Blogger Widgets PERKEMBANGAN MORALITAS | RINI .alert { background: #DDE4FF; text-align: left; padding: 5px 5px 5px 5px; border-top: 1px dotted #223344;border-bottom: 1px dotted #223344;border-left: 1px dotted #223344;border-right: 1px dotted #223344;}

My Facebook

Facebook
Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 28 Februari 2014

PERKEMBANGAN MORALITAS



Perkembangan Moralitas


Perkembangan diartikan sebagai satu proses perubahan dalam diri individu atau organisme, baik fisik maupun psikis menuju tingkat kedewasaan atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan.Moral adalah ajaran tentang baik atau buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957:957). Jadi,perkembangan moralitas merupakan proses perubahan individu untuk menuju kedewasaan dalam bertingkah laku, berahlak dan sebagainya yang berlangsung secara sitematis, progesif dan berkesinambungan.Dalam moral sendiri diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa moral merupakan suatu kendali dalam bertingkah laku.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya kemudian bersedia membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan sosial atau masyarakat tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami pada masa anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman dalam perilakunya.  Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock ahli bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980:225) sebagai berikut.
a.         Pandangan moral individu makin lama semakin menjadi lebih abstrak.
b.        Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada yang salah.
c.         Penilaian moral menjadi semakin kognitif hal ini mendorong remaja semakin berani mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya.
d.        Penilaian moral jadi kurang egosentris.
e.         Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.

Menurut Furter (1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan problematik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kirianya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai waktu anak dilahirkan, untuk dapat dipahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.

Dari hasil penyelidikan-penyelidikan Kohlberg, mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkatan perkembangan moral menurut Kohlberg,
I.  Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan stadium 2
Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman (punihsment and obedience orientation). Anak menganggap baik tau buruk berdasarkan akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-atauran ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak akan mendapat hukuman.
Pada stadium 2, anak berorientasi individualisme dan tujuan (individualism and purpose). Pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada diluar dirinya atau ditentukan oleh orang lain, tetapi merasa sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi.
II. Konvensional
Stadium 3¸ norma-norma interpersonal (interpersonal norms) menyangkut orientasi anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik kepada orang lain. Masyarakat adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap yang mempertahannkan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar ingin diterima dilingkungan masyarakat, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan dan norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada agar tidak timbul kekacauan.
III. Post-konvensional
Satdium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya,harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindunga kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsip univeral. Pada tahap ini ada  norma etik disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanijian antara seseorang dengan masyarakat ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivitisme ini berarti ada perbedaan penilaian seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini unsur etika akan menentuakan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasi moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemukakan oleh tanggung jawab batin.

          Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Moralitas  
a.   Hubungan harmonis dalam keluarga, yang merupakan tempat penerapan  pertama sebagai individu. Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan keluarga sangat berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang   mempunyai sanksi-sanksi buat pelanggarnya.
c.   Lingkungan sosial, lingkungan sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang bisa sebagai pendidik dan pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk tingkah laku yang sesuai.
d.    Perkembangan nalar, makin tinggi penalaran seseorang, maka makin tinggi pula moral seseorang.

Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan iternalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia kurang lebih 12 hingga 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal dan hal-hal ideal yang diciptakan sendiri.
Bagi para ahli psionalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis. Menurut psikonalisis  moral dan nilai menyatu dalam konsep supergo. Superego dibetuk melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya dari orang tua) sedemikian serupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam diri sendiri. karena itu orang-orang yang tidak memiliki hubungan harmonis dengan orang tuanya dimasa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog bernaggapan bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi sanksi sendiri terhadap para pelanggar pemmanggarnya.
Didalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat pening adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujutan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial tedekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentu tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan yang dkemukakan oleh Kahlberg menunjukka bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih G, 1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interksi ini memiliki corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang deikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahapan tahapan perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.

          Implementasi Perkembangan Moralitas Dalam Pendidikan
1.      Dalam bergaul, remaja sudah mulai selektif dalam memilih teman;
2.      Remaja sudah peka terhadap permasalahan yang terjadi di sekitarnya dan sudah mulai mencari solusi terhadap permasalahan tersebut;
3.      Sudah mulai mencoba untuk membahagiakan orang lain;
4.      Timbul rasa kepedulian jika melihat hal-hal yang menyentuh hati;
5.      Remaja sudah mulai membentuk kepribadiannya yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya.

Upaya Upaya Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya :
Ketika anak berada dalam masa perkembangan, pembentukan moralnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga, dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai sederhana seperti kesopanan terhadap ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas pada usia remaja, dia akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui kejadian-kejadian di sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi peristiwa yang dialaminya sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk dilakukan.

Upaya membantu remaja menemukan identitas diri:
1.    Berilah informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa
2.    Membantu siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya (melalui guru konseling)
3.    Bersikap toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya: mendiskusikan tentang tatakrama dalam berpakaian
4.    Memberi umpan balik yang realistis tentang dirinya.
Caranya: berdiskusi dengan siswa, member contoh orang lain yang sukses dalam hidup.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap, maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru substitusi orangtua.

 Ada beberapa alassan, mengapa sekolah memainkan peranan penting yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;
1.      Siswa harus hadir disekolah;
2.      Sekolah memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan    masa perkembangan ‘konsep dirinya”;
3.      Anak-anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah;
4.      Sekolah member kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses;
5.      Sekolah member kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistis