang menyerupai
konsep representasi kolektif Durkheimian. Gaya
berpikir mengacu pada perilaku berpikir, asumsi kultural dan keilmuan,
pendidikan dan pelatihan profesional, serta minat dan kesempatan, yang mana kesemuanya
membentuk persepsi dan cara menghasilkan teori (theorizing).
Strong Programme adalah salah satu kubu
studi sains yang kental dengan pendekatan konstruktivisme. Tokoh sentral Strong
Programme adalah David Bloor. Bagi Bloor, sains tidaklah berkembang secara
linier seperti yang dipahami secara luas. Sains berkembang membentuk
cabang-cabang yang kompleks sesuai dengan heterogenitas dalam sistem sosial.
Diterimanya suatu konsep ilmiah sebagai paradigma tunggal dalam memahami suatu
fenomena tidak lain karena adanya faktor dan konteks sosial tertentu yang
bekerja dalam proses penerimaan itu. Karena itu, pengetahuan dalam sains dapat
berbeda mengikuti bentukan sosial.
Tokoh lain dalam gerakan sosiologi sains
baru adalah Bruno Latour. Latour adalah salah satu penggagas actor-network
theory (ANT) yang menjelaskan lahirnya suatu pengetahuan melalui relasi antara
masyarakat (konstruktivisme sosial) dan alam (realisme). Dalam ANT, sosiolog
sains memberikan perhatian tidak semata-mata pada manusia (actant), tapi juga
pada benda dan obyek (non-actant) secara simetris. Bersama Steve Woolgar,
Latour melakukan studi etnografi di laboratorium endocrinology Salk Institute.
Hasil studi ini menghasilkan Laboratory
Life: The Social Construction of Scientific Facts. Dalam buku ini Latour dan
Woolgar mengungkap budaya dalam laboratorium yang membentuk korespondensi
antara kelompok peneliti sebagai suatu jaringan dengan seperangkat kepercayaan,
perilaku, pengetahuan yang sistematis, eksperimen, dan keterampilan yang
terkait satu sama lain secara kompleks. Menurut Latour dan Woolgar, dalam suatu
laboratorium, kegiatan observasi bersifat lokal dan memiliki budaya spesifik.
Andrew Pickering patut disebut dalam
khazanah sosiologi sains baru. Dalam Constructing Quarks, Pickering yang memiliki latar belakang fisika
teori menjelaskan secara sosiologis lahirnya konsep quark. Bagi kalangan
fisikawan, quark lahir dari bukti empirik yang didapatkan melalui eksperimen.
Eksperimen itu sendiri dapat dipahami secara sempurna karena bekerja dalam
suatu sistem yang tertutup (closed system).
Permasalahannya, menurut Pickering, eksperimen bukanlah suatu sistem
yang tertutup. Dia sangat tergantung pada teori yang menjadi landasannya. Di
lain pihak, pemilihan teori sebagai raison d’etre suatu eksperimen tergantung
dari penilaian (judgment) para saintis. Pada titik inilah praktik sains
dibangun melalui tiga elemen yang saling mempengaruhi satu sama lain, yakni
eksperimen, teori, dan penilaian. Karena itu, menurut Pickering, realitas quark adalah hasil dari
praktik fisika partikel, bukan sebaliknya. Konsep quark lahir dari proses
penilaian dan pemilihan teori dan tidak muncul begitu saja dari serangkaian
eksperimen.
Kerangka konstruktivisme dalam studi sains
telah memicu konflik intelektual antara para saintis dan para sarjana studi
sains. Penjelasan konstruktivisme sosial dianggap ancaman terhadap integritas,
legitimasi, dan otonomi sains. Konstruktivisme, yang sering diasosiasikan
sebagai relativisme, dianggap menafikan apa yang telah dicapai sains dalam
memahami fenomena alam. Tetapi, seperti yang dijelaskan oleh Restivo, para
konstruktivis dalam studi sains bukanlah antirealisme. Tidak sedikit dari
mereka yang mempertahankan metode dan cara pandang dalam sains. Sebagai contoh
adalah Strong Programme yang secara epistemologis menggabungkan metode sains
dan sosiologi dalam memahami sains sebagai konstruksi sosial. Hal ini diperkuat
oleh pernyataan Bloor sendiri bahwa hanya dengan metode sains, para sosiolog
dapat memahami sains. Kasus Latour juga tak kalah menarik. Dalam edisi kedua
Laboratory Life, kata social dalam subjudul dihilangkan. Tidak lama setelah itu
tuduhan sebagai "pengkhianat" konstruktivisme ditujukan kepada
Latour. Belakangan Latour sendiri menolak untuk disebut sebagai konstruktivis.
Bagi Latour, sains adalah media untuk memahami masyarakat, bukan sebaliknya.
Sains dan budaya
Memasuki dekade tahun 1990-an, studi sains
menjadi lebih semarak dengan bergabungnya para antropolog dalam tradisi
intelektual ini. Selama lebih dari satu dekade terakhir, para sarjana studi
sains dari disiplin ini memberi kontribusi dalam memahami bagaimana pengetahuan
dalam sains diproduksi melalui proses pemaknaan dan praktik budaya.
Pemahaman budaya dalam sains dijelaskan oleh
Timothy Lenoir. Lenoir berargumen bahwa pengetahuan adalah hasil interpretasi
di mana obyek pengetahuan dan pengamat (interpreter) tidak berdiri secara
terpisah satu sama lainnya. Aktivitas interpretasi adalah praktik budaya yang
melibatkan faktor kognitif dan faktor sosial yang saling berimplikasi satu sama
lain. Kedua faktor ini senantiasa melekat pada para pelaku produksi pengetahuan
(saintis). Dengan pemahaman sains sebagai praktik budaya, Lenoir menolak klaim
Merton tentang universalisme dan disinterestedness dalam sains karena
pengetahuan selalu bersifat lokal, parsial, dan dilandasi kepentingan.
Secara antropologis, sistem pengetahuan
terbentuk dari upaya manusia untuk bertahan hidup melalui pemahaman regularitas
yang terjadi di alam. Sandra Harding mengidentifikasi empat jenis elemen budaya
yang membentuk inti kognitif dari sistem pengetahuan. Pertama, karena alam
tidak bersifat seragam (uniformly organized), regularitas alam yang berbeda
yang dialami oleh sistem kebudayaan yang berbeda lokasi akan menghasilkan
sistem pengetahuan yang berbeda pula. Kedua, bentuk kepentingan sosial berbeda
dalam setiap sistem budaya. Karena itu, setiap sistem budaya menghasilkan
perbedaan dalam pola pengetahuan. Ketiga, sistem budaya membentuk wacana dalam
proses produksi pengetahuan yang selanjutnya mempengaruhi cara pandang dan pola
intervensi masyarakat dalam sistem budaya tersebut. Terakhir, bentuk-bentuk
organisasi sosial dalam penelitian ilmiah yang berbeda secara kultural akan
mempengaruhi isi dari sistem pengetahuan.
Catatan Harding di atas mengindikasikan
bahwa sains dikonstruksi melalui budaya. Artinya, wacana sistem pengetahuan
tidak pernah lepas dari konteks budaya di mana sistem pengetahuan tersebut
berada. Studi Pamela Asquith dapat dijadikan satu contoh menarik. Asquith
melakukan studi komparasi kultural dan intelektual antara primatologi Barat
(Eropa dan Amerika) dan primatologi Jepang. Asquith mencari heterogenitas dalam
sains dengan membandingkan cara pandang, bentuk pertanyaan, dan metode
penelitian primatologi di kedua sistem budaya tersebut. Dari studi ini, Asquith
mengamati satu hal yang menarik. Dalam pandangan Kristen yang mempengaruhi para
primatologis Barat, hanya manusia yang memiliki jiwa. Pandangan ini
"menghalangi" primatologis Barat untuk melihat kualitas mental yang
membentuk perilaku sosial primata yang kompleks. Sebaliknya, sistem kepercayaan
masyarakat Jepang mempercayai bahwa setiap hewan memiliki jiwa. Hal ini membuat
primatologis Jepang memberi perhatian serius pada atribut motivasi, perasaan,
dan personalitas yang ditunjukkan oleh hewan primata yang mereka amati.
Perbedaan sistem kepercayaan tentang posisi manusia di dunia ini menjadikan
pengetahuan yang dihasilkan oleh primatologis Barat berbeda dengan rekan
sejawatnya di Jepang. Primatologi Barat cenderung bersifat fisiologis,
sementara primatologi Jepang lebih bersifat sosiologis dan antropormorfis.
Perbedaan ini berdampak pada perbedaan pengetahuan yang dihasilkan dalam kedua
tradisi primatologi tersebut walaupun mereka mengamati obyek yang sejenis.
Studi komparasi kultural juga dilakukan
Sharon Traweek yang membandingkan praktik fisika energi tinggi di Amerika
Serikat dan Jepang. Jika Asquith mencari pengaruh budaya terhadap bentuk
pengetahuan, Traweek mengamati bagaimana nilai budaya direpresentasikan melalui
model organisasi sains. Pada studi ini, Traweek melihat nilai individualisme
dan persaingan yang melandasi sistem organisasi riset Amerika. Adapun di
Jepang, nilai-nilai komunalisme dan kerja sama sangat dominan. Perbedaan dalam
nilai budaya ini terefleksi dalam banyak hal yang mencakup proses pembelajaran
dan pengajaran, organisasi laboratorium dan kelompok, gaya kepemimpinan, dan proses pengambilan
keputusan. Walaupun Traweek tidak menjelaskan apakah perbedaan nilai budaya ini
mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkan, setidaknya studi Traweek menunjukkan
bahwa nilai budaya melekat erat pada sistem organisasi ilmiah.
Jika Asquith dan Traweek mengamati praktik
sains dalam dua sistem budaya, Karen Knorr-Cetina membandingkan dua praktik
sains modern, yaitu fisika partikel dan biologi molekuler. Knorr-Cetina
mengamati bagaimana fragmentasi dan diversitas dalam sains modern membentuk dua
budaya pengetahuan (epistemic culture) yang berbeda dalam aspek cara mengetahui
(machineries of knowing). Dari hasil studinya selama beberapa tahun di
laboratorium-laboratorium di Eropa dan Amerika Utara, Knorr-Cetina mengungkap
perbedaan struktur simbolik dari kedua bidang ilmiah tersebut. Struktur
simbolik ini terepresentasi melalui cara pendefinisian entitas, sistem
klasifikasi, dan cara di mana strategi epistemik, prosedur empirik, dan
strategi sosial dipahami. Analisis ini menghasilkan pemahaman bahwa dalam
proses produksi pengetahuan, proses tanda, pengerjaan eksperimen, relasi antara
waktu dan ruang, dan relasi antara tubuh dan mesin secara kultural berbeda
antara praktik fisika partikel dan biologi molekuler. Melalui studi komparasi
silang disiplin ini, Knorr-Cetina mengatakan bahwa sains modern tidaklah
menyatu seperti yang diklaim kaum positivis.
Sains dan Studi Sains
Konsep dan teori yang dikembangkan dalam
studi sains berangkat dari pemahaman sains sebagai institusi sosial dan
pengetahuan ilmiah sebagai produk sosial. Melalui pemahaman ini, studi sains
membuka suatu jendela baru di mana kita bisa memandang perkembangan sains dari
perspektif yang lebih luas. Dalam perspektif ini, sains tidak lagi muncul
sebagai suatu entitas yang integratif, rigid, dan berkembang secara linier,
melainkan bagai suatu tanaman bercabang-cabang yang tumbuh di atas tanah
sosial.
Pemahaman sains melalui dimensi sosial yang
ditawarkan studi sains berdampak pada demistifikasi sains secara institusional
ataupun epistemologikal. Ini merupakan implikasi politis yang tidak dapat
dihindari. Ketergantungan masyarakat kontemporer terhadap sains telah
menempatkan sains pada posisi sakral dan bersifat ideologis. Mistifikasi sains
yang begitu kental dalam masyarakat ini memungkinkan praktik hegemoni kekuasaan
dan kepentingan bersembunyi dengan rapi di balik jargon-jargon ilmiah. Tanpa
menafikan apa yang telah dihasilkan sains bagi umat manusia, studi sains
memberi penyadaran kepada diri kita bahwa sains adalah hasil karya manusia
dalam berinteraksi dengan alam. Sains bukanlah sekumpulan ayat-ayat suci yang
turun dari langit. Pengetahuan ilmiah adalah wujud kreativitas dan imajinasi
manusia dalam memahami ruang dan waktu di mana dia berada. Pemahaman dimensi
sosial sains dapat menjadi lensa untuk melihat bahwa pengetahuan tidaklah
tunggal dan monolitik. Kepercayaan bahwa hanya ada satu cara melihat alam
justru melawan hakikat manusia sebagai makhluk multikultural.
Lalu, apakah studi sains menawarkan
relativisme? Donna Haraway memberi jawaban menarik. Haraway menolak relativisme
sekaligus universalisme yang diklaim para saintis. Haraway berargumen bahwa
obyektivitas dalam sains tidaklah tunggal. Karena itu Haraway menawarkan
praktik difraksi, di mana obyektivitas dan realisme agensi dalam produksi
pengetahuan memiliki posisi yang sama pentingnya. Ini yang disebut Ron Eglash
sebagai obyektivitas ganda (multiple objectivity). Haraway mengajak kita untuk
menggunakan domain budaya lain dalam sains yang selama ini termarginalisasi
oleh dominasi narasi budaya Barat. Hawaray menginginkan adanya suatu budaya
sains yang lebih kompleks dan beragam tanpa harus menjadi antirealisme.
Selama beberapa dekade, studi sains telah
memberi kontribusi pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang sains dan
relasinya dengan masyarakat. Lepas dari konflik antara para saintis dan sarjana
studi sains dalam episode Science Wars, apa yang dihasilkan dalam studi sains
sedikit banyak telah mempengaruhi perjalanan sains secara dinamis. Sebaliknya,
sains pun telah memberi banyak kontribusi bagi studi sains untuk tumbuh dan
berkembang sebagai suatu disiplin. Karena tanpa sains, studi sains tidak
berarti apa-apa.[5]
Teknologi dan Seni
Istilah teknologi sebenarnya sudah mengandung sains dan teknik atau
engineering sebab produk teknologi tidak mungkin ada tanpa didasari sains.
Dalam sudut pandang budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai
hasil penerapan praktis dari sains. Dalam kenyatannya teknologi tidak bisa
netral karena memerlukan sentuhan estetika yang bersifat subyektif, yang
disebut sebagai seni.
Secara
konvensional, teknologi telah menjadi pusat perhatian ilmu sosial dan melihat
dampaknya terhadap masyarakat, atau secara lebih spesifik, atas dampaknya pada
tenaga kerja dan organisasi. Ini sejalan dengan pendapat determinisme teknologi
yang dihubungkan dengan beberapa bentuk Marxisme : teknologi amiliki kapasitas
untuk menentukan jalannya evolusi sejarah. Dalam pandangan ini, yang seharusnya
menjadi perhatian ilmu sosial adalah pengaruh teknologi bagi masyarakat.
Pandangan ini melahirkan pendapat bahwa evolusi teknologi adalah sebuah proses
dimana perkembangan-perkembangan baru diilhami oleh penemuan (teknis) yang
telah ada.
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa teknologi tidak terlepas dari masyarakat, bahwa ‘masyarakat’
juga bisa mempengaruhi jalannya perkembangan teknologi; dan bahwa tesis dari
kelompok determinis dapat dijatuhkan oleh banyak sekali contoh dimana efek
teknologi yang menyimpang dari yang dikehendaki semula, atau bahwa keseluruhan
efek yang berbeda itu lahir dari sebuah teknologi yang sama.[6]
Teknologi memperlihatkan
fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi
mengubah setiap bidang kehidupan manusia mnejadi lingkup teknis. Jacques Ellul[7] tidak menyebut teknologi, tetapi teknik,
meskipun arti dan maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak
hanya untuk mesin, teknologi, atau prosedur untuk memproleh hasilnya, melainkan
totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk
memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktifitas manusia. Batasan
ini bukan bentuk teoritis, tetapi perolehan dari aktifitas masing-masing dan
observasi dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya.
Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode, dan cara untuk
memperoleh hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja[8] memiliki cirri-ciri sebagai berikut :
-
Rasionalitas,
artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan
dengan perhitungan rasional.
-
Artificial, artinya selalu
membuat sesuatu yang buatan, tidak alamiah
-
Otomatisme,
artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis.
Demikian pula dengan teknik mampu mengeliminasi kegiatan non teknis menjadi
kegiatan teknis.
-
Teknik berkembang pada suatu
kebudayaan
-
Monisme, artinya semua teknik
bersatu saling berinteraksi, dan saling bergantung
-
Universalisme, artinya teknik
melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai
kebudayaan
-
Otonomi,
artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
2.
Makna Sain, Teknologi, dan Seni Bagi Manusia
Sains dan teknologi saling
membutuhkan, karena sains tanpa teknologi bagai pohon tanpa buah, sedangkan
teknologi tanpa sains bagaikan pohon tak berakar. Sains hanya mengajarkan fakta
dan non fakta pada manusia, ia tidak mampu mengajarkan apa yang harus atau
tidak boleh dilakukan oleh manusia. Jadi fungsi sains hanya mengkoordinasikan
semua pengalaman-pengalaman manusia dan menempatkannya kedalam suatu system
yang logis, sedangkan fungsi seni memberi semacam persepsi mengenai suatu
keberaturan dalam hidup dengan menempatkan suatu keberaturan padanya. Sedangkan
tujuan sains dan teknologi adalah untuk memudahkan manusia dalam menjalani
kehidupannya.
Teknologi bagi Perkembangan Sosial dan Ekonomi
Pentingnya teknologi bagi perkembangan
sosial dan ekonomi tidak diragukan lagi. Namun upaya-upaya analitis dan
pemahaman di bidang ini sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan
bidang-bidang lain. Hal ini untuk sebagian disebabkan kompleksitas proses
perubahan teknologi serta kesulitan dalam menemukan pengukuran dan definisi
yang tepat.
Schumpeter, salah seorang ahli
ekonomi terkemuka yang meletakkan kemajuan teknologi dalam analisisnya,
menekankan pentingnya produk-produk, proses, dan bentuk-bentuk organisasi atau
produksi baru- factor-faktor yang telah terbukti berhubungan dengan perubahan
besar dalam struktur ekonomi di negara-negara maju sejak terjadimya revolusi
industri. Munculnya industri-industri besar seperti baja dan kereta api pada
abad 19, mobil, bahan-bahan sintetis dan elektronik pada abad 20, tergantung
pada interaksi dari penemuan, inovasi, dan aktivitas kewirausahaan, yang
digambarkan dengan tepat oleh Freeman[9] sebagai sistem teknologi.
Sejak permulaan masa pasca
resesi 1973, pemikiran bahwa teknologi pasca kapitalis maju sedang menghadapi
gelombang panjang periode bolak-balik antara kemakmuran dan stagnasi, yang
masing-masing menerjang bergantian dalam waktu sekitar 50-60 tahun, telah
diperbaharui. Beberapa komentar mengatakan bahwa sistem teknologi baru
adalahpenyebab utama terjadinya gelombang naik, yang kemudian mulai menurun
seiring dengan tercapainya kematangan industri. Sementara ahli ekonomi lain
mengatakan bahwa kemajuan teknologi adalah sebuah konsekwensi, buka
penyebabnya. Diluar literature, sedang terjadi perdebatan mengenai arah dari
kausalitas dari hubungan-hubungan statistic yang diamatiantara pertumbuhan
industri dan langkah inovasi teknis.
Pada level ekonomi makro,
model pertumbuhan neoklasik tradisional menganggap kemajuan teknologi sebagai
bagian dari factor residu dalam menerangkan peningkatan output, setelah
mempertimbangkan efek-efek perubahan dalam volume dari factor-faktor produksi.
Residu ini biasanya besat dan secara implisit mempersatukan factor-faktor
seperti pendidikan dari angkatan kerja dan keahlian manajemen yang memberi
sumbangan bagi perbaikan efisiensi, sebagai pelengkap dari kemajuan teknologi.
Dalam pendekatan ini perubhan teknologi benar-benar ‘dilepaskan’ yaitu dianggap
tidak berkaitan dengan variable-variabel ekonomi yang lain.
Aliran yang disebut model
capital vintage, yang digunakan secara luas pada awal 1970-an, menganggap
kemajuan teknnologi paling tidak secara sebagian ditambahkan dalam investasi
tetap yang baru. Pabrik dan mesin-mesin membawa perbaikan produktifitas dan
hasil dari kemajuan teknologis tergantung pada tingkat investasinya. Pendekatan
yang terakhir inipun tidak melangkah terlalu jauh dalam menangkap proses-proses
dan kekuatan-kekuatan dimanateknik-teknik baru diserap ke dalam sistem
produksi. Model evolusioner yang dipimpin oleh Nelson dan Winter berusaha
menggali kondisi dimana entrepreneur akan berusaha memakai teknik-teknik yang
telah disempurnakan. Tetapi pendekatan-pendekatan semacam ini baru memasuki
masa awal perkembangannya.
Perdebatan tentang bagaimana
teknik-teknik baru ditemukan dan dipakai biasanya terjadi pada level kajian
kasus ekonomi mikro. Penemuan bisa berupa produk baru atau penyempurnaan dari
produk sebelumnya, atau sebuah prosedur baru dalam pengolahan produk yang telah
ada, yang punya kemungkinan dianggap sebagai penemuan, yaitu, dipakainya ide
itu untuk pertamakalinya secara komersial. Dalam banyak kasus, penemuan ilmiah
membuka jalan bagi penemuan-penemuan lain yang, jika diyakini memiliki potensi
per,imtaan pasar, dipakai secara komersial ; pada abad 19 seorang innovator
seringkali adalah seorang independent, tetapi setelahnya penekanannya telah
bergeser kea rah karya ilmiah dan teknologi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar. Jika sebuah penemuan sukses, lalu diikuti oleh
periode penyebaran, dimana perusahaan lain memakai atau memodifikasi inovasi
tersebut dan memasarkan produk atau prosesnya. Seringkali pada tahap inilah
terjadi benturan ekonomi yang dahsyat. Freeman menggambarkan proses ini dengan
kasus plastic, dimana karya riset ilmiah dasarnya di Jerman pada awal tahun
1920-an atas molekul-molekul rantai panjang langsung menghasilkan polystyrene
dan karet styrene, dan secara tidak langsung atas penemuan sejumlah produk baru
pada tahun 1930-an. Penemuan-penemuan lebih lanjut dan penyebarannya secara
besar-besaran ke seluruh dunia terjadi setelah PD II, dengan dibantu oleh
terjadinya pergeseran dari batu bara ke minyak sebagai bahan baker industri.
Pada tahun 1970-an industri mulai mengalami kematangan dengan terjadinya
penurunan permintaan dan laju perkembangan teknologi.
Pengukuran kegiatan inovatif dan penemuan mengalami banyak
kesulitan. Ukuran-ukuran input mencakup pegawai yang dipekerjakan serta
pengeluaran financial, meskipun ada kesewenangan dalam mendefinisikan
perbatasan antara tindakan riset dan perkembangan. Ukuran-ukuran output dari
penemuan meliputi statistic paten, tetapi ini perlu ditafsirkan dengan
hati-hati mengingat adanya perbedaan dalam kecondongan untuk mematenkan antara
perusahaan-perusahaan, industri, negara, dengan persepsi yang berbeda tentang
amankan mereka dengan perlindungan paten, dan perbedaan dalam perundangan paten
nasional. Penggunaan sejumlah inovasi sebagai ukuran output biasanya
membutuhkan beberapa penaksiran dari nilai ‘penting’ relative dari inovasi itu
masing-masing. Meskipun
terdapat keterbatasan, dengan menggunakan beberapa indicator bisa dipakai
sebagai landasan perbandingan antar industri atau antar negara.
Selepas periode pasca
perang, pemerintah semakin mengakui pentingnya mencapai atau mempertahankan
daya saing internasional atas teknologi. Munculnya Jepang sebagai kekuatan
ekonomi besar sebagian besar disebabkan oleh kebijakan yang secara sadar
berusaha mengimpor teknologi modern asing serta menyempurnakannya di dalam
negeri. Kebanyakan negara memiliki cara yang berbeda dalam mendorong
perusahaan-perusahaan untuk mengembangkan dan mempergunakan teknologi baru, dan
kebijakan untuk melatih tenaga kerja dalam menggunkan teknik-teknik baru
tersebut. Dalam konteks ini perhatian diberikan terutama pada teknologi mikro
elektronik dan ketakutan bahwa teknologi ini bisa memperburuk permasalahan
pengangguran yang biasanya datang setelah ketakutan-ketakutan akan konsekwensi
tertinggal dalam bidang teknologi, di mata pemerintah dan juga di mata serikat
perdagangan.
Ramalan-ramalan tentang
dampak teknologi baru sangat tidak dapat dipercaya. Potensi penghematan biaya
dari tenaga nuklir telah didramatisasi seperti yang disinggung di atas,
senetara potensi terpendam computer dulunya sangat diremehkan. Apapun yang terjadi bisa dikatakan bahwa
kemajuan teknologi tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.[10]
Alvin Toffler[11] mengumpamakan teknologi sebagai mesin
yang besar atau sebagai akselerator yang dahsyat dan ilmu pengetahuan sebagai
bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan
kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yang ditimbulkan oleh
mesin pengubah, terlebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih
banyak dan lebih baik lagi.
1. teknik meliputi bidang ekonomi, artinya
teknik mampu menghasilkan barang-barang industri. Dengan teknik mampu
mengkonsentrasikan capital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu
ekonomi sendiri terserap oleh teknik.
2. teknik meliputi bidang organisasional
seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum, dan militer. Contohnya
dalam organisasi negara, bagi seorang teknisi, negara hanyalah merupakan ruang
lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilkan teknik. Negara tidak
sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat tetapi dianggap perusahaan
yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien.
3. teknik meliputi bidang manusiawi, seperti
pendidikan, kerja, olehraga, hiburan, dan obat-obatan. Teknik telah menguasai
seluruh sector kehidupan manusia. Manusia semakin harus beradaptasi dengan
dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh
teknik. Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses
dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takhluk pada teknik.
3.
Manusia Sebagai Subyek dan Obyek Ipteks
Sumber ilmu adalah wahyu sedangkan akal merupakan
instrument untuk menggali dan membuktikan kebenaran wahyu. Dengan potensi akal, manusia diberi
kebebasan untuk memilih dan mengembangkan mana yang benar dan mana yang salah.
Dengan potensinya, manusia dapat menggali rahasia alam semesta, yang hasil
pengembangannya disebut sains, teknologi, dan seni.
Atas dasar itu ilmu ada
yang bersifat abadi (perennial knowledge) yang tingkat kebenarannya mutlak
(absolute), karena bersumber dari Tuhan, dan ilmu yang bersifat perolehan
(aquired knowledge) yang tingkat kebenarannya bersifat nisbi (relative) karena
hanya penafsiran dan dugaan-dugaan sementara oleh manusia.
Manusia diciptakan
sebagai subyek dan obyek IPTEKS. Manusia satu-satunya makhluk Tuhan yang mampu
merangkaikan fenomena alam beserta prosesnya secara kreatif, sehingga menjadi
ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemudahan dalam menjalani hidupnya.
Krisis Dunia Modern
Menurut E.F Schumacher[13], dalam Kecil itu indah, dunia
modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak
terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak
berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan nafas dan melemahkan badan. Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda
setengah binasa. Ketiga, penggunaan
sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan baker, fosil, sedemikian
rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut.
Fenomena Pengaruh IPTEK
Manusia pada saat ini
telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknologi muncul fenomena diantaranya :
1.
Situasi tertekan.
Manusia mengalami ketegangan
akibat penyerangan teknik-teknik mekanisme teknik. Manusia melebur dengan
mekanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran.
Peleburan manusia dengan mekanisme teknik menuntut kualitas manusia, tetapi
manusia itu sendiri tidak hadir di dalamnya. Contoh pada sistem industri ban
berjalan, buruh yang sakit, atau keluarganya meninggal, tidak dapat begitu saja
meninggalkan pekerjaannya, karena akan membuat macet garis produksi dan upah
bagi temannya. Keadaan tertekan demikian akan menghilangkan nilai-nilai sosial
dan tidak manusiawi lagi.
2.
Perubahan ruang dan lingkungan
manusia.
Teknik telah mengubah lingkungan dan hakekat manusia.
Contoh yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan lapar
atau mengantuk, tetapi diatur oleh jam. Alat-alat transportasi telah mengubah
jarak dan pola komunikasi manusia.lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak
berhubungan dengan padang
rumput, pantai, pohon-pohon atau gunung secara langsung, yang ada hanyalah
bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi hari tidak sempat lagi
menyentuh kulit manusia.
3.
Perubahan waktu dan gerak
manusia
Akibat teknik manusia terlepas
dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan
kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan
kongkret. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit,
dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas
manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk pada waktu yang
mekanistis dengan mengorbankan nilai kualitas manusiawi dan sosial.
4.
Terbentuknya masyarakat massa
Akibat teknik, manusia hanya
membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat
kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka
akan muncul kegoncangan. Masyarakat kita masih memegang nilai-nilai asli
(primordial) seperti agama atau adat istiadat secara ideologis, akan tetapi
struktur masyarakat ataupun dunia norma pokoknya tetap saja hukum ekonomi,
politik atu persaingan kelas. Proses ekularisasi sedang berjalan secara tidak
disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan
nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas. Padahal individu membutuhkan
hubungan sosial.terjadi neurosa obsesional atau gangguan syaraf menurut
beberapa ahli, sebagai akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial, yaitu
kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang
bersifat teknik. Struktur sosiologis missal dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan teknik
dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui kemampuan manusia.
5. Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat.
Teknik-teknik manusiawi harus
memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang,
bebas dari tekanan-tekanan. Teknik harus menyelaraskan diri dengan kepentingan
manusia bukan sebaliknya. Melalui teknik bukan berarti menghilangkan kodrat
manusia itu sendiri, tetapi poerlu memanusiakan teknik. Kondisi sekarang sering
manusia menjadi obyek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik.
4.
Pembangunan dan Perkembangan Ipteks
Pengaruh IPTEK pada tatanan kehidupan masyarakat
Perkembangan IPTEK yang
sedemikian pesatnya mampu menciptakan perubahan-perubahan yang mempengaruhi
langsung pada tatanan kehidupan masyarakat, khususnya dalam empat bidang
berikut :
a.
perubahan
dibidang intelektual, masyarakat
meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama atau kepercayaan-kepercayaan tradisional
dan mengambil kebiasaan dan kepercayaan baru, setidaknya melakukan
reaktualisasi
b.
perubahan
dalam organisasi-organisasi sosial yang mengarah pada kehidupan politik
c.
perubahan
dan benturan-benturan terhadap tata nilai dan tata lingkungannya
d.
perubahan
di bidang industri dan kemampuan di medan perang.
Alvin Toffler[14] menyatakan saat ini negara-negara
teknologi maju telah memasuki tahap superindustrialisme, melalui inovesi
teknologi tiga tahap, yaitu ide kreatif, penerapan praktisnya, dan difusi atau
penyebarannya dalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang
menimbulkan bermacam-macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai
yang disebut proses perubahan.
Dengan semakin
meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu tidak dapat dipandang
normal lagi, dan tercapailah akselerasi ekstern maupun intern (psikologis) yang
merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam dipahami.
Accelerasi dan Trancience
Dalam hal akselerasi,
apabila masa depan itu menyerbu masa kini dengan kecepatan yang terlampau
tinggi, maka masyarakat atas dapat mengidap penyakit ‘progeria’, yakni tingkat
menua yang lanjut sekalipun secara kronologis usianya belum tua. Bagi
masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah tidak dapat dikendalikan
lagi, kemudian dicari semacam kekebalan diplomatic terhadap perubahan. Tak
mustahil pula akan timbul future shock atau kejutan masa depan, yaitu suatu
penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila sistem adaptif fisik dari
organisme manusia itu, beserta proses pembuat keputusannya, terlampau banyak
dilewati daya dukungannya.
Akselerasi perubahan
secara drastic dapat mengubah mengalirkan situasi. Dalam hal ini situasi dapat
dianalisis menurut lima komponen dasar, yaitu benda, tempat, menusia,
organisasi, dan ide. Hubungan lima komponen itu, ditambah dengan factor waktu,
membentuk kerangka pengalaman sosial.
Toffler juga menyatakan
ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia selain
akselerasi, yaitu transience (keadaan bersifat sementara). Transience merupakan
alat kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani
teori-teori sosiologis tentang perubahan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat menurut transience, dibagi kedalam dua kelompok, high
transience dan low transience. Eksplorasi mengenai kehidupan masyarakat high
transience menghasilkan :
1.
Benda : hubungan
“manusia-benda” tidak awet dan masyarakatnya merupakan masyarakat pembuang.
Bandingkan misalnya vulpen yang bertinta yang permanent dengan ball point yang
dibuang setelah habis.
2.
tempat : hubungan
“manusia-tempat” menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara, jarak
fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil dengan ‘nomad baru’. Secara
kiasan tempat pun seolah-ilah cepat terpakai habis, tidak berbeda dengan
minuman atau makanan dalam kaleng.
3. manusia, hubungan ‘manusia-manusia’
pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antar
manusia tidak menyagkut secara keseluruhan personalitas, melainkan bersifat
dangkal dan terbatas’ secara kiasan terdapat ‘orang yang dapat dibuang’.
4. organisasi, organisasi ada kecenderungan
menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan
individualitasnya dan personalitasnya dalam mesin organisasi yang besar, namun
hakekat sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan
‘manusia-organisasi’ pun seolah-olah mengalir dan beraneka ragam, menjadi
sementara, baik hubungan formalnya maupun informalnya.
5. ide, hubungan ‘manusia-ide’ bersifat
sementara karena ide dan image timbul dan menghilang dengan lebih cepat.
Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktifitas manusia.
Counter play normative
Untuk itu semua diperlukan counter play yang bersifat
normative bagi manusia. Tuhan, keadilan, dan perikemanusiaan, hendaklah mulai
berfungsi dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat,
menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan terhadap
teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dengan kepentingan
manusia dan integritas ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan cara :
-
memberikan banyak alternative
pilihan teknologi
- adanya interaksi yang serasi antara
manusia, mesin-mesin, dan biosfer agar ekosistem terpelihara.
-
Teknologi harus baik secara
termodinamis demi tercapainya keseimbangan energi, ekonomi, dan ekologi.
- Teknologi harus menopang hidup manusia,
bukan sebaliknya.
IPTEK, Globalisasi dan
Kemiskinan
Wajah Mendua Teknologi
Ketika teknologi belum dikenal dalam alam budaya
tradisional, orang hidup hanya kawatir akan resiko yang berasal dari alam
(eksternal), seperti banjir, gempa bumi, tsunami, yang disebut sebagai resiko
alamiah. Namun ketika teknologi menjadi bagian dari hidup manusia modern, ada
resiko lain yang muncul, yaitu, bobolnya rekening bank, hilangnya file karena
virus, kecelakaan mobil, pesawat, sampai meledaknya reactor nuklir. Giddens
(1999) menyebutnya sebagai manufactured risk, yaitu resiko yang melekat pada
teknologi.[15]
Demikian kompleksnya resiko ini, hingga kadang nampak alamiah seperti pemanasan
global yang kini diributkan, atau banjur dan tanah lonsor yang penyebabnya
bukanlah bencana alamiah semata.
Ketika teknologi mendorong
menggelindingnya roda globalisasi, roda itu melindas sisi-sisi yang lain. Satu
sisi adalah manufactured risk, sisi lainnya adalah keterasingan (alienasi) yang
semakin besar antara manusia dengan teknologi yang diciptakannya sendiri.
artinya, walaupun bisa menggunakannya, kita tidak kemudian berarti paham
bagaimana sebenarnya teknologi itu brkrtja dan apa dampak-dampaknya, baik
langsung maupun tudak langsung, baik bagi penggunanya maupun orang lain, juga
bagi lingkungan.
Pada 19 Mei 1994, Calgene
Inc., satu perusahaan bioteknologi modern, diberi ijin oleh badan pengawas obat
dan makanan AS (FDA) untuk memasarkan
sayuran jenis baru bernama Falvr Savr. Flavr Savr adalah tomat yang sudah
dimodifikasi secara genetic, sehingga menjadi lebih awet. Caranya dengan
‘membalik’ rengkaian rantai genetic sehingga tomat ‘diperintah’ untuk tetap
awer. Sayangnya gen yang dibalik ini tidak stabil. Untuk menstabilkan,
disisipkanlah satu gen bakteri. Itulah kenapa ia disebut ‘transgenik’ karena
secara genetic, gen yang dipunyai sudah melintasu gen tumbuhan. Fakta adanya
gen bakteri dalam tomat itu membuat tomat tidak bisa lagi sepenuhnya dikatakan
‘tumbuhan’, tetapi jelas pula bahwa ia bukan ‘hewan’ atau ‘bakteri.
Donna Haraway (1997)[16] mencatat tangga 19 Mei itu sebagai hari
yang akan mengubah perjalanan hidup ilmu pengetahuan dan masyarakat. Dia
menempatkan tomat transgenic dalam satu deret bersama nilon dan plutonium yang
terbukti sudah mengubah sejarah manusia dalam menggunakan bahan-bahan
sisntetis. Sesudah pakaian (nilon) dan barang produksi (plutonium), kini pangan
(tomat transgenic) yang disintetiskan.
Ada argument bahwa Bioteknologi
mencakup budidaya selektif, hybrid, hingga tumbuhan dan organisme yang dimodifikasi
secara genetic. Kelebihannya adalah bahwa prose situ memungkinkan produksi
lebih tinggi, namun diharapkan tetap akarab dengan lingkungan, penggunaan
m,inim pestisida, pupuk kimia, dan efek rumah kaca. Argument lainnya adalah
penyelamatan keragaman hayati dan percepatan proses evolusi tumbuhan lewat
seleksi karakteristik gen yang baik dan dominant.
Tentu saja hal positif ini
hanyalah separuh dari cerita karena ada hal lain yang tidak bisa diabaikan. Pertama, pertanian modern yang bersifat monokultural sangat rawan
terhadap masalah lingkungan. Keanekaragaman hayati treancam hilang. Demikian
juga dengan bahaya kerusakan dan pencemaran tanah, ait, dan udara. Ekosistem
menjadi lebih rentan pada hama
dan penyalut. Muncullan efek domino manufactured risk yang makin hari makin
bertambah panjang proses genetisasi memang mencakup lokalisasi mutasi gen,
tetapi tetap tak terelakkan proses perpindahan dan bahkan mutasi gen antar
tumbuhan transgenic
Kedua, perkembangan bioteknologi ini sebagian besar
didominasi oloeh perusahaan besar multinasional seperti halnya industri
software. Perusahaan-perusahaan
ini mendominasi pasar dan tentu busa dipahami jika mereka membangun visi global
di industri pertanian dan pangan. Para pakar bioetika boleh saja terus
mempertanyakan klaim alamiah vs non alamiah dari tumbuh-tumbuhan sejenis Flavr
Savr dan bahkan binatang yang dikloning.
Bioteknologi pada
ujungnya memang mengubah pertanian dari ‘proses produksi untuk konsumsi’
menjadi ‘produksi untuk perdagangan’. Untuk itulah dibutuhkan tomat dan sayuran
lain yang awet, dibutuhkan ayam potong yang lebih besar, sapi perah yang
menghasilkan susu lebih banyak, juga tanaman dan ternak yang lebih cepat
menghasilkan panenan. Untuk tujuan-tujuan itulah Fukuyama[17] menyebut bahwa bioteknologi nampaknya
lebih mengabdi kepada kepentingan dagang daripada sains.
Teknologi informasi.
Sosiolog ternama Anthony
Giddens[18] pernah berujar ‘……..teknologi
komunikasi elektronik yang serba segera ini bukan sekedar alat untuk
menyampaikan berita dan informasi secara cepat. Ia mengubah selueuh hidup kita
sampai yang sekecil-kecilnya.’
Globalisasi
serta perkembangan Iptek yang luar biasa telah membuat dunia serba terbuka.
Namun hanya yang siap yang bisa meraih kesempatan. Singapura yang tidak
memiliki kekayaan sumber daya alam misalnya, telah sejak lama memilih
mengembangkan sumber daya manusia dan bidang jasa. Salah satunya lewat sistem
pendidikan yang tidak hanya dwibahasa, tapi juga dwikultural sejak SD. Mereka
sadar betul, dalam dunia datar dimana manusia sedemikian mudah bermigrasi yang
diperlukan adalah manusia yang bisa mengelola, memimpin, sekaligus mudah
beradaptasi dalam budaya berbeda.
Contoh lain adalah India yang sudah lama
menguasai pangsa pasar sumberdaya di bidang teknologi informasi, dan Filipina
dibidang akuntansi. Bandingkan dengan Indonesia yang sampai sekarang hanya
mampu mengirim sumberdaya manusia tingkat pembantu dan buruh.
Disamping persiapan sumber daya manusia,
Hollywood melalui film-film futuristiknya juga berulangkali menggambarkan
kondisi masa depan dimana robotpun bisa berperasaan dan berpikiran independent.
Demikian pula Michael Chricton yang terkenal dengan fiksi ilmiahnya, membuat
novel berjudul Prey (2002) tentang sisi lain kemajuan teknologi nano. Kelalaian
menjalankan prosedur operasional di laboratorium ternyata mengubah teknologi
yang dipuja menjadi bencana.
Teknologi nano
Teknologi
nano sebenarnya merujuk pada suatu materi yang berukuran -9 meter atau satu
dibagi semiliar meter. Ibaratnya sehelai rambut ukuran materi nano dibayangkan
sebagai rambut yang dibelah 50.000. dengan kemampuan manusia merekayasa materi
sekecil itu tentu saja banyak sekali dampak perubahannya.
Tahun
2006-1008, misalnya dikembangkan superchip yang bila dipasang pada ban atau
kulkas, sehingga ban yang kurang angin atau kulkas yang terlalu penuh akan
memberi tanda. Kehadiran kawat nano juga membuat computer makin kecil, makin
hemat energi, namun dengan kemampuan 10 – 100 kali lipat sekarang. Tahun 2013
-2019 teknik pengobatan akan berubah total d berkat teknologi nano dalam wujud
biologi molekuler. Tahun 2030 berbagai penyakit bisa disembuhkan sehingga hidup
manusi diasumsikan kian sejahtera.
Teknologi
nano pula yang telah mempengaruhi empat ilmu pengetahuan dan teknologi yang
disebut Joseph F Coates, John B Mahaffie, dan Andy Hines dalam bukunya 2025 : Scenarios of US and Global Society
Reshaped by Science and Tecnology yang diterbitkan Oakhill Press (1996)
sebagai kunci pendorong perubahan sampai 2025. keempatnya adalah teknologi
informasi, material, genetika dan energi.
Ditengah
gegap gempita perkembangan inilah bangsa Indonesia harus siap berkompetisi. Meski kondisinya terngah terpuruk saat
ini, namun perjalanan sejarah menunjukkan masih ada jalan terang. Kamboja
misalnya, tahun 1200 termasuk negara terkaya. Demikian juga Peru dan Meksiko
yang sangat mencengangkan pada tahun 1500, atau Lebanon yang makmur pada tahun
1960-1n. sebaliknya Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura yang dulu miskin
kini menjadi negara kaya yang mempengaruhi dunia. Mengapa?
Jawabannya pengelolaan
sumber daya manusia. Kamboja, Peru, Meksiko, dan Lebanon mengabaikan sumber
daya manusia, sedangkan Jepang, Amerika dan Singapura terus mengembangkannya.
Upaya
peningkatan kualitas sumber daya manusia pula yang kini ditempuh Taiwan,
Irlandia dan China. Begitu Taiwan berupaya menghapus buta sains dan membebaskan
ujian masuk universitas, massa kritikal yang berpendidikan berkembang pesat.
Irlandia dalam waktu kurang dari satu generasi berhasil menjadi negara kaya di
Eropa. Caranya dengan menggratiskan
sekolah menengah awal 1960-an sehingga anak-anak kelas bawah bisa
mengakses pendidikan dan kemudian menggratiskan pendidikan tinggi sejak tahun
2996. Kini sembilan dari sepuluh perusahaan farmasi terbesar dunia memiliki
pabrik disana, juga 16 dari 20 industri peralatan medis dan 7 dari 10
perusahaan piranti lunak.
China pada
tahun 1980-an menyeleksi mahasiswa-mahasiswanya yang berbakat fisika. Mereka
dikirim keluar negeri melalui program yang dipelopori oleh Tsung Dao Lee,
peraih nobel Fisika dari China. Dalam waktu hamper 10 tahun sudah 915 mahasiswa
dikirim untuk program doctor, lalu membangun sistem pendidikan dan riset begitu
pulang ke negaranya. Disamping fisikan negara ini juga mengirim ribuan
mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu ke berbagai negara.
Fenomena di Indonesia
Dengan standar
pengajaran yang masih buruk karena kurangnya pelatihan, rendahnya gaji guru,
dan terutama rendahnya pemahaman untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, Indonesia sebenarnya pantas bersyukur karena msih saja ditemukan
manusia unggulan. Tim olimpiade fisika Indonesia misalnya, dalam kurun waktu 12
tahun telah mengirim 70 siswa yangberasal dari berbagai daerah. Dari jumlah itu
sudah diperoleh 22 medali emas, 11 perak dan 34 perunggu.
Para pemenang olimpiade
ini sekarang tersebar diberbagai perguruan tinggi terbaik dunia dan menunjukkan
prestasi luar biasa. Ada yang PhD pada usia 23 tahun, lulus S1 pada usia 16
tahun, dan menjadi professor usia 25 tahun. Semua itu menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yng tinggi.
Sayang sekali potensi
yang baik ini belum dieksplorasi dengan baik. Padahal, bila jumlah penduduk
Indonesia diasumsikan 250 juta, akan ada 12,5 juta (5% dari populasi) yang
memiliki IQ superior diatas 120. mereka
ini berpotensi menjadi manajer atau professor. Selain itu seharusnya masih ada
250.000 (0,1%) yang ber-IQ diatas 150 sehingga berpotensi menjadi pemimpin
besar sekaliber Abraham Lincohn dan Thomas Jefferson, serta 25.000 (0,01 %)
yang ber-IQ diatas 160 sekelas Albert Einstein.
Masalahnya, bagaimana mencari dan
mengasah mereka?
Yang pertama, perlu
sistem seleksi yang ketat namun transparan dan terorganisasi baik sehingga
anak-anak yang berbakat dapat diidentifikasi sedini mungkin. Pencarian anak
berbakat juga bisa dilakukan dengan memperbanyak kegiatan lomba sain dan
matematika. Mereka yang menang ditampung di pusat-pusat pelatihan khusus
sehingga kemampuannya makin terasah.
Kedua, menyiapkan
sekolah unggulan dengan guru-guru yang kompeten dan kurikulum yang
mengoptimalkan kemampuan anak. Semua ini untuk mengarahkan mereka menjadi pemimpin di berbagi bidang.
Ketiga, mengirim siswa-siswa unggul keluar negeri. Indonesia bisa mencontoh
Kazakhtan yang tiap tahun mengirim 3000 siswanya keluar negeri. Merekalah yang
10-20 tahun lagi diharapkan membangun negaranya setelah pulang.
Keempat , memperbaiki
kesejahteraan guru dan memberi kesempatan belajar seluas-luasnya sehingga bisa
mendoromg anak-anak pintar memilih profesi guru. Di Taiwan misalnya, menjadi
guru sangat diminati karena gaji guru yang bekerja hingga pukul 15.00 sama
dengan insinyur yang bekerja hingga pukul 21.00.
Kelima menterjemahkan berbagai
buku ilmiah popular, menyebarkan hingga ke pelosok, dan menjualnya dengan harga
sangat murah. Karena hnya dengan buku yang baik para siswa dapat mengoptimalkan
kemampuannya.
5. Dampak Penyalahgunaan Ipteks
Bagi Kehidupan
Konsekwensi negative yang tidak diharapkan dari
pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan reaksi romantis yang
mengajak kembali kea lam yang berbeda. Sebuah restorasi atas kemurnian alam yang tidak terkontaminasi dan
teralienasi oleh intervensi manusia. Semua sikap terhadap ala mini mewakili
pola dominasi hirarkis dan penaklukan, dominasi melalui pemilikan dan control,
ataupun melalui pencemaran nama baik, eksploitasi serta identitas dengan
memelihara alam sebagai surga untuk banyak orang.[19]
Kemajuan teknologi serta
dampaknya pada pembangunan dan ekspansi ekonomi telah mengubah kehidupan dan
pikiran manusia, pergerakan sosial telah menggeser tata hierarkhi organis,
rahim bumi, dan sumber daya yang dimiliki bersama menjadi dasar untuk ekonomi
pasar yang intensif.
Reduksionisme
Ilmu pengetahuan yang modern
memiliki dasar pijakan pada reduksionisme.[20] Reduksionisme merupakan suatu keyakinan
dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi kemampuan manusia yang menolak
kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang
lain. Paham ini dasar
ontologinya adalah homogenitas, bertentangan dengan paham pluralitas atau
dialektika.
Ilmu pengetahuan modern
yang dimitoskan sebagai universal, bebas nilai, dan obyektif pada dasarnya
sangat berakar pada budaya barat dan sangat patriarkhis. Yang menjadi persoalan
adalah bahwa pengetahuan dibangun berdasarkan kesenjangan natara yang tahu
(spesialis) dengan yang awam(bukan spesialis). Reduksionis menghendaki adanya
keseragaman dalam hal pendekatan, yaitu hanya ada satu cara dan tidak
mentolerir yang lain. Reduksionis
mencabut kemampuan alam dan potensi manusia serta menggantinya dengan
teknologi.
Rekayasa Teknologi
Penerapan IPTEK dalam rekayasa
pertanian berupa revolusi hijau, rekayasa kelautan berupa revolusi biru,
industrialisasi, merupakan bukti kemampuan manusia dalam mengembangkan daya
dukung lingkungan alam. Tetapi disisi lain hal ini juga menimbulkan dampak
negative berupa kerusakan ekosistem, ketidakseimbangan lingkungan bahkan
pencemaran yang akhirnya menjadi bencana bagi umat manusia.
Disamping itu imbas dibidang sosial berupa semakin
melebarnya kesenjangan sosial. Orang kaya yang menguasai IPTEK akan semakin
kaya dan si miskin yang tidak mampu menguasai IPTEK akan semakin terpuruk dan
menjadi korban penindasan kelompok yang kaya. Ini terjadi bukan hanya dalam
konteks suatu Negara, tapi di percaturan dunia, Negara yang tidak menguasai
IPTEK akan terus dieksploitasi oleh Negara-negara maju, diambil SDA-nya, juga
tenaga kerjanya yang murah, selanjutnya dijadikan pasar hasil industri oleh
mereka.
Relasi
antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi
adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif
terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal
balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan
dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia
dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena
kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap
episode sejarah manusia.
Dilema determinisme.
Bagi para
praktisi teknologi, fungsi teknologi tidak perlu dipertanyakan lagi. Teknologi
diciptakan untuk membantu mengatasi keterbatasan fisik manusia. Dia berperan
sebagai media untuk mencapai kepuasaan material. Teknologi dibentuk oleh
parameter efisiensi dan efektivitas sedemikian rupa untuk mencapai suatu tujuan
tertentu. Pemahaman demikian berangkat dari asumsi bahwa teknologi modern
muncul dari rasionalitas dan kemampuan logika manusia dalam mengadopsi
prinsip-prinsip pengetahuan ilmiah sains ke dalam artifak teknologis.
Pandangan
instrumentalis di atas mungkin bisa diterima dalam tingkat pragmatis, tapi
tidak dalam tingkat filosofis karena pandangan ini tidak cukup untuk
menjelaskan makna dan implikasi teknologi bagi manusia. Lebih penting lagi,
pandangan instrumentalis memiliki kecenderungan untuk mendewakan teknologi dan
meletakkannya sebagai faktor penentu dalam perubahan sosial dan simbol kemajuan
peradaban manusia. Sikap ini melahirkan pandangan determinisme teknologi yang
bersifat ideologis. Determinisme teknologi dalam pandangan instrumentalis ini
mesti dicermati karena dia menafikan aspek moral dan etika dalam relasi antara
manusia dan teknologi.
Determinisme
teknologi itu sendiri bukan hal yang baru. Dalam catatan Merritt Roe Smith,
paham determinisme teknologi telah muncul sejak awal revolusi industri. Gagasan
ini memikat para pemikir era Pencerahan dan semakin tumbuh subur di budaya
masyarakat Amerika Utara di mana semangat kemajuan melekat dengan kuat.
Determinisme teknologi berangkat dari satu asumsi bahwa teknologi adalah kekuatan
kunci dalam mengatur masyarakat. Dalam paham ini struktur sosial dianggap
sebagai kondisi yang terbentuk oleh materialitas teknologi. Paham ini begitu
dominan dalam masyarakat kontemporer, termasuk dalam lingkungan akademik.
Selama tiga
dekade terakhir, para sarjana studi sosial teknologi telah memberi respons
kritis terhadap paham determinisme teknologi. Dalam analisis Andrew Feenberg,
setidaknya dua premis dalam determinisme teknologi yang bermasalah. Pertama
adalah asumsi bahwa teknologi berkembang secara unilinear dari konfigurasi
sederhana ke yang lebih kompleks. Kedua adalah asumsi bahwa masyarakat harus
tunduk kepada perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia teknologi. Kedua
premis tersebut sulit diterima karena pola-pola teknologi itu sendiri banyak
dipengaruhi oleh kondisi sosial, kultural, dan politik di mana teknologi itu
berada.
Kritik
terhadap determinisme teknologi merupakan respons terhadap implikasi politis
ideologis yang dihasilkan oleh paham ini. Ini terjadi karena determinisme
teknologi cenderung memaksakan suatu bentuk universalitas struktur
institusional teknologi ke dalam masyarakat. Universalisasi institutional ini
menjadi media hegemoni modernitas. Seperti yang diwaspadai oleh Rosalind
Williams, determinisme teknologi memungkinkan motivasi politis, ekonomi, dan
ideologis para pemilik modal masuk ke dalam sistem teknologi dan mengurangi
otoritas masyarakat dalam memilih arah teknologi. Bagi David Noble,
determinisme teknologi tidak hanya memberi penjelasan yang tidak akurat tentang
relasi antara manusia dan teknologi, tetapi juga terlalu menyederhanakan dan
bahkan mematikan makna dalam kehidupan manusia. Menurut Noble, pada satu sisi determinisme
teknologi menawarkan janji-janji modernitas, tetapi di sisi lain memaksakan
suatu bentuk fatalisme.
Fenomenologi teknologi
Bagaimanakah
relasi antara manusia dan teknologi terjadi? Fenomenologi adalah kendaraan
untuk mencari jawabannya. Studi fenomenologi teknologi mengeksplorasi
pengalaman manusia dan secara spesifik menjelaskan bagaimana struktur
pengalaman yang bersifat multidimensi tersebut tersusun. Setidaknya itu yang
dilakukan Don Ihde untuk memahami relasi antara manusia dan teknologi secara
komprehensif.
Berangkat dari
eksistensialisme Heideggerian, Ihde mengembangkan "ontologi relativistis"
untuk memahami keberadaan manusia dalam wilayah teknologi. Ontologi
relativistis bukan relativisme, melainkan lebih sebagai media untuk
menganalisis relasionalitas antara manusia yang mengalami (human experiencer)
dan wilayah yang dialami (the field of experience). Analisis relasionalitas ini
dilakukan melalui dua kategori persepsi, yakni persepsi mikro yang bersifat
indrawi dan persepsi makro yang bersifat kultural atau hermeneutik. Bagi Ihde,
kedua jenis persepsi ini saling terikat satu sama lain. Persepsi mikro tidak
pernah lepas dari konteks persepsi makro. Sebaliknya, persepsi makro tidak akan
pernah ada tanpa dorongan persepsi mikro.
Melalui
fenomenologi persepsi ini, Ihde menawarkan konsep multistabilitas untuk
menggali lebih dalam ke wilayah kompleksitas budaya teknologi. Konsep
multistabilitas menekankan bahwa relasi antara manusia dan teknologi tidak
tunggal. Relasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk walaupun dengan artefak
teknologi yang sama. Multistabilitas meletakkan teknologi tidak dalam satu
posisi hermeneutik, tapi dalam berbagai titik relasi dengan manusia. Karena
itu, teknologi bersifat multi-interpretatif tergantung pada konteks kultural di
mana dia berada. Dengan kata lain, makna sebuah artefak teknologi akan selalu
berubah sesuai dengan masyarakat yang memaknainya.
Bentukan sosial teknologi
Prinsip-prinsip
dalam fenomenologi teknologi tidak menjadi barang eksklusif dalam studi
filsafat. Jika kita menilik secara saksama, fenomenologi menjadi dasar
metodologi studi sosial teknologi, khususnya sosiologi teknologi dalam memahami
relasi antara teknologi dan masyarakat. Bagi para sosiolog teknologi, teknologi
merupakan cermin dari proses imbal-balik yang kompleks yang terjadi di
masyarakat. Dalam perspektif ini, berhasil atau gagalnya teknologi bukanlah hal
yang penting karena pada dasarnya teknologi adalah hasil sebuah kompromi.
Proses-proses sosial yang membentuk teknologi adalah refleksi dari cara kita
hidup dan mengatur masyarakat.
Kekuasaan dalam konfigurasi
Relasi kekuasaan
dan teknologi adalah sebuah tema besar dalam studi sosial teknologi. Setidaknya
tiga kasus menarik bisa kita amati dalam domain ini untuk melihat bagaimana
kekuasaan dan teknologi saling bereproduksi satu sama lain.
Kasus pertama adalah analisis Langdon Winner
tentang jembatan di Long Island,
New York, yang ditulis dalam
artikelnya Do Artifacts Have Politics? Di sepanjang jalan bebas hambatan di Long Island terdapat sekitar puluhan jembatan
penyeberangan. Selintas tidak ada hal yang istimewa dari jembatan-jembatan
tersebut. Tetapi, jika diamati dengan saksama, proporsi jembatan tersebut
tidaklah "normal". Tinggi jembatan tersebut hanya sekitar 2,7 meter
sehingga hanya mobil sedan yang dapat lewat di bawahnya.
Menurut Winner, keganjilan desain tersebut
bukanlah karena alasan-alasan teknis, misalnya efisiensi material atau
efektivitas sistem konstruksi. Jembatan-jembatan tersebut di desain dan dibangun dengan konfigurasi
demikian untuk menghasilkan suatu dampak sosial tertentu. Ini dilakukan dengan
sengaja oleh pendesainnya, yakni Robert Moses, seorang tokoh sentral dalam
pembangunan kota New York di awal abad ke-20.
Dari
investigasinya, Winner menemukan suatu agenda rasialis dan diskriminatif di
balik desain jembatan Long Island. Jembatan-jembatan tersebut dibangun sesuai
dengan spesifikasi yang diberikan oleh Moses untuk menghalangi masuknya bis ke
wilayah tersebut. Hal ini untuk membatasi akses kaum kelas bawah kulit hitam
dan hispanik yang biasanya menggunakan bis umum menuju ke Jones Beach, sebuah
pantai cantik berpasir putih di sebelah timur Long Island.
Secara
materialistis, jembatan Long Island, adalah artefak yang terdiri dari elemen-elemen
yang netral. Namun, ketika elemen-elemen ini membentuk suatu konfigurasi,
dengan serta-merta netralitas tersebut sirna. Dengan konfigurasi tertentu,
artefak teknologi berubah menjadi media hegemoni, dominasi, dan kontrol untuk
memenuhi kepentingan sang pencipta konfigurasi tersebut. Dari perspektif ini
kita bisa melihat tiga artefak di atas sebagai refleksi dari relasi manusia dan
teknologi melalui kekuasaan yang meliputi tiga tujuan. Pada kasus jembatan Long
Island, teknologi berfungsi sebagai media praktik kekuasaan. Pada kasus mesin kontrol numerik,
teknologi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan. Adapun pada kasus penjara
Panopticon, teknologi berfungsi untuk memproduksi kekuasaan.
Budaya dan teknologi
Kekuasaan tidak
lahir dari kondisi vakum. Dia muncul dari suatu konsteks budaya tertentu
sehingga kekuasaan selalu bersifat kontekstual dan lokal. Karena itu, seperti
yang dikatakan Bryan Pfaffenberger, penjelasan praktik kekuasaan dalam
teknologi tidak akan pernah memuaskan jika kesadaran tentang sistem budaya
diabaikan. Pfaffenberger berargumen bahwa fungsi politis dari suatu teknologi
baru dapat tercapai jika teknologi tersebut dibungkus dalam mitos dan ritual
dan menjadi alat kontrol produksi dan resepsi makna.
Argumen
Pfaffenberger didukung oleh David Hess melalui konsep relasi kekuasaan dan
budaya. Hess menggunakan konsep ini untuk memahami kompleksitas operasi kekuasaan
di masyarakat. Menurut Hess, tanpa adanya perspektif budaya, analisis kekuasaan
akan menjadi tumpul dan hanya hanya terfokus pada sejumlah kategori sosial yang
terbatas. Hasilnya adalah pengamatan dimensi kekuasaan yang sempit.
Mendekati
kekuasaan melalui budaya dalam teknologi mengantarkan kita ke konsep konstruksi
budaya. Konstruksi
budaya tersusun melalui proses interpretasi-reinterpretasi dan
produksi-reproduksi simbol, identitas, dan makna di dalam masyarakat. Aliran
dari keluaran proses ini lalu ditransformasikan ke dalam artefak teknologi.
Dalam
kerangka konstruksi budaya ini, pengembangan teknologi menyerupai apa yang
disebut Claude Levi-Strauss sebagai bricolage. Bricolage adalah aktivitas
penggabungan elemen-elemen yang ada untuk memenuhi suatu tuntutan lingkungan.
Menurut Hess, teknologi modern tidak berbeda jauh dengan prinsip bricolage di
mana interpretasi budaya membentuk versi teknologi di masyarakat. Dalam pola
ini, seorang praktisi teknologi adalah seorang bricoleur. Dia menghasilkan suatu
teknologi baru melalui rekonstruksi elemen-elemen yang sudah ada untuk dibentuk
menjadi suatu teknologi "baru" dalam konteks budaya di mana dia
berada. Dalam kata lain,
orisinalitas teknologi ditentukan oleh konsep makna yang digunakan.
Pada tingkat praksis,
konsep konstruksi budaya dalam teknologi tidak hanya untuk memahami lebih
mendalam bagaimana teknologi berinteraksi dengan makna, ritual, dan nilai. Oleh
Linda Layne, konstruksi budaya dapat dijadikan "tool" untuk membuat
teknologi lebih manusiawi dan dapat diterima dengan baik di masyarakat. Di sini
Layne menawarkan apa yang dia sebut sebagai "cultural fix" di mana
nilai-nilai budaya di adopsi ke dalam konfigurasi teknologi. Hal ini dapat
dilakukan melalui pemahaman makna dalam masyarakat untuk mengidentifikasi
kesenjangan antara teknologi dan masyarakat dan mencari solusinya.
Kompleksitas
teknologi modern telah melampaui batas dimensi indrawi manusia dalam mencerna.
Kondisi ini membentuk sikap "taken for granted" dalam masyarakat
kontemporer terhadap teknologi, suatu sikap yang menerima teknologi dengan mata
tertutup. Tragisnya, sikap ini secara perlahan menggali jurang dalam yang dapat
menjebloskan manusia ke dalam bencana kemanusiaan.
Namun demikian,
kita tidak perlu menjadi paranoid dan bersikap antiteknologi. Alasan untuk
menolak sikap ini jelas karena manusia tidak akan pernah lepas dari teknologi.
Yang dibutuhkan adalah suatu tingkat pemahaman teknologi yang lebih mendalam.
Pada tingkat ini, teknologi tidak lagi dilihat pada aspek materialitasnya yang
sering bersifat ilusif melainkan sebagai suatu bentuk upaya penyingkapan daya
yang tersembunyi di alam seperti yang dilontarkan Martin Heidegger.
Penyingkapan ini bagai pedang bermata dua. Dia mengantarkan manusia kepada
bentuk "kebenaran" tentang potensi-potensi yang tersembunyi di alam.
Di sisi lain dia memancing nafsu dan keserakahan manusia untuk terus melakukan
dominasi dan kontrol terhadap alam[21].
[1] Zen MT.,
Sains, Teknologi, dan hari depan manusia, PT Gramedia, Jakarta, 1982
[2] Soelaeman M Moenandar, IR,
MS, Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung, PT Eresco) 1995
[3] Ibid, hal 159
[4] Bachtiar Rifai, Tb.H., “Ketahanan nasional dan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi”, Berita LIPI No. 4, 1975
[5] Sulfikar Amir, Membuka Kotak Hitam Teknologi, amirs3@rpi.edu
[6] MacKenzie, D, Inventing Accuracy : A Historical Sociology of
Nuclear Missile Guidance, Cambridge,
1987
[7] Ellul Jacques, The Tecnological Society, Terj John Wilkinson, New York, 1964
[8] Sastrapratedja, Teknologi dan
Akibatnya Pada Manusia, Ceramah di UI Jakarta 24 september 1980
[9] Freeman, C. the Economics of Industrial Innovation, 2nd
edn, London,
1982
[10] Clark, J.A, dalam Ensiklopedia Ilmu-ilmu
Sosial, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
[11] Alvin Toffler, Future Shock, Bantam Books.,New York,
1971
[12] ibid
[13] Schumacher, Kecil itu Indah, terj LP3Es, Jakarta, 1979, hal 139
[14] Ibid
[15] Giddens, A (1999), Globalization : The Reith Lectures, London : BBC News Online.
Versi Elektronik (April 2003)
[16] Haraway, D, (19970, Modest_Witness@Second_Millenium.FemaleMan©_Meets_OncoMouse™:
Feminism & Technoscience, London:
Roedledge.
[17] Fukuyama, F, Our Posthuman Future :
Consequences of thr Biotechnology Revolution, London : Profil Book, 2002.
[18] Giddens, A. (1999), Globalization: The Reith Lectures, London : BBC News Online.
Versi Elektronik (April 2003( bisa diakses di
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm
[19] Margaret Farley, “Feminist Theology and Bioethics” dalam Loades,
Ann, Feminist Theology : A Reader (London : SPCK&W/JKP,1990) hal 246.
[20] Vandana Shiva, Bebas Dari Pembangunan (Jakarta : YOI &
KONPHALINDO, 1997), hal 6