Perkembangan diartikan sebagai satu proses perubahan dalam diri
individu atau organisme, baik fisik maupun psikis menuju tingkat kedewasaan
atau kematangan yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan
berkesinambungan.Moral adalah ajaran tentang baik atau buruk perbuatan
dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957:957). Jadi,perkembangan
moralitas merupakan proses perubahan
individu untuk menuju kedewasaan dalam bertingkah laku, berahlak dan sebagainya
yang berlangsung secara sitematis, progesif dan berkesinambungan.Dalam moral
sendiri diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu
perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan
dengan kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa moral merupakan suatu kendali dalam bertingkah laku.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh
kelompok dari padanya kemudian bersedia membentuk perilaku agar sesuai dengan
harapan sosial atau masyarakat tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong dan
diancam hukuman seperti yang dialami pada masa anak-anak. Remaja diharapkan
mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode
moral yang akan berfungsi sebagai pedoman dalam perilakunya. Michel meringkas lima perubahan dasar
dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock ahli bahasa
Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980:225) sebagai berikut.
a.
Pandangan
moral individu makin lama semakin menjadi lebih abstrak.
b.
Keyakinan
moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada yang salah.
c.
Penilaian
moral menjadi semakin kognitif hal ini mendorong remaja semakin berani
mengambil keputusan terhadap masalah yang dihadapinya.
d.
Penilaian
moral jadi kurang egosentris.
e.
Penilaian
moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter
(1965) (dalam Monks, 1984:252), kehidupan moral merupakan problematik
yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kirianya untuk meninjau perkembangan
moralitas ini mulai waktu anak dilahirkan, untuk dapat dipahami mengapa justru
pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dari hasil
penyelidikan-penyelidikan Kohlberg, mengemukakan enam tahap (stadium)
perkembangan moral yang berlaku secara universal dalam urutan tertentu. Ada
tiga tingkatan perkembangan moral menurut Kohlberg,
I. Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan stadium 2
Pada stadium 1,
anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman (punihsment
and obedience orientation).
Anak menganggap baik tau buruk berdasarkan akibat yang ditimbulkannya. Anak
hanya mengetahui bahwa aturan-atauran ditentukan oleh adanya kekuasaan yang
tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau tidak akan mendapat
hukuman.
Pada stadium 2,
anak berorientasi individualisme dan tujuan
(individualism and purpose). Pada
tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada
diluar dirinya atau ditentukan oleh orang lain, tetapi merasa sadar bahwa
setiap kejadian mempunyai beberapa segi.
II. Konvensional
Stadium 3¸ norma-norma interpersonal
(interpersonal norms) menyangkut
orientasi anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan
tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat
dinilai baik atau tidak baik kepada orang lain. Masyarakat adalah sumber yang
menentukan, apakah perbuatan perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak
yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap yang mempertahannkan norma-norma sosial dan otoritas.
Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar
ingin diterima dilingkungan masyarakat, melainkan bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan-aturan dan norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada agar tidak
timbul kekacauan.
III.
Post-konvensional
Satdium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dan
lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya
dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya,harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya,
lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindunga kepadanya.
Stadium 6, tahap ini disebut prinsip univeral. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma pribadi dan
subjektif. Dalam hubungan dan perjanijian antara seseorang dengan masyarakat
ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau
tidak baik. Subjektivitisme ini berarti ada perbedaan penilaian seseorang
dengan orang lain. Dalam hal ini unsur etika akan menentuakan apa yang boleh
dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasi moral
yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemukakan oleh
tanggung jawab batin.
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Perkembangan Moralitas
a. Hubungan harmonis
dalam keluarga, yang merupakan tempat penerapan pertama sebagai individu.
Begitupula dengan pendidikan agama yang diajarkan di lingkungan keluarga sangat
berperan dalam perkembangan moral remaja.
b. Masyarakat, tingkah laku
manusia bisa terkendali oleh kontrol dari yang mempunyai
sanksi-sanksi buat pelanggarnya.
c. Lingkungan sosial,
lingkungan sosial terutama lingkungan sosial terdekat yang bisa sebagai
pendidik dan pembina untuk memberi pengaruh dan membentuk tingkah laku yang
sesuai.
d. Perkembangan nalar, makin tinggi penalaran seseorang, maka makin tinggi
pula moral seseorang.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan iternalisasi
nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya
sebagai model. Bagi anak-anak usia kurang lebih 12 hingga 16 tahun,
gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang
simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal dan hal-hal ideal yang diciptakan
sendiri.
Bagi para ahli psionalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi norma-norma
masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologis.
Menurut psikonalisis moral dan nilai
menyatu dalam konsep supergo. Superego dibetuk melalui jalan internalisasi
larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya dari
orang tua) sedemikian serupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam diri
sendiri. karena itu orang-orang yang tidak memiliki hubungan harmonis dengan
orang tuanya dimasa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengembangkan superego
yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma
masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan satu
satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog bernaggapan bahwa masyarakat
sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang
terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang
mempunyai sanksi sanksi sendiri terhadap para pelanggar pemmanggarnya.
Didalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan
nilai-nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan
penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang
tampaknya sangat pening adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung
dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujutan dari nilai-nilai
tertentu. Dalam hal ini lingkungan sosial tedekat yang terutama terdiri dari
mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat
lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya
untuk membentu tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan yang dkemukakan oleh Kahlberg menunjukka bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau
pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas
spontan pada anak-anak (Singgih G, 1990:202). Anak memang berkembang melalui
interaksi sosial, tetapi interksi ini memiliki corak yang khusus dimana faktor
pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam
perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung
sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang deikemukakan bukan mengenai sikap
moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral
yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh
perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat
penalaran seseorang menurut tahapan tahapan perkembangan piaget, makin tinggi
pula tingkat moral seseorang.
Implementasi Perkembangan Moralitas Dalam Pendidikan
1. Dalam bergaul, remaja sudah mulai selektif
dalam memilih teman;
2. Remaja sudah peka terhadap permasalahan yang
terjadi di sekitarnya dan sudah mulai mencari solusi terhadap permasalahan
tersebut;
3. Sudah mulai mencoba untuk membahagiakan orang
lain;
4. Timbul rasa kepedulian jika melihat hal-hal
yang menyentuh hati;
5.
Remaja sudah mulai membentuk kepribadiannya yang sesuai dengan nilai-nilai
yang diyakininya.
Upaya Upaya
Sekolah Dalam Rangka Mengembangkannya :
Ketika anak berada dalam masa perkembangan, pembentukan
moralnya dipengaruhi oleh lingkungannya. Dimulai dari lingkungan keluarga,
dimana orang tua mengenalkan nilai-nilai sederhana seperti kesopanan terhadap
ayah dan ibu. Saat pergaulan anak tersebut makin luas pada usia remaja, dia
akan mengenal lebih banyak nilai-nilai kehidupan melalui kejadian-kejadian di
sekitarnya. Remaja terdorong untuk mengidentifikasi peristiwa yang dialaminya
sehingga dapat membedakan sikap mana yang baik dan mana yang tidak baik untuk
dilakukan.
Upaya membantu remaja menemukan identitas diri:
1.
Berilah
informasi tentang pilihan-pilihan karier dan peran-peran orang dewasa
2.
Membantu
siswa menemukan sumber-sumber untuk memecahkan masalah pribadinya (melalui guru
konseling)
3.
Bersikap
toleran terhadap tingkah laku remaja yang dipandang aneh. Caranya:
mendiskusikan tentang tatakrama dalam berpakaian
4.
Memberi
umpan balik yang realistis tentang dirinya.
Caranya: berdiskusi dengan siswa, member contoh orang lain
yang sukses dalam hidup.
Mengenai peranan sekolah dalam mengembangkan kepribadian
anak, Hurlock (1986: 322) mengemukakan bahwa sekolah merupakan faktor penentu
bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik dalam cara berpikir, bersikap,
maupun cara berprilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga dan guru
substitusi orangtua.
Ada beberapa alassan, mengapa sekolah memainkan peranan
penting yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu ;
1. Siswa harus
hadir disekolah;
2. Sekolah
memberikan pengaruh kepada anak secara dini seiring dengan masa perkembangan ‘konsep dirinya”;
3. Anak-anak banyak
menghabiskan waktunya di sekolah daripada di tempat lain di luar rumah;
4. Sekolah member
kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses;
5. Sekolah member
kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya dan kemampuannya secara realistis