Blogger Widgets PARADIGMA PENDIDIKAN | RINI .alert { background: #DDE4FF; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

My Facebook

Facebook
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 28 Februari 2014

PARADIGMA PENDIDIKAN



Paradigme Pendidikan
Dalam pemaknaan kata “ paradigma “ mengandung arti model pola skema. Dengan demikian paradigma merupakan sebuah model atau pola yang terskema dari beberapa unsur yang tersistematis baik secara filosofis, ideologis, untuk dijadikan acuan visi hidup baik secara personal maupun kolektif untuk masa depan.
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.[1] ; Dalam Kamus Psikologi (Daulay, 2009) di definisikan “a consistent and enduring property or quality by means of wchich a person, object, or event can be identified” (Chaplin, 1973:79). ;
Dalam Kamus Filsafat karakter di definisikan, character (bahasa Yunani, character, dari charassein, menajamkan, mengukir, tanda atau bukti yang dicetak pada sesuatu untuk menunjukkan hal-hal seperti kepemilikan, asal-usul, nama atau merek). Crhacter mempunyai arti:
1) Sebutan bagi jumlah total sifat seseorang,yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, hal-hal yang tidak disukai, kemampuan, bakat, potensi, nilai, dan pola pikir.
 2) Struktur yang terkait secara relatif atau sisi sebuah kepribadian yang menyebabkan sifat seperti itu.
3) Kerangka kerja sebuah kepribadian yang secar relatif telah ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat tertentu itu dalam meujudkan dirinya. (Kamus Filsafat, 1995: 50-51).     
            Menurut Simon Philips (2008) karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu system, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.
            Bila disimpulkan, pengertian karakter berarti sikap mental yang menjadi watak, tabiat, dan bawaan seseorang yang menjadi dasar dari tindakan maupun perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
            Jadi istilah pembentukan karakter dari pengertian karakter dalam penelitian ini adalah usaha maupun proses yang dilakukan oleh  pihak sekolah dalam mengarahkan, membimbing dan mendidik peserta didik yang bersifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti  dengan membentuk sistem kepercayaan dalam pola pikir[5] peserta didik yang akan mempengaruhi perilaku maupun karakternya sesuai dengan nilai atau norma-norma Islam.
Landasan filosofis mengandung arti “ the love for wisdom “ menurut Pythagoras dan kualitas manusia menjadi tiga tingkatan : lovers of wisdom -lover of succes - lover of pleasure. Sedangkan acuan pemaknaan “ideologi” merupakan teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai daripadanya ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup atau bertindak. Kekhasan dari ideologi selalu dimuat tuntutan-tuntutan mutlak yang tidak boleh dipersoalkan. Cakupan dalam paradigma terdiri dari unsur nilai-nilai, pelembagaan secara fungsional dan struktural, macam-macam tujuan dan kepentingan yang diutamakan, cara-cara dan proses mencapainya, mengembangkan dalam sikap dan prilaku.
Dengan demikian,paradigma merupakan sebuah acuan yang dibuat dari makna fiosofis suatu bangsa ( kearifan lokal atau bangsa ) maupun referensi ideologi yang berasal dari doktrin agama untuk dijadikan visi hidup yang lebih baik.Bagi bangsa Indonesia Falsafah atau ideologi “ Pancasila “merupakan paradigma yang lahir dari kearifan Bangsa dan ideologis ( agama ) yang dijadikan sebagai visi hidup dan berorganisasi keseharian[1]
2.2  Paradigma Pendidikan Masa Depan
Paradigma pendidikan masa depan di sini masih berbentuk paradigma pendidikan yang bersifat global, dalam artian masih belum jelas isi dari pada paradigma pendidikan masa depan itu sendiri. Diantara isi dari pada paradigma pendidikan masa depan adalah Praktek Pendidikan Berwajah Ke-Indonesia-an, Pendidikan berwawasan global, Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan, dan lain-lain.

2.2.1    Praktek Pendidikan Berwajah Ke-Indonesia-an
  Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri seseorang tiga aspek dalam kehidupan, yakni ;pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilaksanakan di sekolah, luar sekolah dan keluarga. Kegiatan di sekolah direncanakan dan dilaksanakan secara ketat dengan prinsip-prinsip yang sudah di tetapkan. Pelaksanaan di luar sekolah, walaupun memiliki rencana dan program yang jelas, tetapi pelaksanaannya relatif longgar dengan berbagai pedoman yang relatif fleksibel disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lokal. Pelaksanaan pendidikan dalam keluarga dilaksanakan baku dan tertulis.
Dengan mendasarkan konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan “enculturation”, suatu proses untuk mengantarkan seseorang hidup dalam suatu budaya tertentu. Konsekuensi dari pernyataan ini, maka praktek pendidikan harus sesuai dengan budaya masyarakat yang akan menimbulkan penyimpanagan yang dapat muncul dalam berbagai bentuk goncangan-goncangan kehidupan individu dan masyarakat. Tuntutan keharmonisan antara pendidikan dan kebudayaan bisa pula dipahami, sebab praktek pendidikan harus mendasarkan pada teori-teori pendidikan dan giliran berikutnya teori-teori pendidikan harus bersumber dari suatu pandangan hidup masyarakat yang bersangkutan.  
2.2.2    Pendidikan Berwawasan Global
Krisis demi krisis milai dari moneter, ekonomi, politik, dan kepercayaan yang tengah melanda bangsa indonesia, merupakan bukti bahwa sebagai bangsa kita sudah terseret dalam arus globalisasi.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisai yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidkan harus dirancang ssedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.
Premis untuk memulai pendidikan berwawasan global adalah informasi dan pengetahuan tentang bagian dunia yang lain harus mengembangkan kesadaran kita bahwa kita akan dapat memahami lebih baik keadaan diri kita sendiri apabila kita memahami hubungan dengan masyarakat lain dan isu-isu global.
2.2.3    Tantangan Pengembangan Sekolah di Masa Depan
   Pengalaman pembangunan di negara-negara yang sudah maju, khususnya negara-negara yang didunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pemdidikan merupakan penggerak utama ( prima mover ) bagi pembangunan. Secara fisik pendidikan didunia barat telah berhasil memenuhi kebutuhan tenaga kerja dari segala sastra dan segala bidang yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Dari aspek non fisik, pendidikan telah berhasil menanamkan semangat dan jiwa modern, yang diwujudkan dalam kepercayaan yang tinggi pada “ akal “ dan teknologi,
Memandang masa depan dengan penuh semangat dan percaya diri, dan kepercayaan bahwa diri mereka mempunyai kemampuan (self efficacy) untuk menciptakan masa depan sebagaimana yang mereka dambakan.
Negara-negara sedang berkembang memandang pembangunan yang telah terjadi di dunia barat seakan-akan merupakan cermin bagi diri mereka. Para pemimpin dan ilmiawan di negara sedang berkembang menaruh perhatian yang besar akan peran pendidikan dalam usaha mereka untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan modern yang telah berhasil mengantarkan negara-negara maju (developped countries) dari kemiskinan dan keterbelakangan pada masa lampau sehingga mencapai tingkat seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, sudah barang tentu akan berhasil pula mengantarkan negara-negara yang sedang berkembang mencapai tingkat pembangunan sebagaimana yang telah dicapai negara-negara maju. Maka pendidikan modern barat pun diimpor ke negara yang sedang berkembang. Biaya dan tenaga diarahkan untuk mengembangkan pendidikan. Anggaran belanja di sektor pendidikan terus meningkat. Usaha mendatangkan tenaga ahli dari barat dan mengirim tenaga domestik ke barat mendapatkan prioritas yang tinggi. Hasil amgka buta huruf menurun dengan drastis, gross atau net enrollment ratio naik, education achievement dari penduduk semakin tinggi.
Namun, di balik keberhasilan menaikkan pendidikan dikalangan masyarakat, pada tahun 1970-80-an, para ahli mulai melihat tanda-tanda “lampu-kuning” pada sistem pendidikan padsa negara-negara yang sedang berkembang, termasuk di indonesia, menimbulkan problema: meninggalkan generasi muda dengan pendidikan tetapi tanpa pekerjaan dan memberikan tekanan yang berat pada anggarn belanja. Hal ini disebabkan oleh karena perkembangan di luar pendidikan, khususnya di dunia ekonomi dan teknologi, berlangsung dengan cepat sehingga perkembangan sektor pendidikan tertinggal di belakang. Akibatnya pendidikan tidak lagi berfungsi sebagai pendorong proses kemajuan, melainkan menjadi “pengikut proses kemajuan”. Mulailah para ahli, khususnya di bidang pendidikan mempertanyakan teori-teori dan sistem pendidikan yang mereka impor dari barat: relevankah teori dan sistem pendidikan barat diterapkan di dunia sedang berkembang.
2.3  Macam-Macam Paradigma Pendidikan
Macam-macam paradigm pendidikan ada empat, yaitu :
1.   Konservatisme
Kecenderungan politik bergantung pada sejarah dan perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan lembaga dan proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus mentaati tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga menerima nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar dan konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya[6].
2.      Liberalisme
1.      Menekankan cara pemecahan masalah secara ilmiah
2.      Tujuannya menuntaskan masalah praktis
3.      Guru seharusnya memelihara dan memperbaiki tatanan sosial yang sudah ada
4.      Murid harus mampu memecahkan masalahnya sendiri
5.      Kaum liberal mendahulukan individu dari pada masyarakat
6.      Psikologis dikondisikan oleh social
7.      Psikologis adalah basis pembuktian benar-tidaknya pengetahuan
8.      Konsekuensi emosional tidak mungkin dipengaruhi secara kolektif
9.      Belajar mungkin berlangsung dalam matriks sosial, tetapi belajar selalu bersifat personal dan pribadi
10.  Kaum liberal memandang sekolah sebagai lembaga terbuka dan lebih kritis
3.      Anarkisme
1.      Lembaga pendidikan bekerja sama dengan proses-proses politis yang memerosotkan individu, sekedar “sekerup” kelompok, sekedar butiran kepribadian dalam seronce kesosialan.
2.      Pemerosotan martabat manusia secara sistematis.
3.       Pendidikan adalah proses belajar lewat pengalaman sosial.
4.       Sekolah mengabaikan tanggung jawab mendidik siswa secara sejati
4.      Fundamentalisme
1.       Dalam pendidikan mengambil bentuk gerakan “kembali ke dasar”
2.      Gerakan ini memusatkan pada suatu sasaran tertentu, seperti mengembalikan pendidikan pada “Tiga R”, yairu Read, Write, dan Arithmatic
3.      Jam sekolah mengutamakan pelajaran bahasa nasional, sains, matematika, dan sejarah
4.      Pendidik harus mengambil peran dominan
5.       Pengajaran menggunakan sistem menghapal, PR, ujian dilaksanakan sesering mungkin
6.       Rapor dibagikan sesering mungkin dengan indeks prestasi
7.       Disiplin harus ketat
8.       Kelulusan berdasrkan serangkaian tes-tes untuk mengetahui tingkat ketrampilan dan pengetahuan
9.       Permainan dan ketrampilan diberikan di luar jam sekolah
10.  Menghapus bidang studi pilihan dan meningkatkan yang wajib
11.  Menolak inovasi dan menekankan pada konsep
12.  Program layanan sosial di sekolah menyita waktu sekolah
13.  Memasukkan “patriotirme” dan nasionalisme di sekolah
2.4  Perlunya Paradigma Baru Pendidikan
Paradigma baru pendidikan diperlukan untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas akan membawa pendididkan sebagai proses pembentujan manusia Indonesia seutuhnya. Paradigma pendidikan penting untuk diperbarui menjadi system pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktifistik. Pembelajaran akan berfokus pada pengembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan prespektif budaya. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan mentri pendidikan nasional yang menyatakan bahwa secara filosofis pendidikan ditantang untuk melakukan redifinisi tentang tujuan, fungsi, dan hakikat pendidikan yang berperan sebagai “human education for all human being”. Dengan demikian, secara filosofis pendidikan harus memiliki keseimbangan dalam peranananya membangun peserta didik sebagai warga dunia, warga bangsa, dan warga masyarakat.
Hal ini juga diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan terbesar dari lembaga pendidikan kita selama ini yaitu pendidikan yang tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas sehingga tidak mengherankan bila keluaran pendidikan kita hanya menjadi manusia pencari kerja yang tidak berdaya bukan manusia yang kreatif pencipta keterksitsn kesejahteraan dalam pendidikan dan pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran pengembangan potensi siswa harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu. Pengembangan potensi siswa yang tidak seimbang akan menjadikan pendidikan cenderung lebih peduli pada perkembangan satu aspek kepribadian tertentu saja, sehingga sangat keliru jika guru hanya bertanggung jawab menyampaikan materi pelajaran saja.Sebaiknya guru juga berupaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan.
Jika duniapendidikan berhasil melakukan tugas ini  maka pada gilirannya masyarakat kita dimasa depan akan berkembang menjadi masyarakat yang berkualitas secara intelektual dan moral.
2.5   Pembelajaran Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Pada hakikatnya, pendidikan adalah belajar (learning). Pendidikan mertumpu pada empat pilar yaitu:
1.    Learning to know
Learning to know adalah upaya memahami instrument-instrumen baik sebagai alat maupun tujuan. Sebagai alat pengetahuan diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak yang diperlukan. Sebagai tujuan maka pengetahuan akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di adalam kehidupanya.
2.    Learning to do
Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak untuk mempraktikan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkan pengetahuan-pengetahuan yang telah diperolehnya tersebut dengan pekerjaan-pekerjaan dimasa depan.
3.    Learning to live together, learning to live with others
Learning to live together, learning to live with others, pada dasarnya adalah mengajarkan melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka yang buruk terhadap orang laen serta menjauhi konflik agar tercipta kedamaian dan keharmonisan hidup.
4.    Learning to be
Learning to be menekankan bahwa melalui kegiatan pembelajaran setiap siswa harus terus didorong agar mampu memberdayakan dirinya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri.
Kedudukan keempat pilar pendidikan yang dipaparkan tersebut merupakan misi dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar mnegtahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan menjadi diri sendiri dan didasari oleh keinginan yang sungguh-sungguh maka akan semakin luas pengetahuan seseorang tentang nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai perubahan dinamika yang terjadi.

Pembelajaran Sebagai Proses Pemberdayaan Diri
Dalam proses pembelajaran, pengenalan terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam upaya-upaya pemberdayaan diri
Melalui proses pembelajaran, guru dituntut untuk mampu membimbing dan memfasilitasi siswa agar mereka dapat memahami kekuatan serta kemampuan yang mereka miliki untuk selanjutnya memberikan motifasi agar siswa terdorong untuk bekerja atau belajar sebaik mungkin agar mampu memberdayakan dirinya dalam menghadapi berbagai masalah.
Hal ini sesuai dengan UUD 1945, Pendidikan seharusnya mencerdaskan kehidupan bangsa yang berarti pendidikan adalah usaha untuk memberdayakan manusia. Manusia yang berdaya adalah manusia yang berfikir kreatif, mandiri dan dapat membangun dirinya dan masyarakatnya.Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia dalam praktik kehidupan dalam masyarakat.

2.6 Paradigma Konstruktivisme Dalam Pembelajaran
Konstruktifisme merupakan respon terhadap berkembangnya harapan-harapan baru berkaitan dengan proses pembelajaran yang menginginkan peran aktif siswa dalam memprakarsai kegiatan belajarnya sendiri.
Konstruktifisme merupakan paradigm alternative pembelajaran yang muncul sebagai revolusi ilmiah yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pembelajaran dan paradigma konstruktifisme ini lenih menitik beratkan pada pengembangan pemikiran yang memungkinkan siswa dapat memberdayakan fungsi-fungsi fisik dan psikologis.
2.7  Unsur-unsur Karakter
            Unsur penting yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada peserta didik adalah unsur dimensi manusia secara psikologis dan sosiologis. Karena kedua unsur tersebut akan sangat memudahkan guru selaku transformator untuk dapat membimbing, membina, sekaligus mendidik peserta didik kepada suatu karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang akan ditanamkan.
            Fatchul Mu’in (2011), memasukkan unsur tersebut ke dalam; sikap, emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan, dan konsep diri (self-conception). Kelima unsur inilah menurutnya yang perlu ditanamkan kepada peserta didik sehingga pertumbuhan dan perkembangan karakter peserta didik ke arah tujuan yang diinginkan akan tercapai.
1.      Sikap
Sikap merupakan konsep yang menjadi predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perilaku tertentu sehingga sikap bukan hanya berupa gambaran kondisi internal psikologis yang murni dari individu, melainkan sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnya individual.
Keth Harrel mendefinisikan sikap dengan mengutip American Herritage Dictionary, bahwa sikap adalah cara berpikir atau merasakan dalam kaitannya dengan sejumlah persoalan. (Mu’min, 2011: 168)
2.      Emosi
Kata emosi diadopsi dari bahasa latin emovere (e berarti luar dan movere berarti bergerak), dan dalam bahasa Perancis emouvoir yang berarti kegembiraan. Jadi emosi bisa diartikan sebagai gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis[6]. Misalnya, saat kita merespons sesuatu yang melibatkan emosi, maka pada saat itu juga kita mengetahui makna apa yang kita hadapi (kesadaran). Emosi juga identik dengan perasaan yang kuat.
Daniel Goleman (Mu’in: 2011), memberikan pengertian emosi sebagai kemampuan jiwa manusia untuk merasakan gejala yang disebabkan pengaruh dari luar sehingga menyebabkan marah, sedih, takut, nikmat, cinta, kaget, jengkel, dan perasaan malu. Lebih lanjut Goleman menyatakan bahwa emosi adalah sebagai bagian dari kecerdasan, karena emosi merupakan komponen yang tak terpisahkan dari kecerdasan walaupun emosi bukanlah kecerdasan. Akan tetapi dengan emosi bisa mendukung kecerdasan maupun kebodohan. Belakangan ini, banyak para ahli yang mengusung adanya kecerdasan emosional, suatu langkah mencerdaskan diri dengan memaksimalkan manajemen emosi, dan mencoba mengkritik efek-efek buruk dari penggunaan kecerdasan intelektual semata.
Kata emosi yang mendapatkan konotasi negatif, mendapatkan kritikan dari Erich Fromm, ia menyatakan bahwa tidak selamanya emosi itu negatif. Karena menurutnya sebagian masyarakat masih banyak yang belum mampu memelihara dan mendorong emosinya   keranah keberadaannya yang tepat kepada pemikiran yang kreatif (kecerdasan) sehingga menghasilkan sentimentalis[7] dan sifat yang tidakidealisme[8].
3.      Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari factor sosiopsikologis, artinya sesuatu itu dianggap “benar” atau “salah" berdasarkan bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi. Jadi sebagian kepercayaan itu terbentuk oleh pengetahuan. Kepercayaan memberikan prespektif pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Apa yang kita ketahui membuat kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan apa yang kita ketahui.
Secara epistemologis,  kebenaran pengetahuan manusia diperoleh melalui tiga cara, yaitu;  pengetahuan sains yaitu kebenarannya ditentukan secara logis dan bukti empiris (eksperiman), pengetahuan filsafat[9] yaitu kebenaran itu diukur dengan logis atau tidak logis, dan pengetahuan mistik yaitu kebenaran diukur atau ditentukan oleh rasa, yakin, dan kadang-kadang empiris.
Membangun kepercayaan sangat berguna dalam suatu hubungan. Jika hubungan memiliki basis kepercayaan yang kuat, maka hubungan itu akan baik.
4.      Kebiasaan dan kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari factor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Kebiasaan merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulang berkali-kali.
Sedangkan kemauan erat kaitannya dengan tindakan manusia, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Menurut Richard Dewey dan W.J. Humber (Mu’in: 2011), mendefinisikan kemauan sebagai hasil keinginan untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dipengaruhi oleh kecerdasan dan energi.
5.      konsep diri (self-conception)
proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak yang dilakukan dalam usaha bagaimana karakter dan diri itu dibentuk. Konsepsi diri adalah tentang bagaimana manusia itu harus membangun dirinya, apa yang diinginkannya, dan bagaimana cara menempatkan dirinya dalam kehidupan.
Dalam ilmu psikologi sosial, konsep diri berkaitan dengan fakta bahwa manusia tidak hanya menanggapi orang lain, tetapi juga bagaimana manusia itu meresepsi dirinya sendiri. 
Menurut Chrales Horton Cooley, manusia dalam banyak hal disebutkan dalam teorinya sebagai gejala looking-glass self  yaitu membayangkan dirinya sebagai orang lain di dalam benaknya sehingga munculah penilaian bahwa sebelum mengenal diri kita, terlebih dahulu kita harus mengenal orang lain. Dan inilah yang disebut dengan konsep diri atau self-conception.
William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai, “Those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we had derived from experiences and our iteraction with others.” Terbentuknya fisik, hubungan social dan kejiwaan manusia sangat dipengaruhi oleh pengamatan dan pemahamannya dari pengalaman dan interaksinya dengan orang lain.
Dalam ilmu psikologi social, konsep diri dibagi kedalam dua komponen penting, yaitu komponen kognitif[10] dinamakan “citra diri” (self-image), dan komponen afektif[11]dinamakan “harga diri” (self-esteem). Kedua komponen tersebut sangat berperan dalam membangun karakter, yang berkaitan dengan tingkah laku dan cara berkomunikasi dengan orang lain.
Jadi, harga diri dan citra diri merupakan dua komponen yang harus dimilikioleh manusia, karena harga diri yang rendah akan membuat citra diri seseorang juga rendah. Pada akhirnya membuat seseorang kehilangan kesadaran bahwa dirinya memiliki potensi (komponen afektif) untuk mengubah diri menjadi lebih baik.