Dalam pemaknaan kata “ paradigma “ mengandung arti
model pola skema. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model atau pola
yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis,
ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun
kolektif untuk masa depan.
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain.[1] ; Dalam Kamus Psikologi (Daulay, 2009) di definisikan “a
consistent and enduring property or quality by means of wchich a person,
object, or event can be identified” (Chaplin, 1973:79). ;
Dalam Kamus Filsafat karakter di definisikan, character (bahasa Yunani, character, dari charassein, menajamkan, mengukir, tanda atau bukti yang dicetak pada sesuatu untuk menunjukkan hal-hal seperti kepemilikan, asal-usul, nama atau merek). Crhacter mempunyai arti:
Dalam Kamus Filsafat karakter di definisikan, character (bahasa Yunani, character, dari charassein, menajamkan, mengukir, tanda atau bukti yang dicetak pada sesuatu untuk menunjukkan hal-hal seperti kepemilikan, asal-usul, nama atau merek). Crhacter mempunyai arti:
1) Sebutan bagi jumlah total sifat
seseorang,yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, hal-hal yang tidak
disukai, kemampuan, bakat, potensi, nilai, dan pola pikir.
2)
Struktur yang terkait secara relatif atau sisi sebuah kepribadian yang
menyebabkan sifat seperti itu.
3) Kerangka kerja sebuah kepribadian yang secar
relatif telah ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat tertentu itu dalam meujudkan
dirinya. (Kamus Filsafat, 1995: 50-51).
Menurut
Simon Philips (2008) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu
system, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
Bila
disimpulkan, pengertian karakter berarti sikap mental yang menjadi watak,
tabiat, dan bawaan seseorang yang menjadi dasar dari tindakan maupun
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Jadi
istilah pembentukan karakter dari pengertian karakter dalam penelitian ini
adalah usaha maupun proses yang dilakukan oleh pihak sekolah dalam
mengarahkan, membimbing dan mendidik peserta didik yang bersifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti dengan membentuk sistem kepercayaan dalam
pola pikir[5] peserta
didik yang akan mempengaruhi perilaku maupun karakternya sesuai dengan nilai
atau norma-norma Islam.
Landasan filosofis mengandung arti “ the love for
wisdom “ menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan :
lovers of wisdom -lover of succes - lover of pleasure. Sedangkan acuan
pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan
nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana
manusia harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat
tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma
terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural,
macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses
mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
Dengan demikian,paradigma merupakan sebuah acuan yang
dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal atau bangsa ) maupun
referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup
yang lebih baik.Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila
“merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama )
yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
2.2 Paradigma
Pendidikan Masa Depan
Paradigma pendidikan masa depan di sini masih
berbentuk paradigma pendidikan yang bersifat global, dalam artian masih belum
jelas isi dari pada paradigma pendidikan masa depan itu sendiri. Diantara isi
dari pada paradigma pendidikan masa depan adalah Praktek Pendidikan Berwajah
Ke-Indonesia-an, Pendidikan berwawasan global, Tantangan Pengembangan Sekolah
di Masa Depan, dan lain-lain.
2.2.1 Praktek Pendidikan Berwajah
Ke-Indonesia-an
Pendidikan
dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan
pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupan, yakni ;pandangan hidup,
sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga
aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga.
Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan
prinsip-prinsip yang sudah di tetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, walaupun
memiliki rencana dan program yang jelas, tetapi pelaksanaannya relatif longgar
dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan
kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan baku dan
tertulis.
Dengan mendasarkan konsep pendidikan tersebut, maka
sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan “enculturation”, suatu
proses untuk mengantarkan seseorang hidup dalam suatu budaya tertentu.
Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan
budaya masyarakat yang akan menimbulkan penyimpanagan yang dapat muncul dalam
berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan
keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek
pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya
teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat
yang bersangkutan.
2.2.2 Pendidikan Berwawasan Global
Krisis demi krisis milai dari moneter, ekonomi,
politik, dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa indonesia, merupakan bukti
bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan
globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisai yang akan
mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus
melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem
pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat
berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk
itu, pendidkan harus dirancang ssedemikian rupa yang memungkinkan para peserta
didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam
suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Disamping itu,
pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan
segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang
menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang
dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global
adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus
mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan
diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan
isu-isu global.
2.2.3 Tantangan Pengembangan
Sekolah di Masa Depan
Pengalaman
pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara yang
didunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses
pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pemdidikan merupakan penggerak
utama ( prima mover ) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan didunia barat
telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala sastra dan segala
bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non fisik,
pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diwujudkan
dalam kepercayaan yang tinggi pada “ akal “ dan teknologi,
Memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya
diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy)
untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan
yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka.
Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang
besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang
lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara
maju (developped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada
masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini,
sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang
berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai
negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang
sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan untuk mengembangkan pendidikan.
Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan
tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke barat mendapatkan
prioritas yang tinggi. Hasil amgka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net
enrollment ratio naik, education achievement dari
penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan
dikalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat
tanda-tanda “lampu-kuning” pada sistem pendidikan padsa negara-negara yang
sedang berkembang, termasuk di indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan
generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan
yang berat pada anggarn belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di
luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan
cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya
pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan
menjadi “pengikut proses kemajuan”. Mulailah para ahli, khususnya di bidang
pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor
dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia
sedang berkembang.
2.3 Macam-Macam
Paradigma Pendidikan
Macam-macam paradigm pendidikan ada empat, yaitu :
1. Konservatisme
Kecenderungan politik bergantung pada sejarah dan
perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan lembaga dan
proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus mentaati
tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga menerima
nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar dan
konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya[6].
2. Liberalisme
1.
Menekankan cara pemecahan masalah secara ilmiah
2.
Tujuannya
menuntaskan masalah praktis
3.
Guru seharusnya
memelihara dan memperbaiki tatanan sosial yang sudah ada
4.
Murid harus mampu memecahkan masalahnya sendiri
5.
Kaum liberal mendahulukan individu dari pada masyarakat
6.
Psikologis dikondisikan oleh social
7.
Psikologis adalah basis pembuktian benar-tidaknya pengetahuan
8.
Konsekuensi emosional tidak mungkin dipengaruhi secara kolektif
9.
Belajar mungkin berlangsung dalam matriks sosial, tetapi belajar selalu
bersifat personal dan pribadi
10.
Kaum liberal memandang sekolah sebagai lembaga terbuka dan lebih kritis
3. Anarkisme
1.
Lembaga
pendidikan bekerja sama dengan proses-proses politis yang memerosotkan
individu, sekedar “sekerup” kelompok, sekedar butiran kepribadian dalam seronce kesosialan.
2.
Pemerosotan
martabat manusia secara sistematis.
3.
Pendidikan
adalah proses belajar lewat pengalaman sosial.
4.
Sekolah mengabaikan tanggung jawab mendidik siswa
secara sejati
4. Fundamentalisme
1.
Dalam pendidikan mengambil bentuk gerakan
“kembali ke dasar”
2.
Gerakan ini
memusatkan pada suatu sasaran tertentu, seperti mengembalikan pendidikan pada
“Tiga R”, yairu Read, Write, dan Arithmatic
3.
Jam sekolah
mengutamakan pelajaran bahasa nasional, sains, matematika, dan sejarah
4.
Pendidik harus
mengambil peran dominan
5.
Pengajaran
menggunakan sistem menghapal, PR, ujian dilaksanakan sesering mungkin
6.
Rapor
dibagikan sesering mungkin dengan indeks prestasi
7.
Disiplin
harus ketat
8.
Kelulusan berdasrkan serangkaian tes-tes untuk
mengetahui tingkat ketrampilan dan pengetahuan
9.
Permainan
dan ketrampilan diberikan di luar jam sekolah
10.
Menghapus bidang
studi pilihan dan meningkatkan yang wajib
11.
Menolak inovasi
dan menekankan pada konsep
12.
Program layanan sosial di sekolah menyita
waktu sekolah
13.
Memasukkan
“patriotirme” dan nasionalisme di sekolah
2.4 Perlunya
Paradigma Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan diperlukan untuk membangun
masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas akan membawa pendididkan sebagai
proses pembentujan manusia Indonesia seutuhnya. Paradigma pendidikan penting
untuk diperbarui menjadi system pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori
kognitif dan konstruktifistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan
kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong
siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial dan
belajar dimulai dari pengetahuan awal dan prespektif budaya. Hal ini sesuai
dengan yang disampaikan mentri pendidikan nasional yang menyatakan bahwa secara
filosofis pendidikan ditantang untuk melakukan redifinisi tentang tujuan,
fungsi, dan hakikat pendidikan yang berperan sebagai “human education for all
human being”. Dengan demikian, secara filosofis pendidikan harus memiliki
keseimbangan dalam peranananya membangun peserta didik sebagai warga dunia,
warga bangsa, dan warga masyarakat.
Hal ini juga diperlukan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan terbesar dari lembaga pendidikan kita selama ini yaitu
pendidikan yang tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas sehingga
tidak mengherankan bila keluaran pendidikan kita hanya menjadi manusia pencari
kerja yang tidak berdaya bukan manusia yang kreatif pencipta keterksitsn
kesejahteraan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran pengembangan potensi siswa
harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Pengembangan potensi siswa yang
tidak seimbang akan menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada
perkembangan satu aspek kepribadian tertentu saja, sehingga sangat keliru jika
guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran saja.Sebaiknya guru
juga berupaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan
nilai-nilai yang diinginkan.
Jika duniapendidikan berhasil melakukan tugas ini maka
pada gilirannya masyarakat kita dimasa depan akan berkembang menjadi masyarakat
yang berkualitas secara intelektual dan moral.
2.5 Pembelajaran Sebagai Pilar Utama
Pendidikan
Pada hakikatnya, pendidikan adalah belajar (learning).
Pendidikan mertumpu pada empat pilar yaitu:
1. Learning to know
Learning to know adalah upaya memahami instrument-instrumen baik
sebagai alat maupun tujuan. Sebagai alat pengetahuan diharapkan akan memberikan
kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka
dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan
keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan.
Sebagai tujuan maka pengetahuan akan bermanfaat dalam rangka peningkatan
pemahaman, pengetahuan serta penemuan di adalam kehidupanya.
2. Learning to do
Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan
anak-anak untuk mempraktikan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat
menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan
pekerjaan-pekerjaan dimasa depan.
3. Learning to live together, learning to live with
others
Learning to live together, learning to live with
others, pada dasarnya adalah mengajarkan melatih
dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui
komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka yang buruk terhadap orang
laen serta menjauhi konflik agar tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup.
4. Learning to be
Learning to be menekankan bahwa melalui kegiatan
pembelajaran setiap siswa harus terus didorong agar mampu memberdayakan dirinya
sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri.
Kedudukan keempat pilar pendidikan yang dipaparkan
tersebut merupakan misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan.
Melalui kegiatan belajar mnegtahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan
menjadi diri sendiri dan didasari oleh keinginan yang sungguh-sungguh maka akan
semakin luas pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai positif, tentang orang
lain serta tentang berbagai perubahan dinamika yang terjadi.
Pembelajaran Sebagai Proses Pemberdayaan Diri
Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri
sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu
membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan serta
kemampuan yang mereka miliki untuk selanjutnya memberikan motifasi agar siswa
terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin agar mampu memberdayakan
dirinya dalam menghadapi berbagai masalah.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945, Pendidikan seharusnya
mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pendidikan adalah usaha untuk
memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang berfikir
kreatif, mandiri dan dapat membangun dirinya dan masyarakatnya.Pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
dalam praktik kehidupan dalam masyarakat.
2.6 Paradigma Konstruktivisme Dalam
Pembelajaran
Konstruktifisme merupakan respon terhadap
berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan
peran aktif siswa dalam memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
Konstruktifisme merupakan paradigm alternative
pembelajaran yang muncul sebagai revolusi ilmiah yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pembelajaran dan paradigma konstruktifisme ini lenih
menitik beratkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan siswa dapat
memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis.
2.7 Unsur-unsur
Karakter
Unsur
penting yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam kaitannya dengan
terbentuknya karakter pada peserta didik adalah unsur dimensi manusia secara
psikologis dan sosiologis. Karena kedua unsur tersebut akan sangat memudahkan
guru selaku transformator untuk dapat membimbing, membina, sekaligus mendidik
peserta didik kepada suatu karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang akan
ditanamkan.
Fatchul
Mu’in (2011), memasukkan unsur tersebut ke dalam; sikap, emosi, kepercayaan,
kebiasaan dan kemauan, dan konsep diri (self-conception). Kelima unsur
inilah menurutnya yang perlu ditanamkan kepada peserta didik sehingga
pertumbuhan dan perkembangan karakter peserta didik ke arah tujuan yang
diinginkan akan tercapai.
1. Sikap
Sikap merupakan konsep yang menjadi predisposisi untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perilaku tertentu sehingga sikap bukan
hanya berupa gambaran kondisi internal psikologis yang murni dari individu,
melainkan sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual.
Keth Harrel mendefinisikan sikap dengan mengutip American
Herritage Dictionary, bahwa sikap adalah cara berpikir atau merasakan dalam
kaitannya dengan sejumlah persoalan. (Mu’min, 2011: 168)
2. Emosi
Kata emosi diadopsi dari bahasa
latin emovere (e berarti luar dan movere berarti
bergerak), dan dalam bahasa Perancis emouvoir yang berarti
kegembiraan. Jadi emosi bisa diartikan sebagai gejala dinamis dalam situasi
yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku,
dan juga merupakan proses fisiologis[6]. Misalnya, saat kita merespons sesuatu yang
melibatkan emosi, maka pada saat itu juga kita mengetahui makna apa yang kita
hadapi (kesadaran). Emosi juga identik dengan perasaan yang kuat.
Daniel Goleman (Mu’in: 2011), memberikan pengertian
emosi sebagai kemampuan jiwa manusia untuk merasakan gejala yang disebabkan
pengaruh dari luar sehingga menyebabkan marah, sedih, takut, nikmat, cinta,
kaget, jengkel, dan perasaan malu. Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa emosi
adalah sebagai bagian dari kecerdasan, karena emosi merupakan komponen yang tak
terpisahkan dari kecerdasan walaupun emosi bukanlah kecerdasan. Akan tetapi
dengan emosi bisa mendukung kecerdasan maupun kebodohan. Belakangan ini, banyak
para ahli yang mengusung adanya kecerdasan emosional, suatu langkah
mencerdaskan diri dengan memaksimalkan manajemen emosi, dan mencoba mengkritik
efek-efek buruk dari penggunaan kecerdasan intelektual semata.
Kata emosi yang mendapatkan konotasi negatif,
mendapatkan kritikan dari Erich Fromm, ia menyatakan bahwa tidak selamanya
emosi itu negatif. Karena menurutnya sebagian masyarakat masih banyak yang
belum mampu memelihara dan mendorong emosinya keranah keberadaannya
yang tepat kepada pemikiran yang kreatif (kecerdasan) sehingga
menghasilkan sentimentalis[7] dan
sifat yang tidakidealisme[8].
3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari
factor sosiopsikologis, artinya sesuatu itu dianggap “benar” atau “salah"
berdasarkan bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi. Jadi sebagian
kepercayaan itu terbentuk oleh pengetahuan. Kepercayaan memberikan prespektif
pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia
untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Apa yang kita ketahui membuat
kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan apa
yang kita ketahui.
Secara epistemologis, kebenaran
pengetahuan manusia diperoleh melalui tiga cara, yaitu; pengetahuan
sains yaitu kebenarannya ditentukan secara logis dan bukti empiris (eksperiman), pengetahuan
filsafat[9] yaitu
kebenaran itu diukur dengan logis atau tidak logis, dan pengetahuan
mistik yaitu kebenaran diukur atau ditentukan oleh rasa, yakin, dan
kadang-kadang empiris.
Membangun kepercayaan sangat berguna dalam suatu
hubungan. Jika hubungan memiliki basis kepercayaan yang kuat, maka hubungan itu
akan baik.
4. Kebiasaan dan kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari factor
sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap,
berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Kebiasaan merupakan hasil
pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang
diulang berkali-kali.
Sedangkan kemauan erat kaitannya dengan tindakan
manusia, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan
usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richard Dewey dan W.J. Humber
(Mu’in: 2011), mendefinisikan kemauan sebagai hasil keinginan untuk mencapai
tujuan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh kecerdasan dan
energi.
5. konsep diri (self-conception)
proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik
sadar maupun tidak yang dilakukan dalam usaha bagaimana karakter dan diri itu
dibentuk. Konsepsi diri adalah tentang bagaimana manusia itu harus membangun
dirinya, apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara menempatkan dirinya dalam
kehidupan.
Dalam ilmu psikologi sosial, konsep diri berkaitan
dengan fakta bahwa manusia tidak hanya menanggapi orang lain, tetapi juga
bagaimana manusia itu meresepsi dirinya sendiri.
Menurut Chrales Horton Cooley, manusia dalam banyak
hal disebutkan dalam teorinya sebagai gejala looking-glass self yaitu
membayangkan dirinya sebagai orang lain di dalam benaknya sehingga munculah
penilaian bahwa sebelum mengenal diri kita, terlebih dahulu kita harus mengenal
orang lain. Dan inilah yang disebut dengan konsep diri atau self-conception.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai,
“Those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we
had derived from experiences and our iteraction with others.” Terbentuknya
fisik, hubungan social dan kejiwaan manusia sangat dipengaruhi oleh pengamatan
dan pemahamannya dari pengalaman dan interaksinya dengan orang lain.
Dalam ilmu psikologi social, konsep diri dibagi
kedalam dua komponen penting, yaitu komponen kognitif[10] dinamakan
“citra diri” (self-image), dan komponen afektif[11]dinamakan
“harga diri” (self-esteem). Kedua komponen tersebut sangat berperan
dalam membangun karakter, yang berkaitan dengan tingkah laku dan cara
berkomunikasi dengan orang lain.
Jadi, harga diri dan citra diri merupakan dua komponen
yang harus dimilikioleh manusia, karena harga diri yang rendah akan membuat
citra diri seseorang juga rendah. Pada akhirnya membuat seseorang kehilangan
kesadaran bahwa dirinya memiliki potensi (komponen afektif) untuk
mengubah diri menjadi lebih baik.