Blogger Widgets Manusia, keragaman dan kesetaraan | RINI .alert { background: #DDE4FF; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

My Facebook

Facebook
Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 05 Maret 2014

Manusia, keragaman dan kesetaraan



MATERIISBD
 BAB  V
Manusia, keragaman dan kesetaraan

1. Pengertian Keragaman dan Kesetaran.
Keragaman dapat diartikan dengan suatu hal yang “banyak macamnya”, “beda” antara satu dan yang lainnya dan sifatnya tidak tunggal. Sedang kesetaraan dapat diartikan sebagai “sama”, “tidak berbeda” atau “sederajat”. Beberapa istilah yang dianggap sesuai dengan keragaman salah satunya ialah pluralitas (plurality) yaitu suatu konsep yang mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu”[1]. Sisi lain pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan) dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.
Pluralitas juga tidak dapat disematkan kepada kesatuan yang tidak mempunyai parsial-parsial, atau yang bagian-bagiannya dipaksa untuk tidak menciptakan “keutamaan”, “keunikan” dan “kekhasan” tersendiri. Anggota suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam rangka kesatuan keluarga dan sebagai antitesis darinya. Pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa adalah bentuk pluralitas jenis manusia[2]. Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan adanya kemajemukan, keunikan dan kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga sebaliknya.

Pluralitas, sebagaimana halnya seluruh fenomena pemikiran, memiliki sifat pertengahan (moderat atau adil), keseimbangan, juga mempunyai sisi yang ekstrem, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan (adil) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara kemajemukan, perbedaan dan pluralitas dan faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu disintegrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh sikap ekstrem memusuhi yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor pemersatu atau pengikat. Juga oleh sikap penyeragaman (yang dianggap mengingkari adanya kekhasan dan perbedaan), yaitu sikap ekstrem represif dan otoriter yang menafikkan perbedaan masing-masing pihak dan keunikannya[3].
Pluralitas juga bisa dianggap sebagai motivator dalam menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi, dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masing-masing pihak yang berbeda dalam peradaban. Dan jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan perselisihan, maka tidak akan ada motivasi untuk berkompetisi, berlomba dan saling dorong diantara individu manusia dan peradaban, hal ini tentunya akan berakibat pada hidup yang stagnan dan tawar, serta mati tanpa dinamika. Juga manusia tidak akan dapat mewujudkan tujuan-tujuan hidup, yaitu agar manusia membangun bumi dan mengembangkan wujud peradabannya.
Sayyid Quthb[4] mengatakan bahwa adalah tabiat manusia untuk berbeda. Karena perbedaan ini adalah salah satu pokok dari pokok-pokok diciptakannya manusia, yang menghasilkan hikmah yang tinggi. Seperti penugasan makhluk manusia ini sebagai pemimpin di muka bumi, serta perbedaan mereka dalam persiapan dan potensi-potensi serta tugas yang diemban. Sehingga, pada gilirannya akan membawa kepada perbedaan dalam kerangka berfikir, kecenderungan metodologi yang dipegang, dan tekhnik-tekhnik yang ditempuh. Sementara, dengan perbedaan dan persaingan, manusia akan menggali potensi mereka yang terpendam, serta akan selalu terjaga dan berusaha mengeksplorasi kekayaan bumi ini, dengan menggunakan kekuatannya serta rahasia-rahasianya yang terpendam, yang pada akhirnya akan membawa kepada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan.
Namun, tindakan saling dorong dan saling membela, yang menjadi motivator dan diperkuat oleh kemajemukan dan perbedaan itu, diharapkan senantiasa memiliki sifat membawa manfaat, berada dalam kerangka kesatuan nilai yang konstan, serta pokok-pokok yang menyatukan diantara pihak-pihak yang berselisih dan saling membela diri tersebut. Karena harus ada timbangan yang konstan pula, yang dianggap dapat memuaskan seluruh pihak yang berselisih dan kata akhir rujukan dalam berdebat, serta ada tujuan yang sama dari manusia.
Istilah lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda, yakni keragaman (diversity) yang menunjukkan bahwa keberadaaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai satu bentuk pemaksaan dari negara[5].
Furnivall adalah yang pertama kali mengintroduksi konsep masyarakat majemuk pada waktu dia membahas kebijakan dan praktek-praktek pemerintahan  jajahan di Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat majemuk ditandai oleh penduduknya yang secara suku bangsa dan rasial saling berbeda yang hidup dalam satuan-satuan kelompok masing-masing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi penjajahan untuk menguasai sumberdaya setempat yang ada. Produk dari politik ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah masyarakat jajahan untuk diatur dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah. Disamping golongan penjajah dan pribumi terdapat  golongan pedagang perantara yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial tidak tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab) yang masing-masing hidup dalam kelompok-kelompok dan pemukimannya sendiri menurut kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masing-masing berbeda satu dari lainnya[6].
Konsep Multikulturalisme juga dapat dianggap sesuai dengan masalah-masalah “perbedaan”, bahkan konsep ini juga mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari kemajemukan. Apabila pluralitas sekedar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama didalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau orang-perorang dan perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan mereka yang berbeda satu dengan lainnya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas[7].
Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream)  di dalam kehidupan mesyarakat bangsa tersebut. Kebudayaan bangsa ini merupakan sebuah mozaik, dan yang didalam  mozaik tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang  merupakan ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakt bangsa tersebut. Model multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Disamping itu juga melalui proses asimilasi atau pembauran dimana jatidiri dari kelompok-kelompok atau sukubangsa-sukubangsa minoritas harus mengganti jatidiri warganya menjadi sama dengan jatidiri dari kelompok atau suku bangsa yang dominan, dan mengadopsi cara-cara hidup atau kebudayaan dominan tersebut menjadi cara-cara hidup dan kebudayaannya yang baru. Dan bila mereka yang tergolong sebagai minoritas tidak melakukannya akan diasingkan dari masyarakat luas, bahkan kalau perlu dimusnahkan[8].
Dalam model multikulturalisme, penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena  adanya batas-batas suku bangsa yang primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, menurut Nathan Glazer[9], setiap orang adalah multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain.
Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.

2. Makna Keragaman dan Kesetaraan dalam Kehidupan Sosial dan Budaya
Makna keragaman seperti yang telah sedikit dibahas pada sub bab pengertian keragaman dan kesetaraan diatas, adalah sebagai motivator untuk menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masing anggota masyarakat (yang beda budaya). Dengan keragaman, kehidupan menjadi dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen budaya untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Selain itu keragaman yang terdapat di masyarakat dapat mewujudkan terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar budaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar budaya secara kognitif, afektif, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus berkembang melewati parameter psikologis suatu budaya, memiliki kepekaan budaya yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya.
Manusia antar budaya adalah orang yang identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan dan komitmennya bertaut dengan pandangan bahwa dunia merupakan komunitas global, ia merupakan orang yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental semua manusia yang pada saat yang sama mengakui, menerima, dan menghargai perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya.

3. Problematika Keragaman dan Solusinya dalam Kehidupan Masyarakat
dan Negara.
Struktur dunia internasional yang majemuk ditandai oleh adanya keragaman suku bangsa, agama dan budaya (bahkan peradaban). Namun, keragaman tersebut mengandung potensi-potensi masalah bahkan konflik, baik pada tingkat regional maupun tingkat internasional, jika masyarakat tidak mau atau tidak bisa menerima adanya keragaman.
Adalah Samuel P. Hutington yang “ meramalkan “ konflik antar peradaban dimasa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor–faktor keragaman ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah–masalah keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar-golongan ( SARA ). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya negara–negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peistiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu yang terjadi perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Michael Joseph Bros Tito. Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadhership yang mengikatnya lengser[10].
Huntington melihat keragaman dan kekhasan peradaban terjadi karena keragaman dan kekhasan budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk budaya, tidak ada peradaban universal, namun yang terjadi adalah dunia dari peradaban-peradaban yang berbeda. Dia melihat ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia saat ini yaitu Peradaban Barat, Peradaban Cina Konfusius, Peradaban Jepang, Peradaban Islam, Peradaban India, Peradaban Ortodox Slavik, Peradaban Amerika Latin dan barangkali Peradaban Afrika[11]. Peradaban-peradaban tersebut masing-masing berbeda satu sama lainnya karena faktor bahasa, sejarah, budaya dan tradisi. Dan yang paling penting diantaranya adalah agama. Anggota-anggota peradaban yang berbeda-beda itu mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda-beda pula atas pandangan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan lingkungannya seperti keluarga, masyarakat, negara bahkan alam sekitarnya. Juga terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak dan tangung jawab-kewajiban, kebebasan, kekuasaan dan persamaan.
Huntington memfokuskan pandangannya pada “faktor-faktor benturan” antara peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja, namun juga pada masa yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa “benturan” adalah suatu keniscayaan dalam hubungan antar-beragam peradaban. Terutama antara peradaban Barat dan peradaban Islam (pada awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban Cina. Huntington tidak berkata tentang “determinisme filosofi” benturan-benturan peradaban tersebut. Sebaliknya, Huntington berkata tentang “determinisme realitas” benturan tersebut. Bahkan, benturan antara dua peradaban yaitu peradaban Barat dan peradaban Islam terjadi sepanjang 1300 tahun, dan kedua belah pihak melihat hubungan antara Barat dan Islam sebagai benturan peradaban[12].
Karena benturan ini merupakan suatu “keniscayaan realitas” dan “determinisme realitas” dalam pandangan strategis Huntington, maka dia merancang bagi barat, strategi kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin) dalam benturan ini. Huntington menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa depan tersebut menjadi 2 (dua) fase, yakni fase jangka pendek dan fase jangka panjang[13].
Pertama, fase jangka pendek. Pada fase ini Huntington merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia peradabannya, dan mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga ekonomi, politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina.
Yang dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah sebagai berikut :
1.        Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara mereka, serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Baratnya dan seluruh Eropa bersama Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam.
2.        Kerjasama, memperkecil danmenekan perseteruan dalam seluruh lingkup peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan dalam masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat non-Barat, sehingga perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk melawan Islam dan Cina.
3.        Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat di Timur dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam (kaum Muslimin).
4.        Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berperan memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan mengikutsertakan negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam lembaga-lembaga ini.
Kedua, adalah fase jangka panjang. Fase ini oleh Huntington dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas peradaban-peradaban non-Barat. Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah peradaban Barat dan modern sekaligus. Peradaban-peradaban non-Barat telah berusaha menjadi modern tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya). Peradaban-peradaban non-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan, tekhnologi, keahlian, permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam jarak yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu, Barat harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu.
Huntington mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat sebagai peradaban yang memonopoli “singgasana peradaban” dunia, dan melihat perseteruan antar peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan untuk menghapus keragaman peradaban ini. Setelah barat menyatukan kesatuannya, mempersiapkan seluruh kemampuannya, serta menekan peradaban-peradaban non-Barat, maka ia harus menjalankan strategi fase jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi perseteruan ini yaitu mematahkan kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina sambil mengikat seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional yang memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat selanjutnya adalah menguasai peradaban-peradaban non-Barat lainnya, yaitu peradaban yang telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer maupun ekonomi. Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan, modernisme dan hegemoni atas dunia.
Di Indonesia sendiri permasalahan mengenai keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antargolongan, mengarah kepada kondisi konflik sejak era Reformasi. Parsudi Suparlan[14] melihat konflik-konflik yang terjadi di Indonesia merupakan konflik suku bangsa yang kemudian bisa bergeser pada koflik-konflik bernuansa agama. Lebih lanjut Suparlan mengatakan, corak kesukubangsaan individual yang merupakan milik perorangan berubah menjadi kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-masing anggota suku bangsa yang mengalami konflik bukan lagi orang perorangan dan bukan pula kelompok, melainkan kategori suku bangsa. Suku bangsa itu menjadi musuh sesuai dengan ciri-ciri atau atribut- atribut yang menjadi acuan dari kesukubangsaannya. Apapun dan siapapun yang mempunyai atau ditempeli atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar suku bangsa akan dihancurkan. Karena itu penghancuran terhadap kategori berdasarkan ciri-ciri kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin, posisi sosial atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai uang dari barang dan harta benda yang di hancurkan.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai sebuah masyarakat multiethnis atau bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya. Pada masa kini yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis, melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika. Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu atau komuniti, sehingga jati diri suku bangsa atau rasial dari individu menjadi tidak relevan. Seseorang atau kelompok orang kulit putih yang tergolong keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau yang lainnya.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jati diri rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai kebijakan yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui ide keanekargaman kebudayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman kebudayaan ini yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan kesukubangsaan perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu sangat merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan Indonesia. Menggeser idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam kebudayaan sebagai sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional maupun lokal, dan akan memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta muncul dan mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat multikultural tersebut demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya demokrasi dapat mengembangkan masyarakat yang multi kultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling menghargai perbedaan konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.
Permasalahan konflik-konflik bernuansa keragaman suku bangsa, agama, ras dan antar-golongan yang terjadi, baik konflik dalam skala regional maupun konflik berskala internasional, lebih terletak pada pemahaman akan “budaya lain” diluar “budaya sendiri”. Disini pamahaman ragam budaya yang ada yang diikuti dengan komunikasi antar budaya menjadi unsur yang sangat signifikan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan.
Adapun yang harus diperhatikan dari komunikasi antar budaya ini yaitu komunikasi antar budaya terjadi, bila pemberi pesan dan penerima pesan berasal dari komunitas budaya yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang keragaman budaya yang harus disikapi dengan unsur persatuan dan kesatuan.  Komunikasi antar budaya ini perlu dikembangkan sebagai upaya untuk[15] :
1.        Mencapai pertukaran dialektis antar budaya.
2.        Mengembangkan kesederajatan dan menghapus diskriminasi.
3.        Memupuk rasa solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam kehidupan bersama.
4.        Mendorong terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu mengatasi perbedaan budaya.
Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara lain[16] :
1.        Komunikasi antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan prasangka rasial.
2.        Komunikasi antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan membudayakan pertukaran informasi kebudayaan antar suku bangsa.
3.        Komunikasi antar agama mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku keagamaan dan sosial yang akomodatif.
4.        Komunikasi antar kelas mempunyai tujuan untuk menghindari ketidakseimbangan dan diskriminasi.
5.        Komunikasi antar gender yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan hak dan kewajiban dalam kehidupan bermasyarakat antara kaum laki-laki dan perempuan
Disini dapat dilihat bahwa komunikasi antar budaya mensosialisasikan ide pluralitas dan keberagaman dengan bahasa budaya.

4. Kesetaraan.
Kesetaraan warga dan hak budaya komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam unsur demokrasi, yang menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan toleransi terhadap perbedaan dan keanakaragaman. Pada hakikatnya masyarakat majemuk yang secara suku bangsa beranekaragam mempunyai potensi sebuah masyarakat otoriter-militiristis dengan corak paternalistis dan etnosentris yang primordial. Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk memecah belah bangsa disebabkan oleh hakikat keberadaan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk itu dihasilkan oleh upaya sistem nasional untuk mempersatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan kelompok-kelompok suku bangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk itu, masyarakat majemuk yang menekankan pada keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini, kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan yang lokal. Secara hipotesis, dalam wadah masyarakat “Bhinneka Tunggal Ika” Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat diwujudkan.
Pemahaman tentang hubungan keragaman dengan kesetaraan di dalam masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang penting.  Pemahaman tentang hubungan antara keragaman dan kesetaraan itu harus seiring dan sejalan dengan praktek-praktek hubungan sosial-budaya masayarakat. Untuk itu Suparlan mengatakan :
1.        Perlu kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau menyimpan jati diri suku bangsa atau ras, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan atau masyarakat multikultural
2.        Menempatkan individu dengan keragaman kebudayaannya yang setara derajatnya dalam mewujudkan kehidupan demokrasi
3.        Menjamin hak komuniti sebagai satuan kehidupan berskala kecil yang menempati suatu wilayah
4.        Manusia sebagai individu, hidup dalam komuniti, dibesarkan, dan “dijadikan” manusia sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna.

Gender.
Selanjutnya, dalam usaha memahami kesetaraan juga dapat dilihat dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah suatu frase “suci” yang diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tatanan praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidak-setaraan” yang diterima dan dialami oleh kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, sub-ordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan.
Banyak pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender, karena gender dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu bahwa seks merupakan suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan yang mengalami haid, hamil dan melahirkan yang ini tidak mungkin bisa dilakukan laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki jakun, sperma dan alat vital berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan waktu, bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapun[17].
Sedangkan gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk oleh budaya, tidak bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, hasil konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan. Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan sebagai berikut[18] :
Sifat maskulin
Sifat feminim
1.       Aktif / agresif
2.       Independen
3.       Rasional
4.       Obyektif
5.       Tegas
6.       Keras
7.       Jarang menangis
8.       Tidak mudah tersinggung
9.       Lebih kompetitif
10.   Lebih suka berpetualang
11.   Lebih mendunia
12.   Ambisius
13.   Percaya diri
14.   Pemimpin, pelindung
15.   Dsb
1.      Pasif / nonagresif
2.      Dependen
3.      Emosional
4.      Subyektif
5.      Kurang tegas
6.      Lemah lembut
7.      Sering menangis
8.      Mudah tersinggung
9.      Kurang kompetitif
10.  Tidak suka berpetualang
11.  Berorientasi ke rumah
12.  Kurang ambisius
13.  Kurang percaya diri
14.  Pengasuh, pemelihara
15.  Dsb
Sifat feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak semua laki-laki mampu bersikap tegas. Demikian pula tidak semua perempuan bersikap cengeng, dan seterusnya.
Persoalannya kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan gender[19] yaitu :
1.     Kekerasan terhadap perempuan.
2.     Beban ganda perempuan
3.     Marginalisasi perempuan
4.     Subordinasi perempuan
5.     Stereotype terhadap perempuan
Sedangkan manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat dirumuskan sebagai berikut[20] :
1.    Pada sektor budaya, perempuan terkungkung dengan stereotype yang dilekatkan pada dirinya untuk tidak keluar dari peran domestiknya.
2.    Dalam sektor publik maupun domestik perempuan seringkali menjadi korban tindak kekerasan
3.    Dalam bidang ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus menanggung beban ganda jika ingin berkiprah di ruang publik.
4.    Dalam bidang politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik di struktur pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara. Perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan pemerintah yang memang seringkali menjadi monopoli laki-laki.
Feminisme secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan peran yang setara antara laki-laki dan perempuan yang tidak dipengaruhi oleh bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada kultur ptriarki yang monolitik dan, dengan demikian, secara tidak langsung merupakan komponen dari agenda-agenda multilkultural.
Pada awalnya  feminisme dikritik keras karean ideologi pukul ratanya yang menggeneralisasi bagitu saja persoalan-persoalan perempuan secara semesta tanpa melihat bahwa goegrafi, demografi, tingkat pengetahuan, serta perkembangan tekhnologi dan informasi telah membuat perempuan sendiri tidak monopolitik, dalam perkembangannya, menjadi semakin hirau atau peduli dengan adanya sejumlah kesenjangan antara persoalan perempuan di Barat dan di “Dunia Ketiga”. Ini juga nerupakan isyarat penting bahwa gerakan feminisme semakin menampakkan semangat multikultural[21].
Adapun beberapa aliran feminisme yang ada di dunia saat ini adalah :
Feminisme Liberal[22].
Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan dengan semakin populernya arus pemikiran baru ‘Zaman Pencerahan’. Dasar asumsi yang dipakai adalah doktrin John Lock tentang Natural Right (HAM), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Menurut feminis liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat. Oleh karen aitu feminis liberal kebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga yang patriakhat.
Usaha pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan , tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu declaration of Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth Cady Stanton yang dikeluarkan di Seneca Falls, New York yang dihadiri sekitr 100 orang. Dalam deklarasi tersebut dituliskan sebanyak 15 protes mengenai nasib perempuan , mulai dari masalah lembaga perkawinan yang menempatkan laki-laki sebagai akepala keluarga, masalah hak wanita terhadap kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial seperti partisipasi perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.
Feminisme Sosialis[23].
Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan ideologinya, mereka melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalis barat. Mereka dalam teorinya mempermaslahakan konsep kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasi pria memiliki istri secara pribadi. Menurut mereka, karena istri dimiliki oleh suami, maka ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan. Perempuan hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, kalau sistem ekonomi kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa kelas-kelas.ini harus dimulai dari keluarga, dimana para istri dibebaskan dahulu agar dia dapat menjadi diri sendiri, dan kalau sistem egaliter dalam keluarga dapat tercipta maka ini akan tercermin pula dalam kehidupan masyarakat.praktek feminisme sosialis memang berbaur dengan berbagai jenis aliran feminisme. Tetapi secara teori, bermacam bentuk penyadaran pada kaum perempuan merupakan orientasi praksisnya. Feminisme sosialis adalah gerakan untuk membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur patriarkat.feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi, agar para perempuan bangkit untuk mengubah keadaan.Dengan demikian diharapkan perempuan yang telah bangkit kesadaran dan emosinya, secara berkelompok mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik , diharapkan akan mampu meruntuhkan sistem patriarkat yang ada.
Teologi Feminis[24].
Teologi feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang dikembangkan James Cone pada akhir 1960-an.paham teologi pembebasan tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan untuk melegitimasi penguasa melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan yang dianggap tertindas. Teologi feminis berkembang dalam berbagai agama diantaranya Islam, kristen dan yahudi. Menurut para feminis, agama-agama serring ditafsirkan dengan memakai ideologi patriarkat yang menyudutkan perempuan.para teolog feminis yang berkembang dalam Islam, berusaha mencari konteks dan latar belakang ayat-ayat Al Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan perempuan. Tujuannnya adalah untuk membantahpenafsiran dan fikih yang merugikan perempuan, seperti yang dilakukan Fatima Mernissi, Ali Asghar Engineer, Rifat Hasan, Amina Wadua, dan dari Indonesia Masdar F. Mas’udi.
Feminisme Radikal[25].
Teori feminisme radikal berkembang pesat di AS pada 1960-1970-an. Tidak seperti teori feminis sosialis, dimana maslaah ekonomi dan struktur sosial yang menciptakan sub ordinasi perempuan, feminisme radikal berpendapat bahwa kertidakadilan gender bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itu sendiri.  Perbedaan biologis ini terkait dengan peran kehamilan dan keibuan  yangs elalu diperankan perempuan.  Semua ini termanifestasikan bilamana perempuan menikah dengan laki-laki, maka perbedaan nbiologis ini akan melahirkan peran gender yang erat kaitannya dnegan masalah  biologis.
Manifesto feminis radikal  yang diterbitkan dalam Notes From The Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas para feminis adalah menolak institusi keluarga baik pada tataran teori maupun praktis. Apabila lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi untuk mengurangi beban biologis perempuan seperti kontrasepsi, dan bahkan artificial devices atau alat-alat tiruan, seperti tiruan placenta dan bayi tabung, sehingga perempuan tidakl perlu lagi mnegalami proses kehamilan.
Feminis radikal cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai individu maupun kolektif, mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan mereka, salah satu alternatifnya adalah dengan hubungan heteroseksual (lesbian), hidup melajang, ataupun menjanda.
Ekofeminisme[26].
Ekofeminisme timbul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin bobrok.teori ekofeminisme mempunyai konsep yang bertolakbelakang dengan teori-teori feminisme modern yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Ekofeminisme yang ingin mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam, adalah usaha untuk membebaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin yang membuat perempuan menjadi bimbang akan perannya. Sistem maskulin yang telah mewarnai peradapan modern dianggap merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin yang merupakan fitrah perempuan.

Ringkasan
            Berdirinya negara Indonesia di latarbelakangi oleh masyarakat yang demikian majemuk, baik secara etnis, geografis, kultural, maupun religius. Kita tidak dapat mengingkari sifat pluralistic bangsa kita. Sehingga kita perlu memberi tempat bagi berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan kesatuan-kesatuan nasional di Indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu negara yang multietnik memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menginfestasikan peranan identitas nasional dan solidaritas nasional di antara warganya. Gagasan tentang kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai suatu bangsa telah di rancang saat bangsa kita belum merdeka.
            Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental, sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Di kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama, bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisi perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling melengkapi, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan sehari-hari. Tidak seperti sebaliknya yaitu perbedaan-perbedaan dapat menyebabkan ketegangan hubungan antar-anggota masyarakat.
            Salah satu model keragaman dan kesetaraan dapat dilihat dari konsep Multikulturalisme. Dalam konsep multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream)  di dalam kehidupan mesyarakat bangsa tersebut. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang  merupakan ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Model multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas.
Dalam model multikulturalisme, penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena  adanya batas-batas suku bangsa yang primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain.
Multikulturalisme dilihat sebagai pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku bangsa tertentu yang dominan.
TUGAS UNTUK DISELESAIKAN
1.      Jelaskan mengapa keragaman dan kesetaraan harus dipahami oleh manusia Indonesia terutama oleh mahasiswa ?.
2.      Jelaskan konsep tentang masyarakat majemuk yang anda ketahui ?.
3.      Apa yang anda ketahui tentang manusia antar budaya dan menurut anda, apakah manusia Indonesia termasuk dalam konteks manusia antar budaya tersebut ?.
4.       Di dalam masyarakat yang multi budaya, perlu dikembangkan komunikasi antar budaya yang sangat intens. Apa yang dimaksud dengan komunikasi antar budaya dan apa yang harus dikembangkan dari komunikasi antar budaya tersebut ?.
5.      Diskusikan dengan teman anda 3 - 5 orang tentang permasalahan keragaman dan kesetaraan di Indonesia ?.
6.      Apa yang dimaksud dengan :
a. Pluralitas
c. Gender
b. Multikulturalisme
d. Feminisme



[1] Indar Siswarini, Manusia, Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek pendidikan tenaga akademik, Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004.
[2] M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Gema Insani, Jakarta, 1999, hal. 9.
[3] Ibid.
[4] dalam Ibid.
[5] Indar Siswarini, Op.Cit.
[6] Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti, Yogyakarta, 2001.
[7] Parsudi Suparlan, Ibid.
[8] Parsudi Suparlan, “Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, Agustus- Desember 1999, Hal. 191-205.
[9] Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit.
[10] Indar Siswarini, Op.Cit.
[11] M. Imarah, Op.Cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti, Jakarta
[15] Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta
[16] Ibid.
[17] Nurul Huda. Dkk, Menggagas Jurnalisme Sensitif Gender, INPI Pact, Yogyakarta, 1998, hal. 4.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal. 75.
[22] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ? : Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 1999, hal. 118.
[23] Ibid, hal. 128.
[24] Ibid, hal. 150.
[25] Ibid, hal. 178.
[26] Ibid, hal. 182.