BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Globalisasi, selain berdampak pada pergeseran nilai, juga berdampak
pada paradigma pendidikan sebuah bangsa. Salah satunya adalah pergeseran dari
paradigma pendidikan ke arah paradigma pengajaran. Makna pendidikan yang sejatinya
syarat dengan nilai-nilai moral bergeser pada pengajaran sebagai transfer of
knowledge ansich. Bahkan, belakangan muncul paradigma “serba instan” dalam
praktik pendidikan kita.
Pendidikan
memiliki peran yang sangat penting, bukan hanya menghasilkan masyarakat belajar
dengan prestasi tinggi tetapi mampu melahirkan generasi baru yang memiliki
karakter baik dan bermanfaat bagi masa depan bangsa. Penanaman pendidikan
karakter sudah tidak bisa ditawar untuk diabaikan, terutama pada pembelajaran
di sekolah di samping pendidikan dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
Dalam realita, ada dua “warna” dalam praktik pendidikan kita sampai
hari ini. Warna hitam dan putih. Adanya warna hitam, di antaranya- ditandai
dengan banyaknya perilaku menyimpang siswa seperti tawuran antar pelajar,
narkotika, seks bebas, membolos sekolah, mencuri, aborsi, berbohong, tidak
menyontek, dan sebagainya.Namun, di sisi lain, tidak sedikit prestasi
membanggakan yang telah ditorehkan lembaga pendidikan, seperti mereka yang menjuarai
pelbagai kompetisi/olimpiade sains dan matematika, lomba debat bahasa Inggris,
kewirausahaan, dan lainnya baik di tingkat nasional maupun internasional.
Apalagi, akhir-akhir ini pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) telah membuat
sejarah apik, yakni berhasil menciptakan produk-produk teknologi, seperti Mobil
Esemka. Masih
adanya “warna hitam” menunjukkan pendidikan karakter (masih) belum maksimal.
Kurang berhasilnya sistem pendidikan membentuk sumber daya manusia dengan
karakter yang tangguh, berbudi pekerti luhur, bertanggung jawab, berdisiplin,
dan mandiri, terjadi hampir di semua lembaga pendidikan baik negeri maupun
swasta. Atas hal tersebut, -sampai kini- pendidikan dianggap belum berkarakter
dan belum mampu melahirkan warga negara yang berkualitas, baik prestasi belajar
maupun berperilaku baik.
Pembaharuan pendidikan nasional
persekolahan harus didasarkan pada paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan nasional yang tepat, sesuai dengan realitas masyarakat dan kultur
bangsa sendiri.
Paradigma peranan pendidikan dalam
pembangunan tidak bersifat linier dan unidimensional, sebagaimana dijelaskan
oleh paradigma Fungsional dan Sosialisasi di atas. Melainkan, peranan
pendidikan dalam pembangunan sangat kompleks dan bersifat interaksional dengan
kekuatan-kekuatan pembangunan yang lain. Dalam konstelasi semacam ini,
pendidikan tidak bisa lagi disebut sebagai engine of growth, sebab
kemampuan dan keberhasilan lembaga pendidikan formal sangat terkait dan banyak
ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang lain, terutama kekuatan ekonomi umumnya
dan dunia kerja pada khususnya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa lembaga
pendidikan sendiri tidak bisa meramalkan jumlah dan kualifikasi tenaga kerja
yang diperlukan oleh dunia kerja, sebab kebutuhan tenaga kerja baik jumlah dan
kualifikasi yang diperlukan berubah dengan cepat sejalan kecepatan perubahan
ekonomi dan masyarakat.
Paradigma peran pendidikan dalam
pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, melahirkan paradigma
pendidikan Sistemik-Organik dengan mendasarkan pada dokrin ekspansionisme dan
teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala obyek,
peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari
suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau
dilihat dan dikaitkan dengan keutuhan totalitas, sebab keutuhan bukan sekedar kumpulan
dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam sistem
terbuka, karena jawaban suatu problem muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik
menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1) Pendidikan lebih menekankan pada proses
pembelajaran (learning) dari pada mengajar (teaching), 2)
Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel; 3) Pendidikan
memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus
dan mandiri, dan, 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa
berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan Sistemik-Organik
menuntut pendidikan bersifat double tracks. Artinya, pendidikan
sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika
masyarakatnya. Dunia pendidikan senantiasa mengkaitkan proses pendidikan dengan
masyarakatnya pada umumnya, dan dunia kerja pada khususnya. Keterkaitan ini
memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang
mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan prestasi perserta didik juga
ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada
umumnya. Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks
menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik harus
melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan dan
pendidikan formal sistem persekolahan.
Dengan double tracks ini
sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan
fleksibilitas yang tinggi untuk
menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang senantiasa berubah dengan cepat.
Berbagai problem yang muncul di masyarakat,
khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja
yang dibutuhkan oleh dunia kerja merupakan refleksi adanya kelemahan yang
mendasar dalam dunia pendidikan kita. Setiap upaya untuk memperbaharui
pendidikan akan sia-sia, kecuali menyentuh akar filosofis dan teori pendidikan.
Yakni, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai suatu dunia tersendiri, melainkan
pendidikan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian dari masyarakatnya.
Oleh karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan
secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia
kerja.
1.1
Rumusan Masalah
1.1.1
Apa pengertian dari
paradigma pendidikan karakter?
1.1.2
Apa paradigma
pendidikan masa depan?
1.1.3
Apa saja macam-macam
paradigma pendidikan?
1.1.4
Apa perlunya paradigma
baru pendidikan?
1.1.5
Apa yang dimaksud
pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan?
1.1.6
Apa pengertian paradigma
konstruktivisme pendidikan?
1.1.7
Apa unsure-unsur
karakter?
1.2
Tujuan
1.2.1
Untuk mengetahui
pengertian dari paradigma pendidikan karakter
1.2.2
Untuk mengetahui
paradigma pendidikan masa depan
1.2.3
Untuk mengetahui
macam-macam paradigma pendidikan
1.2.4
Untuk mengetahui
perlunya paradigma baru pendidikan
1.2.5
Untuk mengetahui maksud
dari pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan
1.2.6
Untuk mengetahui
pengertian paradigma konstruktivisme pendidikan
1.2.7
Untuk mengetahui
unsure-unsur karakter
1.3
Manfaat
1.3.1
Mengetahui pengertian
dari paradigma pendidikan karakter
1.3.2
Mengetahui paradigma
pendidikan masa depan
1.3.3
Mengetahui macam-macam
paradigma pendidikan
1.3.4
Mengetahui perlunya
paradigma baru pendidikan
1.3.5
Mengetahui maksud dari
pembelajaran sebagai pilar utama pendidikan
1.3.6
Mengetahui pengertian
paradigma konstruktivisme pendidikan
1.3.7
Mengetahui unsure-unsur
karakter
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Paradigma Pendidikan
Karakter
Dalam pemaknaan kata “ paradigma “
mengandung arti model pola skema. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah
model atau pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik
secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara
personal maupun kolektif untuk masa depan.
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan yang lain.[1] ; Dalam Kamus Psikologi (Daulay,
2009) di definisikan “a consistent and enduring property or quality by means
of wchich a person, object, or event can be identified” (Chaplin,
1973:79). ; Dalam Kamus Filsafat karakter di definisikan, character (bahasa
Yunani, character, dari charassein, menajamkan,
mengukir, tanda atau bukti yang dicetak pada sesuatu untuk menunjukkan hal-hal
seperti kepemilikan, asal-usul, nama atau merek). Crhacter mempunyai
arti:
1) Sebutan bagi jumlah total sifat
seseorang,yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, hal-hal yang tidak
disukai, kemampuan, bakat, potensi, nilai, dan pola pikir.
2)
Struktur yang terkait secara relatif atau sisi sebuah kepribadian yang
menyebabkan sifat seperti itu.
3) Kerangka kerja sebuah kepribadian yang secar
relatif telah ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat tertentu itu dalam meujudkan
dirinya. (Kamus Filsafat, 1995: 50-51).
Menurut
Simon Philips (2008) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
system, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Bila
disimpulkan, pengertian karakter berarti sikap mental yang menjadi watak,
tabiat, dan bawaan seseorang yang menjadi dasar dari tindakan maupun
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi
istilah pembentukan karakter dari pengertian karakter dalam penelitian ini
adalah usaha maupun proses yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam
mengarahkan, membimbing dan mendidik peserta didik yang bersifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti dengan membentuk sistem kepercayaan dalam
pola pikir[5] peserta
didik yang akan mempengaruhi perilaku maupun karakternya sesuai dengan nilai
atau norma-norma Islam.
Landasan filosofis mengandung arti “ the
love for wisdom “ menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga
tingkatan : lovers of wisdom -lover of succes - lover of pleasure. Sedangkan
acuan pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan
nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana
manusia harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat
tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma
terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural,
macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses
mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
Dengan demikian,paradigma merupakan sebuah
acuan yang dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal atau bangsa
) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan
visi hidup yang lebih baik.Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “
Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis (
agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
2.2 Paradigma
Pendidikan Masa Depan
Paradigma pendidikan masa depan di sini
masih berbentuk paradigma pendidikan yang bersifat global, dalam artian masih
belum jelas isi dari pada paradigma pendidikan masa depan itu sendiri. Diantara
isi dari pada paradigma pendidikan masa depan adalah Praktek Pendidikan
Berwajah Ke-Indonesia-an, Pendidikan berwawasan global, Tantangan Pengembangan
Sekolah di Masa Depan, dan lain-lain.
2.2.1 Praktek
Pendidikan Berwajah Ke-Indonesia-an
Pendidikan
dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan
pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupan, yakni ;pandangan hidup,
sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga
aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga.
Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan
prinsip-prinsip yang sudah di tetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, walaupun
memiliki rencana dan program yang jelas, tetapi pelaksanaannya relatif longgar
dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan baku dan
tertulis.
Dengan mendasarkan konsep pendidikan
tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan “enculturation”, suatu
proses untuk mengantarkan seseorang hidup dalam suatu budaya tertentu.
Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan
budaya masyarakat yang akan menimbulkan penyimpanagan yang dapat muncul dalam
berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan
keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya
teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat
yang bersangkutan.
2.2.2 Pendidikan
Berwawasan Global
Krisis demi krisis milai dari moneter,
ekonomi, politik, dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa indonesia,
merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus
globalisasi.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan
globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisai yang akan
mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus
melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem
pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat
berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk
itu, pendidkan harus dirancang ssedemikian rupa yang memungkinkan para peserta
didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam
suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Disamping itu,
pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang
dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan
global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus
mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan
diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan
isu-isu global.
2.2.3 Tantangan
Pengembangan Sekolah di Masa Depan
Pengalaman
pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara yang
didunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses
pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pemdidikan merupakan penggerak
utama ( prima mover ) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan didunia barat
telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala sastra dan segala
bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non fisik,
pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diwujudkan
dalam kepercayaan yang tinggi pada “ akal “ dan teknologi,
Memandang masa depan dengan penuh semangat
dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self
efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang
pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi
diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh
perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan
negara-negara maju (developped countries) dari kemiskinan dan
keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa
disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan
negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana
yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor
ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan untuk
mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus
meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga
domestik ke barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil amgka buta huruf
menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education
achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan
pendidikan dikalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai
melihat tanda-tanda “lampu-kuning” pada sistem pendidikan padsa negara-negara
yang sedang berkembang, termasuk di indonesia, menimbulkan problema:
meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan
memberikan tekanan yang berat pada anggarn belanja. Hal ini disebabkan oleh
karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan
teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan
tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai
pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi “pengikut proses kemajuan”.
Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori
dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem
pendidikan barat diterapkan di dunia sedang berkembang.
2.3 Macam-Macam
Paradigma Pendidikan
Macam-macam paradigm pendidikan ada empat, yaitu :
1. Konservatisme
Kecenderungan politik bergantung pada
sejarah dan perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan
lembaga dan proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus
mentaati tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga
menerima nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar
dan konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya[6].
2. Liberalisme
Menekankan cara pemecahan masalah secara ilmiah
Tujuannya menuntaskan masalah praktis
Guru seharusnya memelihara dan memperbaiki
tatanan sosial yang sudah ada
Murid harus mampu memecahkan
masalahnya sendiri
Kaum liberal mendahulukan individu
dari pada masyarakat
Psikologis dikondisikan oleh sosial
Psikologis adalah basis pembuktian
benar-tidaknya pengetahuan
Konsekuensi emosional tidak mungkin
dipengaruhi secara kolektif
Belajar mungkin berlangsung dalam
matriks sosial, tetapi belajar selalu bersifat personal dan pribadi
Kaum liberal memandang sekolah sebagai
lembaga terbuka dan lebih kritis
3. Anarkisme
Lembaga pendidikan bekerja
sama dengan proses-proses politis yang memerosotkan individu, sekedar “sekerup”
kelompok, sekedar butiran kepribadian dalam seronce kesosialan.
Pemerosotan martabat manusia
secara sistematis.
Pendidikan adalah proses
belajar lewat pengalaman sosial.
Sekolah mengabaikan tanggung
jawab mendidik siswa secara sejati
4. Fundamentalisme
Dalam pendidikan mengambil
bentuk gerakan “kembali ke dasar”
Gerakan ini memusatkan pada
suatu sasaran tertentu, seperti mengembalikan pendidikan pada “Tiga R”, yairu
Read, Write, dan Arithmatic
Jam sekolah mengutamakan
pelajaran bahasa nasional, sains, matematika, dan sejarah
Pendidik harus mengambil peran
dominan
Pengajaran menggunakan sistem
menghapal, PR, ujian dilaksanakan sesering mungkin
Rapor dibagikan sesering
mungkin dengan indeks prestasi
Disiplin harus ketat
Kelulusan berdasrkan
serangkaian tes-tes untuk mengetahui tingkat ketrampilan dan pengetahuan
Permainan dan ketrampilan
diberikan di luar jam sekolah
Menghapus bidang studi pilihan
dan meningkatkan yang wajib
Menolak inovasi dan menekankan
pada konsep
Program layanan sosial di
sekolah menyita waktu sekolah
Memasukkan “patriotirme” dan
nasionalisme di sekolah
2.4 Perlunya
Paradigma Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan diperlukan untuk
membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas akan membawa pendididkan
sebagai proses pembentujan manusia Indonesia seutuhnya. Paradigma pendidikan
penting untuk diperbarui menjadi system pembelajaran yang lebih bertumpu pada
teori kognitif dan konstruktifistik. Pembelajaran akan berfokus pada
pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural,
mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks
sosial dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan prespektif budaya. Hal ini
sesuai dengan yang disampaikan mentri pendidikan nasional yang menyatakan bahwa
secara filosofis pendidikan ditantang untuk melakukan redifinisi tentang
tujuan, fungsi, dan hakikat pendidikan yang berperan sebagai “human education
for all human being”. Dengan demikian, secara filosofis pendidikan harus
memiliki keseimbangan dalam peranananya membangun peserta didik sebagai warga
dunia, warga bangsa, dan warga masyarakat.
Hal ini juga diperlukan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan terbesar dari lembaga pendidikan kita selama ini yaitu pendidikan
yang tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas sehingga tidak
mengherankan bila keluaran pendidikan kita hanya menjadi manusia pencari kerja
yang tidak berdaya bukan manusia yang kreatif pencipta keterksitsn
kesejahteraan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran pengembangan
potensi siswa harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Pengembangan
potensi siswa yang tidak seimbang akan menjadikan pendidikan cenderung lebih
peduli pada perkembangan satu aspek kepribadian tertentu saja, sehingga sangat
keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran
saja.Sebaiknya guru juga berupaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan
kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.
Jika duniapendidikan berhasil melakukan
tugas ini maka pada gilirannya masyarakat kita dimasa depan akan
berkembang menjadi masyarakat yang berkualitas secara intelektual dan moral.
2.5 Pembelajaran Sebagai Pilar Utama
Pendidikan
Pada hakikatnya, pendidikan adalah belajar
(learning). Pendidikan mertumpu pada empat pilar yaitu:
1. Learning to know
Learning to know adalah upaya memahami
instrument-instrumen baik sebagai alat maupun tujuan. Sebagai alat pengetahuan
diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek
lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka
mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang
diperlukan. Sebagai tujuan maka pengetahuan akan bermanfaat dalam rangka
peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di adalam kehidupanya.
2. Learning to do
Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana
mengajarkan anak-anak untuk mempraktikan segala sesuatu yang telah
dipelajarinya dan dapat menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang telah
diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan dimasa depan.
3. Learning to live together,
learning to live with others
Learning to live together, learning to live
with others, pada dasarnya adalah mengajarkan melatih dan membimbing peserta didik
agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi
prasangka-prasangka yang buruk terhadap orang laen serta menjauhi konflik agar
tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup.
4. Learning to be
Learning to be menekankan bahwa melalui
kegiatan pembelajaran setiap siswa harus terus didorong agar mampu
memberdayakan dirinya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung
jawab sendiri.
Kedudukan keempat pilar pendidikan yang
dipaparkan tersebut merupakan misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh
pendidikan. Melalui kegiatan belajar mnegtahui, belajar berbuat, belajar hidup
bersama dan menjadi diri sendiri dan didasari oleh keinginan yang
sungguh-sungguh maka akan semakin luas pengetahuan seseorang tentang
nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai perubahan
dinamika yang terjadi.
Pembelajaran Sebagai Proses Pemberdayaan Diri
Dalam proses pembelajaran, pengenalan
terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya
pemberdayaan diri
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut
untuk mampu membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami
kekuatan serta kemampuan yang mereka miliki untuk selanjutnya memberikan
motifasi agar siswa terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin agar
mampu memberdayakan dirinya dalam menghadapi berbagai masalah.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945, Pendidikan
seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pendidikan adalah usaha
untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang berfikir
kreatif, mandiri dan dapat membangun dirinya dan masyarakatnya.Pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
dalam praktik kehidupan dalam masyarakat.
2.6 Paradigma Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran
Konstruktifisme merupakan respon terhadap
berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang
menginginkan peran aktif siswa dalam memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
Konstruktifisme merupakan paradigm
alternative pembelajaran yang muncul sebagai revolusi ilmiah yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pembelajaran dan paradigma konstruktifisme
ini lenih menitik beratkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan siswa
dapat memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis.
2.7 Unsur-unsur
Karakter
Unsur
penting yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam kaitannya dengan
terbentuknya karakter pada peserta didik adalah unsur dimensi manusia secara
psikologis dan sosiologis. Karena kedua unsur tersebut akan sangat memudahkan
guru selaku transformator untuk dapat membimbing, membina, sekaligus mendidik
peserta didik kepada suatu karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang akan
ditanamkan.
Fatchul
Mu’in (2011), memasukkan unsur tersebut ke dalam; sikap, emosi, kepercayaan,
kebiasaan dan kemauan, dan konsep diri (self-conception). Kelima unsur
inilah menurutnya yang perlu ditanamkan kepada peserta didik sehingga
pertumbuhan dan perkembangan karakter peserta didik ke arah tujuan yang
diinginkan akan tercapai.
1. Sikap
Sikap merupakan konsep yang menjadi
predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perilaku tertentu
sehingga sikap bukan hanya berupa gambaran kondisi internal psikologis yang murni
dari individu, melainkan sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya
individual.
Keth Harrel mendefinisikan sikap dengan
mengutip American Herritage Dictionary, bahwa sikap adalah cara
berpikir atau merasakan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan. (Mu’min,
2011: 168)
2. Emosi
Kata emosi diadopsi dari
bahasa latin emovere (e berarti luar dan movere berarti
bergerak), dan dalam bahasa Perancis emouvoir yang berarti
kegembiraan. Jadi emosi bisa diartikan sebagai gejala dinamis dalam situasi
yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku,
dan juga merupakan proses fisiologis[6]. Misalnya, saat kita merespons sesuatu yang
melibatkan emosi, maka pada saat itu juga kita mengetahui makna apa yang kita
hadapi (kesadaran). Emosi juga identik dengan perasaan yang kuat.
Daniel Goleman (Mu’in: 2011), memberikan
pengertian emosi sebagai kemampuan jiwa manusia untuk merasakan gejala yang
disebabkan pengaruh dari luar sehingga menyebabkan marah, sedih, takut, nikmat,
cinta, kaget, jengkel, dan perasaan malu. Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa
emosi adalah sebagai bagian dari kecerdasan, karena emosi merupakan komponen
yang tak terpisahkan dari kecerdasan walaupun emosi bukanlah kecerdasan. Akan
tetapi dengan emosi bisa mendukung kecerdasan maupun kebodohan. Belakangan ini,
banyak para ahli yang mengusung adanya kecerdasan emosional, suatu langkah
mencerdaskan diri dengan memaksimalkan manajemen emosi, dan mencoba mengkritik
efek-efek buruk dari penggunaan kecerdasan intelektual semata.
Kata emosi yang mendapatkan konotasi
negatif, mendapatkan kritikan dari Erich Fromm, ia menyatakan bahwa tidak
selamanya emosi itu negatif. Karena menurutnya sebagian masyarakat masih banyak
yang belum mampu memelihara dan mendorong emosinya keranah
keberadaannya yang tepat kepada pemikiran yang kreatif (kecerdasan) sehingga
menghasilkan sentimentalis[7] dan
sifat yang tidakidealisme[8].
3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif
manusia dari factor sosiopsikologis, artinya sesuatu itu dianggap “benar” atau
“salah" berdasarkan bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi. Jadi
sebagian kepercayaan itu terbentuk oleh pengetahuan. Kepercayaan memberikan
prespektif pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi
manusia untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Apa yang kita ketahui
membuat kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil
berdasarkan apa yang kita ketahui.
Secara epistemologis, kebenaran
pengetahuan manusia diperoleh melalui tiga cara, yaitu; pengetahuan
sains yaitu kebenarannya ditentukan secara logis dan bukti empiris (eksperiman), pengetahuan
filsafat[9] yaitu
kebenaran itu diukur dengan logis atau tidak logis, dan pengetahuan
mistik yaitu kebenaran diukur atau ditentukan oleh rasa, yakin, dan
kadang-kadang empiris.
Membangun kepercayaan sangat berguna dalam
suatu hubungan. Jika hubungan memiliki basis kepercayaan yang kuat, maka
hubungan itu akan baik.
4. Kebiasaan dan
kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari
factor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap,
berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Kebiasaan merupakan hasil
pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang
diulang berkali-kali.
Sedangkan kemauan erat kaitannya dengan
tindakan manusia, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang
merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richard Dewey dan W.J.
Humber (Mu’in: 2011), mendefinisikan kemauan sebagai hasil keinginan untuk
mencapai tujuan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh
kecerdasan dan energi.
5. konsep diri (self-conception)
proses konsepsi diri merupakan proses
totalitas, baik sadar maupun tidak yang dilakukan dalam usaha bagaimana
karakter dan diri itu dibentuk. Konsepsi diri adalah tentang bagaimana manusia
itu harus membangun dirinya, apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara
menempatkan dirinya dalam kehidupan.
Dalam ilmu psikologi sosial, konsep diri
berkaitan dengan fakta bahwa manusia tidak hanya menanggapi orang lain, tetapi
juga bagaimana manusia itu meresepsi dirinya sendiri.
Menurut Chrales Horton Cooley, manusia
dalam banyak hal disebutkan dalam teorinya sebagai gejala looking-glass
self yaitu membayangkan dirinya sebagai orang lain di dalam
benaknya sehingga munculah penilaian bahwa sebelum mengenal diri kita, terlebih
dahulu kita harus mengenal orang lain. Dan inilah yang disebut dengan konsep
diri atau self-conception.
William D. Brooks mendefinisikan konsep
diri sebagai, “Those physical, social, and psychological perceptions of
ourselves that we had derived from experiences and our iteraction with others.”
Terbentuknya fisik, hubungan social dan kejiwaan manusia sangat dipengaruhi
oleh pengamatan dan pemahamannya dari pengalaman dan interaksinya dengan orang
lain.
Dalam ilmu psikologi social, konsep diri
dibagi kedalam dua komponen penting, yaitu komponen kognitif[10] dinamakan
“citra diri” (self-image), dan komponen afektif[11]dinamakan
“harga diri” (self-esteem). Kedua komponen tersebut sangat berperan
dalam membangun karakter, yang berkaitan dengan tingkah laku dan cara
berkomunikasi dengan orang lain.
Jadi, harga diri dan citra diri merupakan
dua komponen yang harus dimilikioleh manusia, karena harga diri yang rendah
akan membuat citra diri seseorang juga rendah. Pada akhirnya membuat seseorang
kehilangan kesadaran bahwa dirinya memiliki potensi (komponen afektif)
untuk mengubah diri menjadi lebih baik.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, M. 2003. Ilmu
Perbandingan Pendidikan. Jakarta: Golden Terayon Press.
Idris, Zahara dan Lisma
Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana.
Ihsan, Fuad. 2008.
Dasar Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Pidarta, Made. 2007.
Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.