MATERIISBD
BAB V
Manusia,
keragaman dan kesetaraan
1.
Pengertian Keragaman dan Kesetaran.
Keragaman dapat diartikan
dengan suatu hal yang “banyak macamnya”, “beda” antara satu dan yang lainnya
dan sifatnya tidak tunggal. Sedang kesetaraan dapat diartikan sebagai “sama”,
“tidak berbeda” atau “sederajat”. Beberapa istilah yang dianggap sesuai dengan
keragaman salah satunya ialah pluralitas (plurality)
yaitu suatu konsep yang mengandaikan adanya “hal-hal yang lebih dari satu”[1].
Sisi lain pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan (keunikan)
dan kekhasan. Karena itu, pluralitas tidak dapat terwujud atau diadakan atau
terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai objek komparatif dari keseragaman
dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya.
Pluralitas juga tidak dapat
disematkan kepada kesatuan yang tidak mempunyai parsial-parsial, atau yang
bagian-bagiannya dipaksa untuk tidak menciptakan “keutamaan”, “keunikan” dan
“kekhasan” tersendiri. Anggota suatu keluarga adalah bentuk pluralitas dalam
rangka kesatuan keluarga dan sebagai antitesis darinya. Pria dan wanita adalah
bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia. Bangsa-bangsa adalah
bentuk pluralitas jenis manusia[2].
Tanpa adanya kesatuan yang mencakup seluruh segi maka tidak dapat dibayangkan
adanya kemajemukan, keunikan dan kekhasan atau pluralitas itu. Demikian juga
sebaliknya.
Pluralitas, sebagaimana halnya
seluruh fenomena pemikiran, memiliki sifat pertengahan (moderat atau adil),
keseimbangan, juga mempunyai sisi yang ekstrem, baik yang melebih-lebihkan atau
mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan (adil) serta keseimbangannyalah yang
dapat memelihara hubungan antara kemajemukan, perbedaan dan pluralitas dan
faktor kesamaan, pengikat dan kesatuan. Sementara itu disintegrasi dan kacau
balau ditimbulkan oleh sikap ekstrem memusuhi yang tidak mengakui dan tidak
memiliki faktor pemersatu atau pengikat. Juga oleh sikap penyeragaman (yang
dianggap mengingkari adanya kekhasan dan perbedaan), yaitu sikap ekstrem
represif dan otoriter yang menafikkan perbedaan masing-masing pihak dan
keunikannya[3].
Pluralitas juga bisa dianggap
sebagai motivator dalam menghadapi ujian, cobaan, kesulitan berkompetisi, dan
berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masing-masing pihak yang
berbeda dalam peradaban. Dan jika tidak ada pluralitas, perbedaan dan
perselisihan, maka tidak akan ada motivasi untuk berkompetisi, berlomba dan
saling dorong diantara individu manusia dan peradaban, hal ini tentunya akan
berakibat pada hidup yang stagnan dan tawar, serta mati tanpa dinamika. Juga
manusia tidak akan dapat mewujudkan tujuan-tujuan hidup, yaitu agar manusia
membangun bumi dan mengembangkan wujud peradabannya.
Sayyid Quthb[4]
mengatakan bahwa adalah tabiat manusia untuk berbeda. Karena perbedaan ini
adalah salah satu pokok dari pokok-pokok diciptakannya manusia, yang
menghasilkan hikmah yang tinggi. Seperti penugasan makhluk manusia ini sebagai
pemimpin di muka bumi, serta perbedaan mereka dalam persiapan dan
potensi-potensi serta tugas yang diemban. Sehingga, pada gilirannya akan
membawa kepada perbedaan dalam kerangka berfikir, kecenderungan metodologi yang
dipegang, dan tekhnik-tekhnik yang ditempuh. Sementara, dengan perbedaan dan
persaingan, manusia akan menggali potensi mereka yang terpendam, serta akan
selalu terjaga dan berusaha mengeksplorasi kekayaan bumi ini, dengan
menggunakan kekuatannya serta rahasia-rahasianya yang terpendam, yang pada
akhirnya akan membawa kepada kebaikan, kemajuan dan pertumbuhan.
Namun, tindakan saling dorong
dan saling membela, yang menjadi motivator dan diperkuat oleh kemajemukan dan
perbedaan itu, diharapkan senantiasa memiliki sifat membawa manfaat, berada
dalam kerangka kesatuan nilai yang konstan, serta pokok-pokok yang menyatukan
diantara pihak-pihak yang berselisih dan saling membela diri tersebut. Karena
harus ada timbangan yang konstan pula, yang dianggap dapat memuaskan seluruh
pihak yang berselisih dan kata akhir rujukan dalam berdebat, serta ada tujuan
yang sama dari manusia.
Istilah
lain yang digunakan untuk masyarakat yang terdiri dari agama, ras, bahasa, dan
budaya yang berbeda, yakni keragaman (diversity) yang menunjukkan bahwa
keberadaaan yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen dan bahkan tidak
dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba
tunggal, misalnya, satu ideologi, satu partai politik, satu calon pemimpin,
dianggap sebagai satu bentuk pemaksaan dari negara[5].
Furnivall adalah yang pertama kali
mengintroduksi konsep masyarakat majemuk pada waktu dia membahas kebijakan dan
praktek-praktek pemerintahan jajahan di
Indonesia. Dia menunjukkan bahwa sebuah masyarakat majemuk ditandai oleh
penduduknya yang secara suku bangsa dan rasial saling berbeda yang hidup dalam
satuan-satuan kelompok masing-masing, yang hanya bertemu di pasar. Ciri-ciri
ini ada pada masyarakat jajahan yang merupakan produk dari politik ekonomi
penjajahan untuk menguasai sumberdaya setempat yang ada. Produk dari politik
ekonomi ini adalah adanya golongan penjajah yang mempersatukan secara paksa
masyarakat-masyarakat pribumi kedalam sebuah masyarakat jajahan untuk diatur
dan diperintah guna kepentingan ekonomi penjajah. Disamping golongan penjajah
dan pribumi terdapat golongan pedagang
perantara yang biasanya adalah orang-orang asing yang secara sosial dan rasial
tidak tergolong sama dengan golongan penjajah ataupun golongan pribumi. Di
Indonesia, tiga golongan ini terwujud secara vertikal sebagai orang Belanda dan
Kulit Putih lainnya, orang Pribumi, dan orang Timur Asing (orang Cina dan Arab)
yang masing-masing hidup dalam kelompok-kelompok dan pemukimannya sendiri
menurut kebudayaan dan pranata-pranata masing-masing, dan keteraturan serta
ketertiban kehidupan mereka diatur oleh hukum yang masing-masing berbeda satu
dari lainnya[6].
Konsep Multikulturalisme juga dapat
dianggap sesuai dengan masalah-masalah “perbedaan”, bahkan konsep ini juga
mampu menjembatani perbedaan-perbedaan yang muncul dari kemajemukan. Apabila
pluralitas sekedar mempresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), maka
multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu
mereka adalah sama didalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam
respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas
itu diperlakukan sama oleh negara.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau
orang-perorang dan perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan mendorong upaya
terwujudnya keanekaragaman atau pluralisme budaya sebagai sebuah corak
kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang
saling memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan mereka yang berbeda satu
dengan lainnya, termasuk kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok
minoritas[7].
Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat
sebagai memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan mesyarakat bangsa
tersebut. Kebudayaan bangsa ini merupakan sebuah mozaik, dan yang didalam mozaik tersebut terdapat beranekaragam corak
budaya yang merupakan ekspresi dari
berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakt bangsa tersebut. Model
multikulturalisme ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan
keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan
dan mayoritas. Disamping itu juga melalui proses asimilasi atau pembauran dimana
jatidiri dari kelompok-kelompok atau sukubangsa-sukubangsa minoritas harus
mengganti jatidiri warganya menjadi sama dengan jatidiri dari kelompok atau
suku bangsa yang dominan, dan mengadopsi cara-cara hidup atau kebudayaan
dominan tersebut menjadi cara-cara hidup dan kebudayaannya yang baru. Dan bila
mereka yang tergolong sebagai minoritas tidak melakukannya akan diasingkan dari
masyarakat luas, bahkan kalau perlu dimusnahkan[8].
Dalam model multikulturalisme,
penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang
berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya
yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada
hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas suku bangsa yang
primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, menurut Nathan
Glazer[9],
setiap orang adalah multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan
yang bukan hanya berasal dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga
mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau
bangsa lain.
Multikulturalisme dilihat sebagai
pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk
perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang
multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan
tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan
suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana
kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat
umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme
budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku
bangsa tertentu yang dominan.
2. Makna Keragaman dan Kesetaraan dalam Kehidupan Sosial dan
Budaya
Makna keragaman seperti
yang telah sedikit dibahas pada sub bab pengertian keragaman dan kesetaraan
diatas, adalah sebagai motivator untuk menghadapi ujian, cobaan, kesulitan
berkompetisi dan berlomba-lomba dalam berkarya dan berkreasi diantara masing
anggota masyarakat (yang beda budaya). Dengan keragaman, kehidupan menjadi
dinamis dan tidak stagnan karena terdapat kompetisi dari masing-masing elemen
budaya untuk berbuat yang terbaik. Hal ini membuat hidup menjadi tidak
membosankan karena selalu ada pembaruan menuju kemajuan.
Selain itu keragaman yang terdapat di
masyarakat dapat mewujudkan terciptanya manusia antar budaya. Manusia antar
budaya adalah orang yang telah mencapai tingkat tinggi dalam proses antar
budaya secara kognitif, afektif, dan perilakunya tidak terbatas, tetapi terus
berkembang melewati parameter psikologis suatu budaya, memiliki kepekaan budaya
yang berkaitan erat dengan kemampuan berempati terhadap budaya.
Manusia antar budaya adalah orang yang
identitas dan loyalitasnya melewati batas-batas kebangsaan dan komitmennya
bertaut dengan pandangan bahwa dunia merupakan komunitas global, ia merupakan
orang yang secara intelektual dan emosional terikat pada kesatuan fundamental
semua manusia yang pada saat yang sama mengakui, menerima, dan menghargai
perbedaan mendasar antara orang-orang yang berbeda budaya.
3. Problematika Keragaman dan Solusinya dalam Kehidupan Masyarakat
dan Negara.
Struktur dunia
internasional yang majemuk ditandai oleh adanya keragaman suku bangsa, agama
dan budaya (bahkan peradaban). Namun, keragaman tersebut mengandung potensi-potensi
masalah bahkan konflik, baik pada tingkat regional maupun tingkat
internasional, jika masyarakat tidak mau atau tidak bisa menerima adanya
keragaman.
Adalah Samuel P. Hutington yang “
meramalkan “ konflik antar peradaban dimasa depan tidak lagi disebabkan oleh
faktor–faktor keragaman ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu
oleh masalah–masalah keragaman suku bangsa, agama, ras, dan antar-golongan (
SARA ). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya
polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan
runtuhnya negara–negara Eropa Timur. Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh
peistiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu yang terjadi
perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia pasca pemerintahan Michael Joseph
Bros Tito. Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan dan kekuatan,
berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadhership
yang mengikatnya lengser[10].
Huntington
melihat keragaman dan kekhasan peradaban terjadi karena keragaman dan kekhasan
budaya-budayanya. Peradaban adalah bentuk budaya, tidak ada peradaban
universal, namun yang terjadi adalah dunia dari peradaban-peradaban yang
berbeda. Dia melihat ada tujuh atau delapan peradaban besar di dunia saat ini
yaitu Peradaban Barat, Peradaban Cina Konfusius, Peradaban Jepang, Peradaban
Islam, Peradaban India, Peradaban Ortodox Slavik, Peradaban Amerika Latin dan
barangkali Peradaban Afrika[11].
Peradaban-peradaban tersebut masing-masing berbeda satu sama lainnya karena
faktor bahasa, sejarah, budaya dan tradisi. Dan yang paling penting diantaranya
adalah agama. Anggota-anggota peradaban yang berbeda-beda itu mempunyai
pendapat-pendapat yang berbeda-beda pula atas pandangan tentang hubungan antara
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia lainnya serta manusia dengan
lingkungannya seperti keluarga, masyarakat, negara bahkan alam sekitarnya. Juga
terdapat pemikiran-pemikiran yang berbeda tentang takaran hak-hak dan tangung
jawab-kewajiban, kebebasan, kekuasaan dan persamaan.
Huntington
memfokuskan pandangannya pada “faktor-faktor benturan” antara
peradaban-peradaban ini, tidak hanya pada masa lalu saja, namun juga pada masa
yang akan datang. Sehingga, dia mensinyalir bahwa “benturan” adalah suatu
keniscayaan dalam hubungan antar-beragam peradaban. Terutama antara peradaban
Barat dan peradaban Islam (pada awalnya) dan kedua adalah dengan peradaban
Cina. Huntington tidak berkata tentang “determinisme filosofi”
benturan-benturan peradaban tersebut. Sebaliknya, Huntington berkata tentang
“determinisme realitas” benturan tersebut. Bahkan, benturan antara dua
peradaban yaitu peradaban Barat dan peradaban Islam terjadi sepanjang 1300
tahun, dan kedua belah pihak melihat hubungan antara Barat dan Islam sebagai
benturan peradaban[12].
Karena
benturan ini merupakan suatu “keniscayaan realitas” dan “determinisme realitas”
dalam pandangan strategis Huntington, maka dia merancang bagi barat, strategi
kemenangan terhadap Islam (kaum Muslimin) dalam benturan ini. Huntington
menyarankan untuk membagi fase benturan pada masa depan tersebut menjadi 2
(dua) fase, yakni fase jangka pendek dan fase jangka panjang[13].
Pertama, fase jangka pendek.
Pada fase ini Huntington merekomendasikan pihak Barat untuk menyatukan dunia
peradabannya, dan mempergunakan seluruh perangkatnya, dari alat perang, hingga
ekonomi, politik, budaya, nilai hingga lembaga-lembaga internasional, serta
memfokuskan diri pada perseteruan melawan peradaban Islam dan Cina.
Yang
dituntut oleh Barat dalam jangka pendek perseteruan ini adalah sebagai berikut
:
1.
Menyatukan elemen peradabannya, memperkuat kerja sama di antara mereka,
serta memasukkan Eropa Timur dengan bagian Baratnya dan seluruh Eropa bersama
Amerika Utara dan Amerika Latin. Atau, Barat budaya dan yang dekat dengan
budaya Barat Kristen dengan sekte-sekte yang beragam.
2.
Kerjasama, memperkecil danmenekan perseteruan dalam seluruh lingkup
peradaban Barat. Bahkan, memanfaatkan masalah-masalah perseteruan dalam
masyarakat Barat untuk menjadi perseteruan bagi masyarakat non-Barat, sehingga
perseteruan Barat nantinya akan terfokuskan untuk melawan Islam dan Cina.
3.
Mengurangi kemampuan militer Islam (kaum Muslim) dan Cina, serta
menambah kekuatan militer Barat, dan menjaga keunggulan militer Barat di Timur
dan Barat Daya Asia. Atau, untuk menghadapi Cina dan Islam (kaum Muslimin).
4.
Memperkuat lembaga-lembaga internasional yang berperan memperjuangkan
kepentingan dan nilai-nilai Barat, serta memberikan justifikasi kepadanya, dan
mengikutsertakan negara-negara non-Barat untuk bergabung dalam lembaga-lembaga
ini.
Kedua, adalah fase jangka
panjang. Fase ini oleh Huntington dianggap sebagai fase penguasaan Barat atas
peradaban-peradaban non-Barat. Dia mengungkapkan, peradaban Barat adalah
peradaban Barat dan modern sekaligus. Peradaban-peradaban non-Barat telah
berusaha menjadi modern tanpa menjadi Barat (selain Jepang, tentunya).
Peradaban-peradaban non-Barat akan terus berusaha mencapai kekayaan,
tekhnologi, keahlian, permesinan dan persenjataan, yang merupakan cermin dari
elemen bangunan peradaban modern. Peradaban-peradaban itu juga akan terus
berusaha menyelaraskan modernisme itu dengan budaya dan nilai-nilai
tradisionalnya. Sedangkan, kekuatan ekonomi dan militernya akan mengalahkan
Barat. Oleh karena itu, Barat dalam bentuk yang lebih besar, harus menguasai
peradaban-peradaban modern non-Barat itu, yang kekuatannya sudah hampir
mendekati kekuatan Barat, tetapi nilai-nilai dan kepentingannya berbeda dalam
jarak yang sangat besar dari nilai dan kepentingan Barat. Oleh karena itu,
Barat harus menjaga kekuatan ekonomi dan kekuatan militernya yang diperlukan
untuk menjaga kepentingannya yang berhubungan dengan peradaban-peradaban itu.
Huntington
mengilustrasikan masa depan peradaban dengan Barat sebagai peradaban yang
memonopoli “singgasana peradaban” dunia, dan melihat perseteruan antar
peradaban-peradaban yang beragam, sebagai jalan untuk menghapus keragaman
peradaban ini. Setelah barat menyatukan kesatuannya, mempersiapkan seluruh
kemampuannya, serta menekan peradaban-peradaban non-Barat, maka ia harus
menjalankan strategi fase jangka pendek. Dan yang pertama dari strategi
perseteruan ini yaitu mematahkan kekuatan peradaban Islam dan peradaban Cina
sambil mengikat seluruh peradaban lainnya dalam lembaga-lembaga internasional
yang memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Barat, dan memberikan
justifikasi kepadanya. Sedangkan dalam jangka panjang, objek Barat selanjutnya
adalah menguasai peradaban-peradaban non-Barat lainnya, yaitu peradaban yang
telah berhasil memodernisasi masyarakatnya secara militer maupun ekonomi.
Dengan demikian maka Barat dapat memonopoli kekuatan, modernisme dan hegemoni
atas dunia.
Di
Indonesia sendiri permasalahan mengenai keragaman suku bangsa, agama, ras, dan
antargolongan, mengarah kepada kondisi konflik sejak era Reformasi. Parsudi
Suparlan[14]
melihat konflik-konflik yang terjadi di Indonesia merupakan konflik suku bangsa
yang kemudian bisa bergeser pada koflik-konflik bernuansa agama. Lebih lanjut
Suparlan mengatakan, corak
kesukubangsaan individual yang merupakan milik perorangan berubah menjadi
kategorikal. Yang menjadi sasaran untuk dihancurkan oleh masing-masing anggota
suku bangsa yang mengalami konflik bukan lagi orang perorangan dan bukan pula
kelompok, melainkan kategori suku bangsa. Suku bangsa itu menjadi musuh sesuai
dengan ciri-ciri atau atribut- atribut yang menjadi acuan dari
kesukubangsaannya. Apapun dan siapapun yang mempunyai atau ditempeli
atribut-atribut kesukubangsaan yang menjadi musuh dalam konflik antar suku
bangsa akan dihancurkan. Karena itu penghancuran terhadap kategori berdasarkan
ciri-ciri kesukubangsaan tersebut tidak mengenal batasan umur, jenis kelamin,
posisi sosial atau keyakinan keagamaan, dan tidak pula mengenal batasan nilai
uang dari barang dan harta benda yang di hancurkan.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai
sebuah masyarakat multiethnis atau
bersuku bangsa banyak. Tetapi masyarakat Amerika bukanlah sebuah masyarakat
majemuk, karena masyarakat tersebut terwujud sebagai bangsa tidak dengan cara
mempersatukan suku bangsa-suku bangsa yang dilakukan oleh sistem nasionalnya.
Pada masa kini yang ditonjolkan di Amerika bukanlah coraknya yang multietnis,
melainkan beranekaragamnya kebudayaan yang dipunyai oleh bangsa Amerika.
Kebudayaan Amerika yang beranekaragam itu bisa dimiliki oleh setiap individu
atau komuniti, sehingga jati diri suku bangsa atau rasial dari individu menjadi
tidak relevan. Seseorang atau kelompok orang kulit putih yang tergolong
keturunan WASP bisa saja mempunyai kebudayaan India, Cina, Jepang, atau
yang lainnya.
Kebijakan untuk secara nasional dan sosial meredam atau menyimpan jati diri
rasial atau suku bangsa, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman
kebudayaan atau masyarakat multikulturalisme, dapat dilihat sebagai kebijakan
yang bertujuan untuk meredam potensi-potensi pengembangan, dan kemajuan melalui
ide keanekargaman kebudayaan yang memang sejalan dan mendukung berlakunya
prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat.
Model masyarakat multikultural atau berkeanekaragaman
kebudayaan ini yang telah berhasil meredam potensi-potensi konflik rasial dan
kesukubangsaan perlu kita pelajari dengan seksama dalam konteks Indonesia yang
masyarakatnya majemuk dan yang akhir-akhir ini telah dilanda oleh berbagai
bentuk konflik rasial, kesukubangsaan, dan keagamaan. Konflik-konflik itu
sangat merugikan dan dapat mencabik-cabik integrasi bangsa dan kebangsaan
Indonesia. Menggeser idiom masyarakat majemuk menjadi masyarakat beraneka ragam
kebudayaan sebagai sebuah kebijakan politik kebudayaan pada tingkat nasional
maupun lokal, dan akan memungkinkan diterapkannya prinsip demokrasi. Prinsip
demokrasi itu dilandasi oleh kesetaraan derajat individu atau warga, serta
muncul dan mantapnya hak budaya komuniti dalam kaitan keseimbangannya dengan
kekuasaan negara atau masyarakat. Dalam masyarakat multikultural tersebut
demokrasi dapat berkembang. Sebaliknya demokrasi dapat mengembangkan masyarakat
yang multi kultural. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip perbedaan dan saling
menghargai perbedaan konflik atau persaingan berdasarkan atas hukum atau aturan
main yang adil dan beradab, yang tidak dapat ditawar oleh seseorang yang
mempunyai posisi tinggi atau kekuasaan yang besar.
Permasalahan konflik-konflik bernuansa
keragaman suku bangsa, agama, ras dan antar-golongan yang terjadi, baik konflik
dalam skala regional maupun konflik berskala internasional, lebih terletak pada
pemahaman akan “budaya lain” diluar “budaya sendiri”. Disini pamahaman ragam
budaya yang ada yang diikuti dengan komunikasi antar budaya menjadi unsur yang
sangat signifikan dalam menjembatani perbedaan-perbedaan.
Adapun yang harus
diperhatikan dari komunikasi antar budaya ini yaitu komunikasi antar budaya
terjadi, bila pemberi pesan dan penerima pesan berasal dari komunitas budaya
yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang keragaman budaya yang
harus disikapi dengan unsur persatuan dan kesatuan. Komunikasi antar budaya ini perlu
dikembangkan sebagai upaya untuk[15] :
1.
Mencapai
pertukaran dialektis antar budaya.
2.
Mengembangkan
kesederajatan dan menghapus diskriminasi.
3.
Memupuk rasa
solidaritas nasional dengan cara membiasakan diri dalam kehidupan bersama.
4.
Mendorong
terjadinya pembauran secara alamiah sehingga mampu mengatasi perbedaan budaya.
Komunikasi antar budaya mempunyai cakupan, antara
lain[16] :
1.
Komunikasi
antar ras yang bertujuan untuk menghilangkan prasangka rasial.
2.
Komunikasi
antar etnik bertujuan untuk mensosialisasikan dan membudayakan pertukaran
informasi kebudayaan antar suku bangsa.
3.
Komunikasi
antar agama mempunyai tujuan yaitu memupuk perilaku keagamaan dan sosial yang
akomodatif.
4.
Komunikasi
antar kelas mempunyai tujuan untuk menghindari ketidakseimbangan dan
diskriminasi.
5.
Komunikasi
antar gender yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan hak dan kewajiban
dalam kehidupan bermasyarakat antara kaum laki-laki dan perempuan
Disini dapat dilihat bahwa komunikasi
antar budaya mensosialisasikan ide pluralitas dan keberagaman dengan bahasa
budaya.
4. Kesetaraan.
Kesetaraan warga dan hak budaya
komuniti adalah unsur-unsur mendasar yang ada dalam unsur demokrasi, yang
menekankan pentingnya hak individu dan kesetaraan individu atau warga, dan
toleransi terhadap perbedaan dan keanakaragaman. Pada hakikatnya masyarakat
majemuk yang secara suku bangsa beranekaragam mempunyai potensi sebuah
masyarakat otoriter-militiristis dengan corak paternalistis dan etnosentris
yang primordial. Primordialitas kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan dapat
berpotensi menjadi pemecah belah bangsa pada saat primordialitas tersebut
diaktifkan sebagai kekuatan politik. Potensi kekuatan primordialitas untuk
memecah belah bangsa disebabkan oleh hakikat keberadaan masyarakat majemuk.
Masyarakat majemuk itu dihasilkan oleh upaya sistem nasional untuk
mempersatukan kelompok-kelompok suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Pemersatuan
kelompok-kelompok suku bangsa itu dilakukan secara paksa, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Untuk itu, masyarakat majemuk yang
menekankan pada keanekaragaman suku bangsa harus digeser menjadi ideologi
keanekaragaman kebudayaan atau ideologi multikulturalisme. Dalam ideologi ini,
kelompok-kelompok budaya tersebut berada dalam kesetaraan derajat, seperti yang
diberlakukan dalam masyarakat-masyarakat Amerika dan Eropa Barat. Ideologi yang
harus ditekankan adalah keanekaragaman kebudayaan. Kekuatan sosial dan politik
dari keanekaragaman tersebut bukan berlandaskan pada kekuatan primordial kesukubangsaan
yang lokal. Secara hipotesis, dalam wadah masyarakat “Bhinneka Tunggal Ika”
Indonesia yang seperti inilah maka proses-proses demokrasi akan dapat
diwujudkan.
Pemahaman tentang hubungan keragaman
dengan kesetaraan di dalam masyarakat dengan tujuan untuk menjembatani
perbedaan-perbedaan yang muncul dari masyarakat dianggap sebagai suatu hal yang
penting. Pemahaman tentang hubungan
antara keragaman dan kesetaraan itu harus seiring dan sejalan dengan
praktek-praktek hubungan sosial-budaya masayarakat. Untuk itu Suparlan
mengatakan :
1.
Perlu
kebijakan secara nasional dan sosial untuk meredam atau menyimpan jati diri
suku bangsa atau ras, dan sebaliknya menonjolkan ide keanekaragaman kebudayaan
atau masyarakat multikultural
2.
Menempatkan
individu dengan keragaman kebudayaannya yang setara derajatnya dalam mewujudkan
kehidupan demokrasi
3.
Menjamin hak
komuniti sebagai satuan kehidupan berskala kecil yang menempati suatu wilayah
4.
Manusia
sebagai individu, hidup dalam komuniti, dibesarkan, dan “dijadikan” manusia
sehingga dapat berperan sebagai warga masyarakat dan negara yang berguna.
Gender.
Selanjutnya, dalam usaha memahami
kesetaraan juga dapat dilihat dari perspektif gender. Kesetaraan gender adalah
suatu frase “suci” yang diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis,
politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam
tatanan praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidak-setaraan”
yang diterima dan dialami oleh kaum perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender
sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan,
sub-ordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil, dan semacamnya. Istilah-istilah
tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan dan memicu rasa simpati
yang besar kepada kaum perempuan.
Banyak
pemahaman yang keliru ketika orang mengartikan seks dan gender, karena gender
dalam bahasa Inggris hanya diartikan sebagai jenis kelamin. Untuk itu perlu
dipahami terlebih dahulu bahwa seks
merupakan suatu hal yang merupakan kodrat berupa ciri-ciri fisik/ biologis yang
tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan
yang mengalami haid, hamil dan melahirkan yang ini tidak mungkin bisa dilakukan
laki-laki. Dan sebaliknya laki-laki memiliki jakun, sperma dan alat vital
berupa penis. Seks bersifat kodrati yang tidak mengenal batas ruang dan waktu,
bersifat alamiah dan tidak akan berubah dalam kondisi apapun[17].
Sedangkan
gender, merupakan pelabelan yang pada kenyataannya dibentuk oleh budaya, tidak
bersifat permanen, dan oleh karenanya bisa dipertukarkan antara laki-laki dan
perempuan. Gender tergantung pada nilai-nilai yang dianut masyarakat, hasil
konstruksi tradisi, budaya, agama dan ideologi tertentu yang mengenal batas
ruang dan waktu yang langsung membentuk karakteristik laki-laki dan perempuan.
Saat ini di dalam kehidupan bermasyarakat ada pemilahan sifat manusia yaitu
feminim dan maskulin. Sifat-sifat feminim dan maskulin dapat dikategorikan
sebagai berikut[18]
:
Sifat maskulin
|
Sifat feminim
|
1. Aktif / agresif
2. Independen
3. Rasional
4. Obyektif
5. Tegas
6. Keras
7. Jarang menangis
8. Tidak mudah
tersinggung
9. Lebih kompetitif
10. Lebih suka
berpetualang
11. Lebih mendunia
12. Ambisius
13. Percaya diri
14. Pemimpin,
pelindung
15. Dsb
|
1. Pasif / nonagresif
2. Dependen
3. Emosional
4. Subyektif
5. Kurang tegas
6. Lemah lembut
7. Sering menangis
8. Mudah tersinggung
9. Kurang kompetitif
10. Tidak suka
berpetualang
11. Berorientasi ke
rumah
12. Kurang ambisius
13. Kurang percaya
diri
14. Pengasuh,
pemelihara
15. Dsb
|
Sifat
feminin seringkali dilekatkan pada diri perempuan dan sifat maskulin seringkali
dianggap sebagai sifat laki-laki. Sehingga bila ada seorang yang bersikap tidak
sesuai dari sifat-sifat yang sudah dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat maka
dia diangggap menyimpang atau salah. Padahal pada riilnya, potensi yang
dimiliki laki-laki dan perempuan sebagai sesama manusia adalah relatif. Tidak
semua laki-laki mampu bersikap tegas. Demikian pula tidak semua perempuan
bersikap cengeng, dan seterusnya.
Persoalannya
kemudian, dari pelabelan yang ada di masyarakat ini memunculkan ketidakadilan
yang berkaitan dengan relasi antara perempuan dan laki-laki. Setidaknya ada
lima isu gender yang dialami perempuan akibat ketidakadilan gender[19] yaitu :
1. Kekerasan terhadap
perempuan.
2. Beban ganda
perempuan
3. Marginalisasi
perempuan
4. Subordinasi
perempuan
5. Stereotype terhadap
perempuan
Sedangkan
manifestasi ketidakadilan gender bagi perempuan dapat dirumuskan sebagai
berikut[20] :
1. Pada sektor budaya,
perempuan terkungkung dengan stereotype yang dilekatkan pada dirinya untuk
tidak keluar dari peran domestiknya.
2. Dalam sektor publik
maupun domestik perempuan seringkali menjadi korban tindak kekerasan
3. Dalam bidang
ekonomi, perempuan mengalami marginalisasi dan harus menanggung beban ganda
jika ingin berkiprah di ruang publik.
4. Dalam bidang
politik, perempuan selalu menempati posisi sub-ordinan, baik di struktur
pemerintahan, maupun di tingkat perwakilan rakyat. Sebagai warga negara.
Perempuan juga hanya ditempatkan sebagai obyek dalam setiap kebijakan
pemerintah yang memang seringkali menjadi monopoli laki-laki.
Feminisme
secara konsisten senantiasa memperjuangkan kesetaraan gender, yakni posisi dan
peran yang setara antara laki-laki dan perempuan yang tidak dipengaruhi oleh
bias gender. Sesungguhnya feminisme sedang mencoba membawa perubahan pada
kultur ptriarki yang monolitik dan, dengan demikian, secara tidak langsung
merupakan komponen dari agenda-agenda multilkultural.
Pada
awalnya feminisme dikritik keras karean
ideologi pukul ratanya yang menggeneralisasi bagitu saja persoalan-persoalan
perempuan secara semesta tanpa melihat bahwa goegrafi, demografi, tingkat
pengetahuan, serta perkembangan tekhnologi dan informasi telah membuat
perempuan sendiri tidak monopolitik, dalam perkembangannya, menjadi semakin
hirau atau peduli dengan adanya sejumlah kesenjangan antara persoalan perempuan
di Barat dan di “Dunia Ketiga”. Ini juga nerupakan isyarat penting bahwa
gerakan feminisme semakin menampakkan semangat multikultural[21].
Adapun
beberapa aliran feminisme yang ada di dunia saat ini adalah :
Feminisme Liberal[22].
Feminisme
liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 bersamaan dengan semakin populernya
arus pemikiran baru ‘Zaman Pencerahan’. Dasar asumsi yang dipakai adalah
doktrin John Lock tentang Natural
Right (HAM), bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yaitu hak untuk
hidup, mendapatkan kebebasan, dan hak untuk mencari kebahagiaan. Menurut
feminis liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita dapat terjamin
pelaksanaannya, maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat. Oleh karen
aitu feminis liberal kebih memfokuskan perjuangan mereka pada perubahan segala
undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi keluarga
yang patriakhat.
Usaha
pertama yang cukup dramatis untuk mengaplikasikan doktrin HAM pada perempuan ,
tertuang dalam satu deklarasi yang terkenal, yaitu declaration of
Sentiments, yang disusun oleh Elizabeth
Cady Stanton yang dikeluarkan di Seneca Falls, New York yang
dihadiri sekitr 100 orang. Dalam deklarasi tersebut dituliskan sebanyak 15
protes mengenai nasib perempuan , mulai dari masalah lembaga perkawinan yang
menempatkan laki-laki sebagai akepala keluarga, masalah hak wanita terhadap
kepemilikan properti, hingga masalah politik dan sosial seperti partisipasi
perempuan dalam bidang kedokteran, teologi, dan hukum.
Feminisme Sosialis[23].
Ketika Karl Marx dan Friederich Engels memformulasikan teori dan ideologinya, mereka
melihat kaum perempuan yang kedudukannya identik dengan kaum proletar pada
masyarakat kapitalis barat. Mereka dalam teorinya mempermaslahakan konsep
kepemilikan pribadi, dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang
melegitimasi pria memiliki istri secara pribadi. Menurut mereka, karena istri
dimiliki oleh suami, maka ini merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan.
Perempuan hanya dapat dibebaskan dari penindasan ini, kalau sistem ekonomi
kapitalis diganti dengan masyarakat sosialis, yaitu masyarakat egaliter tanpa
kelas-kelas.ini harus dimulai dari keluarga, dimana para istri dibebaskan
dahulu agar dia dapat menjadi diri sendiri, dan kalau sistem egaliter dalam
keluarga dapat tercipta maka ini akan tercermin pula dalam kehidupan
masyarakat.praktek feminisme sosialis memang berbaur dengan berbagai jenis
aliran feminisme. Tetapi secara teori, bermacam bentuk penyadaran pada kaum
perempuan merupakan orientasi praksisnya. Feminisme sosialis adalah gerakan
untuk membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur
patriarkat.feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu teori
penyadaran pada kelompok tertindas, agar para wanita sadar bahwa mereka
merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha
untuk membangkitkan rasa emosi, agar para perempuan bangkit untuk mengubah
keadaan.Dengan demikian diharapkan perempuan yang telah bangkit kesadaran dan
emosinya, secara berkelompok mengadakan konflik langsung dengan kelompok
dominan (laki-laki). Semakin tinggi tingkat konflik , diharapkan akan mampu
meruntuhkan sistem patriarkat yang ada.
Teologi Feminis[24].
Teologi
feminis bersumber dari mazhab teologi pembebasan yang dikembangkan James Cone pada akhir 1960-an.paham
teologi pembebasan tetap ingin mempertahankan agama. Namun agama ini bukan
untuk melegitimasi penguasa melainkan sebagai alat untuk membebaskan golongan
yang dianggap tertindas. Teologi feminis berkembang dalam berbagai agama
diantaranya Islam, kristen dan yahudi. Menurut para feminis, agama-agama
serring ditafsirkan dengan memakai ideologi patriarkat yang menyudutkan
perempuan.para teolog feminis yang berkembang dalam Islam, berusaha mencari
konteks dan latar belakang ayat-ayat Al Qur’an dan hadis yang berkenaan dengan
perempuan. Tujuannnya adalah untuk membantahpenafsiran dan fikih yang merugikan
perempuan, seperti yang dilakukan Fatima
Mernissi, Ali Asghar Engineer, Rifat Hasan, Amina Wadua, dan dari
Indonesia Masdar F. Mas’udi.
Feminisme Radikal[25].
Teori
feminisme radikal berkembang pesat di AS pada 1960-1970-an. Tidak seperti teori
feminis sosialis, dimana maslaah ekonomi dan struktur sosial yang menciptakan
sub ordinasi perempuan, feminisme radikal berpendapat bahwa kertidakadilan
gender bersumber dari perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan itu
sendiri. Perbedaan biologis ini terkait
dengan peran kehamilan dan keibuan yangs
elalu diperankan perempuan. Semua ini
termanifestasikan bilamana perempuan menikah dengan laki-laki, maka perbedaan
nbiologis ini akan melahirkan peran gender yang erat kaitannya dnegan
masalah biologis.
Manifesto
feminis radikal yang diterbitkan
dalam Notes From The Second Sex (1970) mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga
formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas para feminis adalah
menolak institusi keluarga baik pada tataran teori maupun praktis. Apabila
lembaga perkawinan tidak dapat dihindari, maka perlu diciptakan teknologi untuk
mengurangi beban biologis perempuan seperti kontrasepsi, dan bahkan artificial
devices atau alat-alat tiruan, seperti tiruan placenta dan bayi tabung,
sehingga perempuan tidakl perlu lagi mnegalami proses kehamilan.
Feminis
radikal cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai individu maupun kolektif,
mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam
kehidupan mereka, salah satu alternatifnya adalah dengan hubungan heteroseksual
(lesbian), hidup melajang, ataupun menjanda.
Ekofeminisme[26].
Ekofeminisme
timbul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan ekologi dunia yang semakin
bobrok.teori ekofeminisme mempunyai konsep yang bertolakbelakang dengan
teori-teori feminisme modern yang berasumsi bahwa individu adalah makhluk
otonom yang lepas dari pengaruh lingkungannya dan berhak menentukan jalan
hidupnya sendiri. Teori ekofeminisme adalah teori yang melihat individu secara
lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan berinteraksi dengan
lingkungannya.
Ekofeminisme
yang ingin mengembalikan identifikasi perempuan dengan alam, adalah usaha untuk
membebaskan perempuan dari perangkap sistem maskulin yang membuat perempuan
menjadi bimbang akan perannya. Sistem maskulin yang telah mewarnai peradapan
modern dianggap merusak dan menutupi nilai sakral kualitas feminin yang
merupakan fitrah perempuan.
Ringkasan
Berdirinya
negara Indonesia di latarbelakangi oleh masyarakat yang demikian majemuk, baik
secara etnis, geografis, kultural, maupun religius. Kita tidak dapat mengingkari
sifat pluralistic bangsa kita. Sehingga kita perlu memberi tempat bagi
berkembangnya kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan beragama yang dianut oleh
warga negara Indonesia. Masalah suku bangsa dan kesatuan-kesatuan nasional di
Indonesia telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu negara yang multietnik
memerlukan suatu kebudayaan nasional untuk menginfestasikan peranan identitas
nasional dan solidaritas nasional di antara warganya. Gagasan tentang
kebudayaan nasional Indonesia yang menyangkut kesadaran dan identitas sebagai
suatu bangsa telah di rancang saat bangsa kita belum merdeka.
Manusia secara kodrat diciptakan sebagai makhluk yang mengusung
nilai harmoni. Perbedaan yang mewujud baik secara fisik ataupun mental,
sebenarnya merupakan kehendak Tuhan yang seharusnya dijadikan sebagai sebuah
potensi untuk menciptakan sebuah kehidupan yang menjunjung tinggi toleransi. Di
kehidupan sehari-hari, kebudayaan suku bangsa dan kebudayaan agama,
bersama-sama dengan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara, mewarisi
perilaku dan kegiatan kita. Berbagai kebudayaan itu beriringan, saling
melengkapi, bahkan mampu untuk saling menyesuaikan (fleksibel) dalam kehidupan
sehari-hari. Tidak seperti sebaliknya yaitu perbedaan-perbedaan dapat
menyebabkan ketegangan hubungan antar-anggota masyarakat.
Salah satu model keragaman
dan kesetaraan dapat dilihat dari konsep Multikulturalisme. Dalam konsep multikulturalisme, sebuah masyarakat
bangsa dilihat memiliki sebuah kebudayaan yang utama dan berlaku umum (mainstream)
di dalam kehidupan mesyarakat bangsa
tersebut. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat beranekaragam corak budaya
yang merupakan ekspresi dari berbagai
kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Model multikulturalisme
ini bertentangan dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau
kesatuan kebudayaan dengan melalui proses penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang
berbeda-beda ke dalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas.
Dalam model multikulturalisme,
penekanannya adalah pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang
berbeda-beda, pada pengkayaan budaya melalui pengadopsian unsur-unsur budaya
yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pelaku dalam kehidupannya tanpa ada
hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena adanya batas-batas suku bangsa yang
primodial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah
multikulturalis, karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal
dari kebudayaan asal atau suku bangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang
berisikan kebudayaan-kebudayaan dari suku bangsa atau bangsa lain.
Multikulturalisme dilihat sebagai
pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk
perbedaan-perbedaan kesuku-bangsaan dan suku-bangsa dalam masyarakat yang
multikultural. Pengertian ini mengacu pada pengertian bahwa perbedaan-perbedaan
tersebut terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial. Sedangkan kesukubangsaan dan masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan
suku bangsanya tetap dapat hidup dalam ruang lingkup atau suasana
kesukubangsaanya. Tetapi didalam suasana-suasana nasional dan tempat-tempat
umum yang seharusnya menjadi cirinya adalah kebangsaan dengan pluralisme
budayanya, dan bukannya sesuatu kesukubangsaan atau sesuatu kebudayaan suku
bangsa tertentu yang dominan.
TUGAS UNTUK DISELESAIKAN
1. Jelaskan mengapa keragaman dan kesetaraan harus
dipahami oleh manusia Indonesia terutama oleh mahasiswa ?.
2. Jelaskan konsep tentang masyarakat majemuk yang
anda ketahui ?.
3. Apa yang anda ketahui tentang manusia antar budaya
dan menurut anda, apakah manusia Indonesia termasuk dalam konteks manusia antar
budaya tersebut ?.
4. Di dalam
masyarakat yang multi budaya, perlu dikembangkan komunikasi antar budaya yang
sangat intens. Apa yang dimaksud dengan komunikasi antar budaya dan apa yang
harus dikembangkan dari komunikasi antar budaya tersebut ?.
5.
Diskusikan dengan teman anda 3
- 5 orang tentang permasalahan keragaman dan kesetaraan di Indonesia ?.
6.
Apa yang dimaksud dengan :
a. Pluralitas
|
c. Gender
|
b. Multikulturalisme
|
d. Feminisme
|
[1] Indar Siswarini, Manusia,
Keragaman dan Kesetaraan, makalah lokakarya penataran dosen MBB, proyek
pendidikan tenaga akademik, Dirjen Dikti, Depdiknas, Denpasar, September 2004.
[2] M. Imarah, Islam dan Pluralitas; Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,
Gema Insani, Jakarta, 1999, hal. 9.
[4] dalam Ibid.
[5] Indar Siswarini, Op.Cit.
[6] Parsudi Suparlan, Multikulturalisme, Semilokakarya Dosen ISBD, Dirjen Dikti,
Yogyakarta, 2001.
[7] Parsudi Suparlan, Ibid.
[8] Parsudi Suparlan, “Kemajemukan Amerika : Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme”. Jurnal Studi Amerika, Vol. 5, Agustus- Desember 1999, Hal.
191-205.
[9] Dalam, Parsudi Suparlan, Op.Cit.
[10] Indar Siswarini, Op.Cit.
[11] M. Imarah, Op.Cit.
[14] Supardi Suparlan, Kesetaraan Warga Dan Hak Budaya
Komunitif Dlam Masyarakat Majemuk Indonesia, makalah Dirjen Dikti, Jakarta
[15] Sumanto, Komunikasi Antar Budaya, Makalah Dirjen Dikti, Jakrta
[21] Manneke Budiman, Feminisme Multikultural : Refleksi Sekaligus Proyeksi, dalam, Edi
Hayat dan M. Surur (Ed), Perempuan
Multikultural : Negosiasi dan Representasi, Desantara, Jakarta, 2005, hal.
75.
[22] Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda ?
: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, Mizan Pustaka, Bandung, 1999,
hal. 118.
[23] Ibid, hal. 128.
[24] Ibid, hal. 150.
[25] Ibid, hal. 178.
[26] Ibid, hal. 182.